Jawa Pos, 13 Sep 2020
KOMENTAR saya:
1. Saya tidak tahu mengapa pokok soal yang saya majukan direspons melenceng.
Tulisan saya mau membahas keadaan dunia seni rupa kita setelah Indonesia dihantam Covid-19. Perubahan yang terjadi –ketika pasar seni rupa pingsan–seharusnya mendesak kita untuk mengkaji ulang beberapa premis dasar.
Pertama-tama: mengapa kita melukis, menggambar, membuat patung instalasi? Untuk apa, jika tidak bisa dijual? Haruskah kerja melukis terarah untuk menjadi pelukis? Tidakkah sebutan pelukis ini telah mengambil alih apa yang esensial: kerja? Tidakkah kita terjebak dalam teladan Eropa, yang mengenal gilda-gilda profesi –yang tak dikenal dalam sejarah sosial kita sendiri?
Kedua, tidakkah penilaian yang perupa sentris (juga sastrawan sentris), dan bukan karya sentris, ini merupakan distorsi –yang berkaitan dengan komodifikasi seni?
2. Saya ingin mengajak kita kembali menghidupkan kritik dan mengapresiasi kegiatan nonkomersial oleh galeri dan pameran.
3. Tak produktif jika kemudian percakapan balik ke persoalan ”siapa” –dalam hal ini diri saya. Soal ”pemula” dan bukan itu juga soal biodata seniman, dan dengan menganggap penting itu kita mengulangi distorsi yang lama. Seandainya ada satu karya dahsyat dari Ukraina, misalnya, dan kita tak tahu siapa perupanya, apakah dia pemula atau maestro yang baru saja meninggal, saya kira karya itu tetap akan kita nilai sebagai karya yang hebat.
4. Satu catatan kecil: seorang pengarang yang jadi perupa, sebagaimana seorang perupa jadi sastrawan, itu bukan gangguan bagi kehidupan seni dan sastra. Waktu perupa Danarto mulai membuat cerpen, karyanya disambut di kalangan sastra. Tak ada rasa cemas ada ”tenaga asing”. Toh, Trisno Sumardjo aktif dalam dua bidang kreatif, juga Nasjah Djamin dan Motinggo Boesje. Di Jerman, Gunter Grass itu bukan hanya novelis, tapi juga perupa.
Mari kita tenang.
*) Goenawan Mohamad, Sastrawan, Perupa.
http://sastra-indonesia.com/2020/09/saya-tidak-tahu-mari-kita-tenang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar