Minggu, 07 Februari 2021

Siapakah Pemula?

Hendro Wiyanto
Jawa Pos, 13 Sep 2020
 
Goenawan Mohamad (GM) pernah menulis, di dalam ”produksi seni rupa” ia adalah seorang novice, pendatang baru, seseorang yang belum berpengalaman atau banyak kerjanya. Ia memang belum lama mulai melukis. Tetapi, sebutan ”pendatang baru” atau pemula juga disertai penjelasan bahwa ia diundang ke pameran ini dan itu, memperoleh ajakan bekerja sama dengan ”salah seorang perupa terbaik Indonesia”, dan seterusnya, dan seterusnya.
 
Lho, kok bisa begitu?
 
Dengar-dengar karyanya juga memperoleh apresiasi sejumlah kalangan, termasuk laris manis diborong penggemarnya tiap kali berpameran, sejak 2016. Dalam pamerannya berdua dengan pelukis Hanafi, dua tahun lalu, sebagai pendatang baru ia lagi-lagi merasa memperoleh penghargaan dari pelukis yang ”hampir tiap kali” membikinnya ”terpesona”. Bahwa GM mengagumi lukisan-lukisan Hanafi sejak lama sudah kita tahu dari salah satu esainya. Akan tetapi, kita belum pernah mendengar alasan yang sesungguhnya dari Hanafi kenapa mengajak GM berpameran bersama di Galeri Nasional Indonesia (Hanafi-Goenawan Mohamad, 57 x 76, 2018).
 
Lho, kok bisa begitu ya? Sambutan Ir Ciputra dalam pembukaan pamerannya di Galnas petang itu bahkan menyebut-nyebut perlunya para kolektor mengoleksi karya-karya GM, merujuk pada pengalamannya sendiri ketika mengoleksi lukisan-lukisan Hendra Gunawan, yang setelah beberapa puluh tahun kemudian berharga ”miliaran rupiah”. ”Jangan sampai menyesal nanti….” Begitu lebih kurang kata tokoh kolega lama GM ini.
 
Kalau kelak lukisan-lukisan GM menjadi bernilai miliaran, bayangkan saja berapa nilai lukisan Hanafi? Kira-kira begitu kesimpulan saya yang biasanya ngawur ketika mendengar petuah semacam itu. Tapi, Pak Ci sama sekali memang tidak menyinggung kemungkinan para kolektor seni rupa memborong karya Hanafi. Tapi, eh, bukankah kalau orang membeli karya GM di pameran itu sama saja dengan membeli karya Hanafi juga, karena karya mereka adalah ”Satu Kontrapung, Dua Tanda Tangan”, seperti tulis kurator pamerannya, Agung Hujatnikajennong?
***
 
Pada tulisannya ”Perupa?” di koran Jawa Pos yang kemudian bertubi-tubi beredar di sejumlah grup WhatsApp, GM menyinggung lagi soal seniman ”pemula” itu. Tapi kali ini dengan ”kontranada” menyangsikan omongan yang menganggapnya sebagai pelukis ”pemula” yang belum layak diundang ke dalam pameran seperti Biennale Jawa Tengah (2018). Ya, betul akan aneh kalau ada biennale seni rupa mengundang ”pemula”, karena setahu saya memang tidak ada biennale yang membagi-bagi kategori perupa menjadi ”perupa (biasanya tanpa disertai kata ”pemula)” dan ”pemula” (biasanya disebut begitu saja, mungkin untuk menghormati kata ”perupa”).
 
Maka bagi GM seorang perupa hendaknya tidak perlu dipertimbangkan mengenai ke-pemula-annya, atau ke-novice-annya, atau ke-belum berpengalaman-nya, melainkan karyanya saja. Katanya, sebutan ”pelukis”, ”perupa”, atau ”penyair” tidak ada artinya bagi seseorang yang memang tidak ingin menjadi ”pelukis”, ”perupa”, atau ”penyair”. Dan kalau orang mencampur aduk predikat-predikat semacam itu dengan karyanya, yang terjadi adalah ”distorsi” bahasa. Kesimpulan dari tulisan GM, yang perlu dilihat adalah karya pelukis, perupa, atau penyairnya terlebih dulu, bukan semua yang berbau embel-embel seperti ”pelukis”, ”perupa”, ”penyair”, dan seterusnya. Wah, ini menarik juga, tapi kayaknya perlu diskusi lain lagi, yang tidak cuma soal subjek-predikat dalam bahasa atau perihal ”pokok-tokoh” –untuk meminjam judul sebuah antologi puisi Indonesia modern yang kondang.
 
Setidaknya, mari kita sepakati secepatnya saja bahwa ”pelukis”, ”perupa”, dan ”penyair” tidak ujuk-ujuk ada lho. Di balik sebutan tertentu, apalagi jenis-jenis kesenimanan, ada yang biasanya disebut ”pengalaman” meski ini memang tidak pernah kelihatan berendeng bersama judul-judul atau embel-embelnya. Kan ada juga ”biennale sastra” yang keberatan kalau mengundang penyair yang belum ber-”pengalaman”? Atau sebaliknya, ada saja penyair ber-”pengalaman” yang protes kalau namanya tidak ada dalam undangan sebuah festival? Lagi, serombongan penulis ramai-ramai teken untuk menolak penulis ber-”ideologi” tertentu diganjar hadiah ini-itu? Waduh, tetapi saya tidak akan terburu-buru menyamaratakan segala jenis pengalaman adalah ideologi…
 
Bahkan dulu ada juga pelukis yang mengancam akan mengundurkan diri ikut pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, 1990/1991) ”hanya” gara-gara ada nama pelukis yang dianggap pernah berada di bawah payung Lekra? Maka terkadang saya berpikir, seniman-bukan-seniman itu sebenarnya bukan soal predikat atau embel-embelnya, tetapi mesti ditambahkan lagi dengan kategori ”lekas ketersinggungannya”.
***
 
Saya ingin melanjutkan alur pikiran GM dalam tulisannya soal undangan pameran biennale untuk pelukis/perupa ”pemula”. Hemat saya, istilah ”pelukis” atau ”perupa” sama sekali tidak nirmakna, dan hanya mungkin mengalami ”distorsi” atau diselewengkan artinya kalau istilah-istilah itu tidak digunakan untuk sebuah konteks peristiwa yang jelas. Salah satu contoh terkenal sudah saya sebut, yaitu kasus undangan seniman Indonesia untuk pameran KIAS.
 
Saya tunjukkan satu contoh yang lebih sederhana, yang belum lama diunggah di grup media sosial yang berjuluk ”Pasar Ngelindur”, yang hebohnya minta ampun. Serombongan anak muda tampak bersukaria melukis bersama-sama di alam bebas. Mereka berfoto bersama dan menulis begini, ”Pelukis dan pemula melukis bareng-bareng.”
 
Kira-kira kita tahu arti ”pelukis” di situ, tapi harus menebak apa arti kata ”pemula”. ”Pemula” yang pertama kali ikut rombongan melukis bareng-bareng? Meski setelah mengamat-amati foto itu –semua orang menunjukkan jempol dan pamer lukisan masing-masing– kita mulai bisa menebak arti ”pemula”, tapi menarik juga cara pelukis menarik batasnya dengan para ”pemula”, padahal kelihatannya lukisannya sama saja…Ya, sama buramnya.
 
Mudah-mudahan maksud saya terpahami: bukan hanya istilah ”pelukis/perupa” yang mengalami ”distorsi”, tapi kata ”pemula” menderita hal yang sama. Pada ”grup WhatsApp” ”Pasar Ngelindur”, saya ditertawakan karena dianggap kurang pintar memahami bahasa Indonesia…Asik!
***
 
Secara harfiah (pelukis) ”pemula” memang ada, seperti diakui GM sendiri pada esai di katalog pamerannya. GM adalah pelukis ”pemula” karena itu belum layak diundang untuk sebuah pameran biennale. Omongan itu juga bisa kita anggap benar, karena tiap ”hidung” (kata almarhum Danarto) boleh saja menilai lukisan-lukisan GM dan menghasilkan kesimpulan begitu. Tapi, yang saya ragukan bukan soal hak tiap ”hidung” untuk menilai karena itu sudah jelas juga.
 
Yang justru ingin saya perpanjang adalah pernyataan GM. Begini pertanyaan saya: ”Lha, apakah kurator Biennale Jateng –nama itu kok mirip nama bank ya? –memang mengundang GM sebagai ”perupa” (bukan pemula) atau karena memang ”nama besar”-nya di ranah yang lain, misalnya sastra, sebagai penyair dan esais? Dengan kata lain, si kurator diam-diam menganggap GM tetap sebagai ”pelukis pemula”, tapi punya ”nama besar” yang kalau diundang di dalam biennale akan membuat peristiwanya sendiri jadi ikut-ikutan membesar. Dalam hal begini, siapa bilang mengundang GM sebagai ”perupa” atau ”pemula” tidak mengalami kemungkinan distorsi?
 
Tapi, soalnya seperti kebanyakan peristiwa ”sebesar” biennale, sangat langka kurator menunjukkan dengan terang semua argumennya untuk memilih perupa. Dan di biennale-biennale mana pun –dari Kassel sampai Klaten– kurator tidak akan membikin kategori baru yang aneh, yang membeda-bedakan antara ”perupa” dan ”pemula” yang akan menyebabkan pekerjaan mereka makin runyam. Mereka pastilah bukan jenis pelukis yang gemar melukis bareng, tapi lugas saja menyambar istilah-istilah ”pelukis” dan ”pemula” yang terdengar tidak berdamai di tengah alam raya...
 
Jakarta, 6 Sep 2020
 
*) Kurator dan Pemerhati Seni. http://sastra-indonesia.com/2020/09/siapakah-pemula/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi