jurnalnasional.com
Semua orang datang ke alun-alun Blitar. Tak ada yang mau ketinggalan perayaan sebelum akhir Ramadan. Di tengah lingkaran, ada delapan peti mati berisi harimau dan macan-macan kumbang kelaparan…
Orang-orang berdiri menunggu, bersenjatakan tombak-tombak khusus berbau kemenyan. Kiai membuka peti-peti itu…Ahhh…seekor macan kumbang…predator itu langsung mencari jalan keluar di antara tombak-tombak…
Hanya sang kiai yang tak bersenjata. Ia Haji…suci…kebal karena ia telah ke Mekah…
(dikutip dari narasi komik Rampokan Jawa karya Peter Van Dongen)
Martijn Daalder memberikan saran-saran skenario dan turut menulis dialog-dialog dalam komik Rampokan Jawa. Sementara rekan mereka Frits Jonker menangani pengaksaraan. Rampokan:Java terbit secara berseri dalam sisipan PS di harian Het Parool sejak 14 Juli sampai 22 Sepetember 1998.
Rampokan adalah roman sejarah tentang kehilangan, perang, dan cita-cita yang bertumpu pada simbol upacara adu macan, rampokan. Menurut tradisi Jawa ini, macan atau harimau -simbol kemarahan dan penguasa kolonial- yang tertangkap akan dibunuh dalam upacara di akhir Ramadan. Ini tahun 1946, masih Hindia Belanda. Pada masa ini, sebuah dunia sedang menghilang. Sang harimau telah lepas….
Melihat wujud fisik komik Rampokan Jawa, orang pastilah berpikir bahwa ini adalah sebuah buku komik. Akan tetapi, menyimak, membaca, memaknai, dan meresapi Rampokan Jawa, sesungguhnya ia lebih dari sekadar cerita bergambar -istilah Indonesia soal komik. Ia telah berfungsi menjadi media pengingat sejarah yang sarat nilai kemanusiaan. Teknik penceritaannnya dan pengungkapan bahasa yang melankolis menjadikan karya ini lebih dari sekadar kisah penjajahan Belanda pasca-perginya Jepang.
Peter Van Dongen menggunakan pendekatan yang personal dan kultural untuk mengungkap kedekatan emosional manusia-manusia yang terposisikan sebagai musuh dalam situasi penjajahan. Sebut saja tokoh utama Johan Knevel, yang merupakan salah seorang prajurit sukarelawan Belanda yang dikirim untuk kembali menaklukan negeri yang hilang ini. Meski dalam hati Knevel, ia hanya ingin pulang kampung, bertemu babunya, pengasuh Indonesia bernama Ninih.
Pulang ke tempat ia dilahirkan saat orangtuanya sebagai masyarakat kolonial hidup damai di Indonesia bersama pribumi, membuat Kenvel jadi sosok yang tragis. Seiring kunjungannya ke perjalanan penugasannya, seringkali Knevel terpaksa memosisikan diri sebagai sosok tegar yang agak kasar. Padahal dalam hatinya ia begitu merindu pada Ninih.
Saat mesti menemani sang rekan ke sebuah pasar di Bandung, kenangan Knevel akan masa kecil di Makasar lalu mengemuka. Ke pasar, Ninih selalu mengajak Knevel kecil: Awalnya dalam selendang, melekat padanya -juga saat aku sudah bisa berjalan. Kucium rempah, buah, sampah, dan tubuhnya. Dia nyaman di pasar. Aku juga. Dengannya aku selalu aman. Aku tak pernah takut. Selama aku bersama Ninih.
Unsur kesusteraan dalam Rampokan Jawa begitu kuat terasa hingga menjadikannya bacaan yang sarat makna. Simbol-simbol fiksi di dalamnya menjembatani fakta sejarah yang kala itu terjadi.
Pembahasaan narasi yang sastrawi adalah kelebihan dari Rampokan Jawa, meski pun Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan bahwa ini bukanlah satu-satunya kode sastra yang mesti termuat dalam sebuah novel grafis. Maka novel grafis tidaklah mesti berupa komik dengan kata-kata indah mendayu-dayu, melainkan komik yang memakai pendekatan sastra dalam penyajiannya. Pendakatan ini, menurut Seno, bisa dalam alur atau tema, misalnya ironi manusia yang tak pernah hadir dalam media non-sastra.
“Membicarakan novel grafis adalah membicarakan perjuangan komik untuk meningkatkan martabatnya. A Contract with God adalah komik karya Will Eisner yang terbit sebagai langkah awal dikenalnya novel grafis, bukan sebagai istilah, tetapi sebagai tujuan: yakni komik dengan (1) bobot sastra, (2) yang ‘serius’ dan (3) untuk dewasa (jangan dibaca ada seks-nya),” kata Seno saat jadi pembicara diskusi Will Eisner dan Novel Grafis di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (16/2).
Menimbang bobot sastra dalam sebuah komik rentu berbeda dengan dalam karya tulis, seperti novel, karena tampil dalam bentuk “bacaan” yang kompleks. Definisi kompleks pun bukan sekadar gambar yang disertai tulisan. Bapak desain grafis Eisner sendiri pun menolak adanya dikotomi antara gambar dan teks. Tulisan adalah bagian dari pengungkapan ide secara visual.
Tertulis di situs www.imageandnarrative.be, penulis Charles Hatfield dalam literatur Alternative Comics : An Emerging Literature (Jackson: University Press of Mississipi, 2005, 182 p) menuliskan bahwa membaca gambar tidaklah lebih minim pengkodean daripada sebuah teks. Pembacaan terhadap gambar inilah yang mentransformasi komik yang pengkodeannya tidak pernah otomatis menjadi sebuah bentuk sastra.
Pemahaman kesusasteraan dalam komik tentu agak spesifik. Kalau dalam istilah Seno, bukanlah pemahaman sastra konvensional, melainkan pendekatannya dan juga muatannya yang melibatkan pergulatan dan perenungan manusia akan hakikat kehidupan. Tentunya ada pula ukuran khusus estetikanya terkait dengan kreativitas dan imajinasi yang membuatnya layak disebut karya sastra.
Dalam novel grafis Eisner, pembaca memang akan menemukan perkembangan strategi estetik, sebagaimana memang selalu dilakukannya, tetapi yang membuatnya jadi novel grafis yang ia bedakan istilahnya dari “sekadar” komik adalah kandungan tematiknya. Ekspresi wajah dan tubuh memang tetap karikatural, tetapi sama sekali bukan untuk mencari efek lucu lagi, melainkan sebaliknya, menegaskan berlangsungnya segala macam ironi dalam kehidupan manusia di lingkungan rumah susun kelas bawah, yang selalu berusaha keluar dari dunianya yang kumuh.
“Dalam novel grafisnya, termasuk trilogi A Contract with God (bersama Life Force dan Dropsie Avenue), pembaca dapat menemukan konfirmasi tujuan Eisner, bahwa novel grafis mestilah berbobot ‘sastra’, ‘serius’, dan karenanya memang untuk dewasa,” kata Seno yang menyebut bahwa segenap pengalaman batin Eisne adalah perbendaharaan bagi pendekatan baru yang disebutnya novel grafis tersebut. Penulis Rocco Versaci, yang menulis buku This Book Contains Graphic Language: Comics as Literature, menulis bahwa komik sebagai bentuk perlawanan genre sastra media lainnya, karena ia merupakan seni yang rumit. Yang dalam beberapa hal bahkan bisa pula menggantikan pencapaian cerita tertulis, fotografi, reportase, film, berkat karakteristiknya yang unik, bahasa grafis.
Bahasa grafis yang sastrawi dalam novel grafis ini juga tercermin dalam pendekatan visual. Seperti dalam komik Rampokan Jawa yang menjadikan upacara mistik tersebut sebagai pendekatan penceritaannya akan sejarah kolonial Belanda di Indonesia. Seringkali, Peter Vand Dongen memunculkan gambar keadaan genting upacara rampokan sebagai simbolisasi sesuatu yang tidak beres di sekitar tokoh utama. Artinya, upacara itu sendiri tidaklah menjadi bagian mandiri dalam penceritaan, melainkan sebuah pendekatan terhadap konflik di Hindia-Belanda (dari sudut pandang personal tokoh utamanya) pada masa tersebut.
***
http://sastra-indonesia.com/2010/02/pendekatan-sastrawi-komik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar