Hendro Wiyanto
Jawa Pos, 13 Sep 2020
Goenawan Mohamad (GM) pernah menulis, di dalam ”produksi seni rupa” ia
adalah seorang novice, pendatang baru, seseorang yang belum berpengalaman atau
banyak kerjanya. Ia memang belum lama mulai melukis. Tetapi, sebutan ”pendatang
baru” atau pemula juga disertai penjelasan bahwa ia diundang ke pameran ini dan
itu, memperoleh ajakan bekerja sama dengan ”salah seorang perupa terbaik
Indonesia”, dan seterusnya, dan seterusnya.
Lho, kok bisa begitu?
Dengar-dengar karyanya juga memperoleh apresiasi sejumlah kalangan,
termasuk laris manis diborong penggemarnya tiap kali berpameran, sejak 2016.
Dalam pamerannya berdua dengan pelukis Hanafi, dua tahun lalu, sebagai
pendatang baru ia lagi-lagi merasa memperoleh penghargaan dari pelukis yang
”hampir tiap kali” membikinnya ”terpesona”. Bahwa GM mengagumi lukisan-lukisan
Hanafi sejak lama sudah kita tahu dari salah satu esainya. Akan tetapi, kita
belum pernah mendengar alasan yang sesungguhnya dari Hanafi kenapa mengajak GM
berpameran bersama di Galeri Nasional Indonesia (Hanafi-Goenawan Mohamad, 57 x
76, 2018).
Lho, kok bisa begitu ya? Sambutan Ir Ciputra dalam pembukaan pamerannya di
Galnas petang itu bahkan menyebut-nyebut perlunya para kolektor mengoleksi
karya-karya GM, merujuk pada pengalamannya sendiri ketika mengoleksi
lukisan-lukisan Hendra Gunawan, yang setelah beberapa puluh tahun kemudian
berharga ”miliaran rupiah”. ”Jangan sampai menyesal nanti….” Begitu lebih
kurang kata tokoh kolega lama GM ini.
Kalau kelak lukisan-lukisan GM menjadi bernilai miliaran, bayangkan saja
berapa nilai lukisan Hanafi? Kira-kira begitu kesimpulan saya yang biasanya
ngawur ketika mendengar petuah semacam itu. Tapi, Pak Ci sama sekali memang
tidak menyinggung kemungkinan para kolektor seni rupa memborong karya Hanafi.
Tapi, eh, bukankah kalau orang membeli karya GM di pameran itu sama saja dengan
membeli karya Hanafi juga, karena karya mereka adalah ”Satu Kontrapung, Dua
Tanda Tangan”, seperti tulis kurator pamerannya, Agung Hujatnikajennong?
***
Pada tulisannya ”Perupa?” di koran Jawa Pos yang kemudian bertubi-tubi
beredar di sejumlah grup WhatsApp, GM menyinggung lagi soal seniman ”pemula”
itu. Tapi kali ini dengan ”kontranada” menyangsikan omongan yang menganggapnya
sebagai pelukis ”pemula” yang belum layak diundang ke dalam pameran seperti
Biennale Jawa Tengah (2018). Ya, betul akan aneh kalau ada biennale seni rupa
mengundang ”pemula”, karena setahu saya memang tidak ada biennale yang
membagi-bagi kategori perupa menjadi ”perupa (biasanya tanpa disertai kata
”pemula)” dan ”pemula” (biasanya disebut begitu saja, mungkin untuk menghormati
kata ”perupa”).
Maka bagi GM seorang perupa hendaknya tidak perlu dipertimbangkan mengenai
ke-pemula-annya, atau ke-novice-annya, atau ke-belum berpengalaman-nya,
melainkan karyanya saja. Katanya, sebutan ”pelukis”, ”perupa”, atau ”penyair”
tidak ada artinya bagi seseorang yang memang tidak ingin menjadi ”pelukis”,
”perupa”, atau ”penyair”. Dan kalau orang mencampur aduk predikat-predikat
semacam itu dengan karyanya, yang terjadi adalah ”distorsi” bahasa. Kesimpulan
dari tulisan GM, yang perlu dilihat adalah karya pelukis, perupa, atau
penyairnya terlebih dulu, bukan semua yang berbau embel-embel seperti
”pelukis”, ”perupa”, ”penyair”, dan seterusnya. Wah, ini menarik juga, tapi
kayaknya perlu diskusi lain lagi, yang tidak cuma soal subjek-predikat dalam
bahasa atau perihal ”pokok-tokoh” –untuk meminjam judul sebuah antologi puisi
Indonesia modern yang kondang.
Setidaknya, mari kita sepakati secepatnya saja bahwa ”pelukis”, ”perupa”,
dan ”penyair” tidak ujuk-ujuk ada lho. Di balik sebutan tertentu, apalagi
jenis-jenis kesenimanan, ada yang biasanya disebut ”pengalaman” meski ini
memang tidak pernah kelihatan berendeng bersama judul-judul atau
embel-embelnya. Kan ada juga ”biennale sastra” yang keberatan kalau mengundang
penyair yang belum ber-”pengalaman”? Atau sebaliknya, ada saja penyair
ber-”pengalaman” yang protes kalau namanya tidak ada dalam undangan sebuah
festival? Lagi, serombongan penulis ramai-ramai teken untuk menolak penulis
ber-”ideologi” tertentu diganjar hadiah ini-itu? Waduh, tetapi saya tidak akan
terburu-buru menyamaratakan segala jenis pengalaman adalah ideologi…
Bahkan dulu ada juga pelukis yang mengancam akan mengundurkan diri ikut
pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, 1990/1991) ”hanya”
gara-gara ada nama pelukis yang dianggap pernah berada di bawah payung Lekra?
Maka terkadang saya berpikir, seniman-bukan-seniman itu sebenarnya bukan soal
predikat atau embel-embelnya, tetapi mesti ditambahkan lagi dengan kategori
”lekas ketersinggungannya”.
***
Saya ingin melanjutkan alur pikiran GM dalam tulisannya soal undangan pameran
biennale untuk pelukis/perupa ”pemula”. Hemat saya, istilah ”pelukis” atau
”perupa” sama sekali tidak nirmakna, dan hanya mungkin mengalami ”distorsi”
atau diselewengkan artinya kalau istilah-istilah itu tidak digunakan untuk
sebuah konteks peristiwa yang jelas. Salah satu contoh terkenal sudah saya
sebut, yaitu kasus undangan seniman Indonesia untuk pameran KIAS.
Saya tunjukkan satu contoh yang lebih sederhana, yang belum lama diunggah
di grup media sosial yang berjuluk ”Pasar Ngelindur”, yang hebohnya minta
ampun. Serombongan anak muda tampak bersukaria melukis bersama-sama di alam
bebas. Mereka berfoto bersama dan menulis begini, ”Pelukis dan pemula melukis
bareng-bareng.”
Kira-kira kita tahu arti ”pelukis” di situ, tapi harus menebak apa arti
kata ”pemula”. ”Pemula” yang pertama kali ikut rombongan melukis bareng-bareng?
Meski setelah mengamat-amati foto itu –semua orang menunjukkan jempol dan pamer
lukisan masing-masing– kita mulai bisa menebak arti ”pemula”, tapi menarik juga
cara pelukis menarik batasnya dengan para ”pemula”, padahal kelihatannya
lukisannya sama saja…Ya, sama buramnya.
Mudah-mudahan maksud saya terpahami: bukan hanya istilah ”pelukis/perupa”
yang mengalami ”distorsi”, tapi kata ”pemula” menderita hal yang sama. Pada
”grup WhatsApp” ”Pasar Ngelindur”, saya ditertawakan karena dianggap kurang
pintar memahami bahasa Indonesia…Asik!
***
Secara harfiah (pelukis) ”pemula” memang ada, seperti diakui GM sendiri
pada esai di katalog pamerannya. GM adalah pelukis ”pemula” karena itu belum
layak diundang untuk sebuah pameran biennale. Omongan itu juga bisa kita anggap
benar, karena tiap ”hidung” (kata almarhum Danarto) boleh saja menilai
lukisan-lukisan GM dan menghasilkan kesimpulan begitu. Tapi, yang saya ragukan
bukan soal hak tiap ”hidung” untuk menilai karena itu sudah jelas juga.
Yang justru ingin saya perpanjang adalah pernyataan GM. Begini pertanyaan
saya: ”Lha, apakah kurator Biennale Jateng –nama itu kok mirip nama bank ya?
–memang mengundang GM sebagai ”perupa” (bukan pemula) atau karena memang ”nama
besar”-nya di ranah yang lain, misalnya sastra, sebagai penyair dan esais?
Dengan kata lain, si kurator diam-diam menganggap GM tetap sebagai ”pelukis
pemula”, tapi punya ”nama besar” yang kalau diundang di dalam biennale akan
membuat peristiwanya sendiri jadi ikut-ikutan membesar. Dalam hal begini, siapa
bilang mengundang GM sebagai ”perupa” atau ”pemula” tidak mengalami kemungkinan
distorsi?
Tapi, soalnya seperti kebanyakan peristiwa ”sebesar” biennale, sangat
langka kurator menunjukkan dengan terang semua argumennya untuk memilih perupa.
Dan di biennale-biennale mana pun –dari Kassel sampai Klaten– kurator tidak
akan membikin kategori baru yang aneh, yang membeda-bedakan antara ”perupa” dan
”pemula” yang akan menyebabkan pekerjaan mereka makin runyam. Mereka pastilah
bukan jenis pelukis yang gemar melukis bareng, tapi lugas saja menyambar
istilah-istilah ”pelukis” dan ”pemula” yang terdengar tidak berdamai di tengah
alam raya...
Jakarta, 6 Sep 2020
*) Kurator dan Pemerhati Seni. http://sastra-indonesia.com/2020/09/siapakah-pemula/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 07 Februari 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Kirno Tanda
A.C. Andre Tanama
A.D. Pirous
A.S. Laksana
Abdillah M Marzuqi
Abdul Ajis
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abu Nisrina
Adhi Pandoyo
Adib Muttaqin Asfar
Adreas Anggit W.
Afnan Malay
Agama Para Bajingan
Agung Kurniawan
Agung WHS
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T
Agus Hernawan
Agus Mulyadi
Agus R. Subagyo
Agus Sigit
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Alim Bakhtiar
Alur Alun Tanjidor
Amang Rahman Jubair
Amien Kamil
Amri Yahya
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
Andong Buku
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Andry Deblenk
Anindita S Thayf
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Adrian
Anton Kurnia
Anwar Holid
Ardhabilly
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arti Bumi Intaran
Ary B Prass
Aryo Wisanggeni G
AS Sumbawi
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Ayu Sulistyowati
Bambang Bujono
Bambang Soebendo
Bambang Thelo
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Basoeki Abdullah
Basuki Ratna K
BE Satrio
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Brunel University London
Buku Kritik Sastra
Bustan Basir Maras
Candrakirana KOSTELA
Catatan
Cover Buku
Dahlan Kong
Daniel Paranamesa
Dari Lisan ke Lisan
Darju Prasetya
Debat Panjang Polemik Sains di Facebook
Dedy Sufriadi
Dedykalee
Denny JA
Desy Susilawati
Di Balik Semak Pitutur Jawa
Dian Sukarno
Dian Yuliastuti
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dipo Handoko
Disbudpar
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwin Gideon
Edo Adityo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Faidil Akbar
Faizalbnu
Fatah Yasin Noor
Festival Teater Religi
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Franz Kafka
Galeri Sonobudoyo
Gatot Widodo
Goenawan Mohamad
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Hans Pols
Hardjito
Haris Saputra
Harjiman
Harryadjie BS
Hendra Sofyan
Hendri Yetus Siswono
Hendro Wiyanto
Heri Kris
Herman Syahara
Heru Emka
Heru Kuntoyo
htanzil
I Wayan Seriyoga Parta
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indigo Art Space
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Intan Ungaling Dian
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Jajang R Kawentar
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jonathan Ziberg
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jual Buku Paket Hemat 23
Jumartono
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Karikatur Hitam-Putih
Karikatur Pensil Warna
Kartika Foundation
Kemah Budaya Pantura (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Koktail
Komik
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Koskow
Koskow (FX. Widyatmoko)
KOSTELA
Kris Monika E
Kyai Sahal Mahfudz
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Shitaresmi
Leo Tolstoy
Literasa Donuts
Lords of the Bow
Luhung Sapto
Lukas Luwarso
Lukisan
M Anta Kusuma
M. Ilham S
M. Yoesoef
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoenomo
Mas Dibyo
Mashuri
Massayu
Masuki M Astro
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Moch. Faisol
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moses Misdy
Muhajir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musdalifah Fachri
Ndix Endik
Nelson Alwi
Nietzsche
Noor H. Dee
Novel Pekik
Nung Bonham
Nurel Javissyarqi
Nurul Hadi Koclok
Nuryana Asmaudi SA
Obrolan
Octavio Paz
Oil on Canvas
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Lukisan
Pasar Seni Indonesia
Pasar Seni Lukis Indonesia
PC. Lesbumi NU Babat
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Harjiman
Pelukis Saron
Pelukis Sugeng Ariyadi
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Penerbit PUstaka puJAngga
Penerbit SastraSewu
Pesta Malang Sejuta Buku 2014
Proses kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
R Ridwan Hasan Saputra
Rabdul Rohim
Rahasia Literasi
Rakai Lukman
Rambuana
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rudi Isbandi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumoh Projects
S. Yadi K
Sabrank Suparno
Saham Sugiono
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sapto Hoedojo
Sastra
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra ke #24
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Rupa
Septi Sutrisna
Seraphina
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sketsa
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Srihadi Soedarsono
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sunu Wasono
Susiyo Guntur
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno SZ
Syifa Amori
Tammalele
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
TANETE
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan Pinang
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Toto Nugroho
Tri Andhi S
Tri Moeljo
Triyono
Tu-ngang Iskandar
Tulus Rahadi
Tulus S
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Vincent van Gogh
Vini Mariyane Rosya
W.S. Rendra
Wachid Duhri Syamroni
Wahyudin
Warung Boenga Ketjil
Wasito
Wawancara
Wayan Sunarta
William Bradley Horton
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yunisa
Zawawi Se
Zulfian Hariyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar