sinarharapan.co.id
Sesudah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan, apa lagi yang hilang dari kekayaan milik kita? Pasti banyak yang tidak percaya bahwa batik sudah bukan milik kita sejak beberapa tahun lalu. Batik sekarang hak patennya dimiliki oleh Malaysia.
“Padahal dunia luar sudah lama mengetahui dan mengakui bahwa batik adalah milik bangsa Indonesia. Hampir di seluruh wilayah Inodnesia mengenal seni batik. Ini merupakan kesalahan kita sendiri, karena kita kurang menghargai apa yang disebut hak paten,” kata pelukis batik dan juga pendidik Prof. Dr. H. Amri Yahya kepada SH baru-baru di Yogyakarta.
Tragis
Bukan hanya batik, tapi kekayaan kita yang lain di bidang kesenian seperti ornamen Dayak, kendi, wayang, keris dan songket Palembang kini hak patennya sudah dimiliki Malaysia. “Tentu saja kejadian ini merupakan sesuatu yang tragis,” tambahnya.
Kejadian yang tragis hendaknya bisa dijadikan pelajaran bagi kita, baik bagi para seniman maupun para birokrat, agar lebih menghargai dan jangan bersikap dingin atau acuh tak acuh terhadap kekayaan bangsa yang disebut kesenian. Caranya adalah dengan segera mencarikan hak paten bagi benda-benda seni yang dinilai berharga yang merupakan khazanah kekayaan bangsa.
“Tempe konon sudah milik Amerika Serikat dan kayu jati milik Singapura. Lha, kapan orang Amerika bisa membuat tempe, mereka ‘kan suka makan burger? Lha, kapan Singapura punya hutan yang ditanami pohon jati?” tanya pelukis kelahiran Sukaraja (Palembang), 29 September 1939 yang telah menetap di Yogyakarta selama 45 tahun lebih.
Ada kejadian tragis lainnya yang menyangkut masalah batik. Di Indonesia akhir-akhir ini, termasuk di Yogyakarta dan Jakarta, jarang sekali diselenggarakan pameran batik atau lukisan batik. Kebanyakan dari kita menganggap batik bukan karya seni, tapi barang kerajinan. Jadi menganggap nilainya rendah, dan kurang pantas dipamerkan sebagai karya seni. Padahal di luar negeri seperti Jerman, Inggris dan Australia serta Amerika Serikat setiap tiga bulan sekali sekali menyelenggarakan pameran.
Ketika ditanya apakah dirinya masih sering memamerkan karya-karya lukis batiknya, dengan nada serius pelukis yang dosen seni rupa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyatakan: “Darah saya itu batik, karena saya mencintai batik dengan sepenuh hati. Batik itu ada di seluruh Indonesia, termasuk di Palembang, bukan hanya di Jawa saja.”
Memilih Pendidik
Di mata dunia kesenian, khususnya seni rupa, Amri Yahya dikenal sebagai seorang pelukis senior Indonesia yang pantas diperhitungkan. Karya-karyanya telah banyak dikoleksi perorangan, pejabat negara dan lembaga di dalam maupun di luar negeri. Berpameran sejak tahun 1957 baik di dalam maupun di luar negeri, hingga tahun 2003 ini dari tahun 1954 Amri telah menghasilkan ribuan karya, baik seni lukis batik maupun cat air.
Tahun 1972 Amri mendirikan Amri Gallery di Gampingan, Yogyakarta, pada saat Indonesia mempersiapkan diri sebagai tuan rumah Konferensi PATA tahun 1974. Tahun 1979 mendirikan Himpunan Senirupawan Indonesia (HSRI), yang dimaksudkan membawa para senirupawan Indonesia ke forum internasional melalui IAA (International Association of Art) dan Unesco.
Lulus Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) tahun 1959 dan IKIP Yogyakarta tahun 1971, dan memperdalam keramik dinding di Belanda (1979). Sampai sekarang masih tetap mengajar seni rupa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sampai memperoleh gelar doktor (2001) dan profesor (2002).
Ketika ditanya, manakah yang lebih membanggakan dirinya: sebagai seorang seniman/pelukis atau sebagai seorang pendidik? Dengan diplomatis, pelukis yang punya wajah mirip bintang film Charles Bronson ini menjawab. “Saya dengan jujur menjawab lebih bangga menjadi seorang pendidik. Kan amalnya lebih banyak daripada menjadi seorang seniman?” selorohnya.
Tentang pendidikan seni rupa di perguruan tinggi, Amri menjelaskan tujuannya adalah menjadi seorang pendidik, bukan menjadi seorang seniman. Kalau bisa kedua-duanya menjadi seorang pendidik juga seorang seniman.
Ada perbedaan pendidikan seni rupa di ASRI kini ISI (Institut Seni Indonesia) dan di UNY, walaupun kedua-duanya kalau lulus berhak menyandang gelar sarjana. “Sarjana seni rupa di ISI tidak wajib menjadi seorang pendidik, tetapi menjadi seorang seniman. Apakah sang sarjana ini mampu menjadi seorang seniman tergantung pada bakat dan lingkungan yang membentuknya. Sarjana seni rupa di UNY wajib menjadi seorang pendidik di bidang seni rupa. Kalau mampu menjadi seniman seperti saya, ya syukur alhamdullilah, tapi tidak wajib,” jelas Amri Yahya.
Apakah lulusan sarjana seni rupa yang jumlahnya sudah ratusan orang, sudah banyak yang jadi seniman, Amri dengan nada serius menyatakan: “Menjadi seorang seniman itu tidak mudah. Selain punya bakat, perlu perjuangan dan pembelajaran diri yang tak pernah henti, dan tidak boleh lekas puas diri. Jangankan lulusan UNY, apakah lulusan ISI semuanya bisa menjadi seorang seniman/pelukis? Sulit mencari seorang yang bernama Nyoman Gunarsa, Aming Prayitno, Widayat, Bagong Kussudiardjo, Djoko Pekik atau Trubus. Mungkin dari 100 lulusan ISI yang sudah bergelar sarjana hanya satu atau dua yang mampu menjadi pelukis berbobot yang kelak menjadi pelukis besar. Itulah sebabnya menjadi seorang pelukis memang tidak mudah. Kalau sekadar tukang gambar ya gampang-gampang saja,” kata Amri sambil berseloroh lagi.
Ketika ditanya lagi, apakah dirinya merasa bangga menjadi seorang pelukis mampu meraih gelar doktor plus gelar profesor, Amri menyatakan tentu saja bangga karena semua ini lewat perjuangan panjang dan berat, selebihnya adalah anugerah Tuhan.
***
http://sastra-indonesia.com/2010/04/pelukis-prof-dr-h-amri-yahya-batik-bukan-milik-kita-lagi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar