Jawa Pos, 20 Sep 2020
Ini catatan kaki belaka dari pengetahuan umum di dunia seni rupa Indonesia. Saya ingin mengulangnya di sini untuk menggarisbawahi kata-kata sastrawan-perupa Goenawan Mohamad dalam ’’Saya Tidak Tahu, Mari Kita Tenang” (Jawa Pos, Minggu, 13 September) ini: ’’Seorang pengarang jadi perupa, sebagaimana seorang perupa jadi sastrawan, itu bukan gangguan bagi kehidupan seni dan sastra.”
—
JAMAK diketahui, dari zaman Persagi sampai masa kiwari, sejumlah perupa mendayagunakan karya sastra, baik sebagai inspirasi maupun kontemplasi, dalam karya seni rupa mereka. Bahkan, ada yang menggubah sajak, mengarang cerita pendek, dan menulis novel.
Sebutlah, misalnya, S. Sudjojono (1913–1986). Pada sejumlah lukisannya, ’’Bapak Seni Lukis Indonesia Baru’’ itu kerap menerakan berbaris teks yang terbaca seperti sajak di atas kanvas. Pelukis lain sezamannya, misalnya, Affandi (1907–1990) dan Hendra Gunawan (1918–1983), pun melakukan hal serupa pada beberapa lembar kanvas mereka.
Di bawah generasi para maestro seni rupa Indonesia modern itu, kita mengenal Danarto (1940–2018). Perupa Sanggar Bambu itu masyhur dengan cerita pendek-cerita pendek garib, seperti terhimpun dalam Godlob (1975), Adam Makrifat (1982), dan Kacapiring (2008), yang membuatnya diakui sebagai pelopor realisme magis di dunia sastra Indonesia.
Selain Danarto, kita mengetahui Jeihan Sukmantoro (1938–2019) dan I Made Wianta (l. 1949) sebagai perupa yang menyajak sejak 1970-an. Bahkan, lewat rubrik ’’Puisi mBeling” majalah Aktuil, yang diampu kritikus seni rupa yang penyair Sanento Yuliman (1941–1992), Jeihan sohor sebagai salah seorang eksponen puisi mbeling pada masa itu.
Dari sana, sajak-sajak Jeihan dihimpun ke dalam sebuah buku berjudul Mata mBeling Jeihan (2000). Selanjutnya, ia menerbitkan buku kumpulan puisi Jeihan, Gambar, Bunyi (2009) dan Bukuku Kubuku: Sajak Filsafat (2009).
Adapun I Made Wianta telah menerbitkan tiga antologi puisi, yaitu Korek Api Membakar Almari Es: Kumpulan Puisi 1975–1995 (1996), 2 ½ Menit (2000), dan Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York (2003).
Menyela Jeihan dan Wianta, eksponen Kepribadian Apa dan Gerakan Seni Rupa Baru, Gendut Riyanto (1955–2003) menerbitkan buku puisi-rupa berjudul Habis Gelap Terbitlah Gelap (1994).
Kurun berganti, seiring terang-cahaya ’’kontemporer” di dunia seni rupa Indonesia, terbit nama Arahmaiani (l. 1961) sebagai perupa yang gemar berasyik masyuk dengan sajak, seperti tersua dalam dua buku kumpulan puisinya, Roh Terasing (2004) dan Tunjukkan Hatimu Padaku (2010).
Pada tahun yang sama dengan Roh Terasing, Galam Zulkifli (l. 1971) menerbitkan novel Taman Sari: Dari Dunia Imajiner Lalu Lompatan Katarupa setebal xiii + 144 halaman. Pada 2008, cetakan kedua novel itu terbit dengan 64 halaman berwarna yang memuat 29 reproduksi lukisan Galam.
Dua tahun sebelumnya, Ugo Untoro (l. 1970) menerbitkan Short-Short Stories. Satu tahun kemudian, ia menggubah puisi-rupa tentang tragedi kuda, sebagaimana tersaji dalam pameran tunggalnya bertajuk Poem of Blood di Taman Budaya Yogyakarta (9–17 Maret 2007) dan Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (12–26 April 2007).
Setelah satu dasawarsa berlalu, Ugo kembali bersastra bukan dengan puisi, melainkan dengan menerbitkan revisi Short-Short Stories menjadi Cerita Pendek Sekali (2017) berisi 80 fiksi mini dalam buku 12 x 19 sentimeter setebal 106 halaman. Kemudian, pada 2019, ia menerbitkan Setan yang Menjelma Jadi Agar-Agar berdasar lukisan bermedia marker dan kanvas 120 x 100 sentimeter berjudul sama yang pernah tampil dalam pameran tunggalnya, Melupa, di Ark Galerie, Jogjakarta, 20 Juli–30 Agustus 2013.
Seperti terinspirasi dengan Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono, Dipo Andy (l. 1975) menggubah sajak ’’Teks-Teks Kegalauan” yang tergurat dalam belasan objek-instalasi pada pameran tunggalnya, Appropriating Marginality, di Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, 28 Oktober–7 November 2012.
Tak mau ketinggalan, pada 2016, R.E. Hartanto (l. 1973) menerbitkan Endorphin: Kumpulan Cerita dan Rupa setebal 164 halaman yang memungkinkannya berkerabat secara estetis dengan Alice in the Wonderland Lewis Carroll dan The Little Prince Antoine de Saint-Exupery.
Belakangan, F. Sigit Santoso (l. 1964) giat menulis cerita pendek. Salah satunya berjudul ’’Malo” diperlihatkannya kepada saya pada 14 Juni lalu. Menurutnya, cerita pendek itu adalah buah dari ketertarikannya pada gaya penulisan dan pemaparan Guy de Maupassant.
***
Sampai saat tulisan ini terbit, saya tak mendengar seorang pun sastrawan mempersoalkan kebersastraan perupa-perupa tersebut serupa ’’tenaga kerja asing” yang mau menyerbu ’’lumbung padi” sastra (di) Indonesia.
Tak juga saya mendengar satu pun kritikus sastra yang mempertanyakan: untuk apa Arahmaiani, Wianta, Ugo, Galam, Dipo, Hartanto, dan Sigit, yang kondang, mapan, dan tajir dengan karya seni rupa berharga ratusan juta rupiah, bergenit-genit bikin puisi, cerpen, dan novel?
Yang saya dengar justru penerimaan, pengakuan, dan penghormatan kalangan sastra atas puisi, cerita pendek, dan novel perupa-perupa tersebut.
Penyair Afrizal Malna dan Saut Situmorang serta novelis Sindhunata menyambut baik puisi-puisi Wianta sebagai ’’puisi konkret” ala ’’seniman avant-garde Prancis” dengan ’’spontanitas” tinggi sehingga membuat pembaca ’’ikut sibuk” dan ’’pontang-panting”, dan membikin ’’kacau prosedur-prosedur bahasa” dengan ’’pemantangan baru”.
Pengamat sastra St. Sunardi menilai puisi-puisi Arahmaiani, terutama dalam Roh Terasing, seperti ’’pengalaman padang pasir yang kering yang musti dilalui oleh setiap calon nabi sampai ia lupa akan keinginannya.”
Penulis sastra Puthut E.A. memuji Cerita Pendek Sekali Ugo sebagai ’’kisah ringkas yang sangat nikmat” yang membuatnya ’’takjub” karena ’’Ugo mampu menuliskannya secanggih para penulis kisah.”
Tak kurang dari itu adalah komentar penyair dan penerjemah sastra Arif Bagus Prasetyo atas Taman Seni Galam. ’’Imajinatif, rada romantik, dan pedagogis juga. Tapi tak apa,” katanya.
***
Kita lihat, sekali lagi, penghormatan, pengakuan, dan penerimaan penulis, penikmat, pengamat, penyair, dan kritikus sastra itu terarah pada ’’karya” atau ’’pokok”, bukan ’’nama” atau ’’sosok” perupa-sastra. Mengapa itu sulit diamalkan untuk sastrawan yang berseni rupa?
Mari kita berkaca.
*) Kurator Seni Rupa. http://sastra-indonesia.com/2020/09/perupa-sastra/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar