sinarharapan.co.id
Pembicaraan tentang komik konon selalu dianggap sepele. Begitu sepelenya, komikolog cum komikus Scott McCloud tergerak menulis buku Understanding Comic: The Invisible Art dengan mencoba menggali aspek lain sebagai upaya meluruskan kesalahpahaman. Ya, begitu “sepele”nya komik sehingga “jasa”nya sebagai pintu kita untuk membaca buku teks dilupakan. Padahal nyaris masa kecil tiap anak hampir selalu diawali dengan komik. Anggapan yang sering muncul komik adalah cerita anak yang sangat sederhana, miskin seni, apalagi bahasa. Ia lantas “dituduh” sebagai “racun”. Makian “Bedebah, Jahanam, Bangsat!” yang sering dilontarkan pendekar komik Indonesia seperti Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Godam, dan Gundala dalam kisah-kisahnya kemudian “mencampakkan” posisi komik bak marabahaya sehingga ia harus dienyahkan dari perpustakaan sekolah.
Baiklah, membicarakan komik adalah hal sepele. Beberapa catatan di bawah ini walau bukan hal baru dan pernah dilansir di berbagai media baiklah kita catat sebagai kesalahpahaman yang sebenarnya menjadikan komik ternyata bukan “hal sepele”.
Beredarnya komik Crayon Sinchan karya Yoshito Usui ini di Indonesia sebetulnya di negeri asalnya Jepang adalah bacaan dewasa. Karena ada film kartunnya (dan tokoh utamanya seorang bocah) lantas diimpor begitu saja dan diterbitkan ini sebagai bacaan anak. Begitu pendapat miring muncul ke masyarakat, baru komik Sinchan diberi label oleh penerbitnya “untuk 15 tahun ke atas”.
Itu pun baru dengan serial yang diterbitkan oleh pemegang lisensinya. Bagaimana dengan komik Sinchan yang sempat beredar secara illegal? Walau notabene bukan produk lokal, kasus Sinchan terjadi disebabkan ketidakpahaman kita mengkategorikan istilah komik (comics, strip) dan buku cerita bergambar (picture book) selalu dikacaukan. Murti Bunanta dalam Memilih Buku Seks untuk Anak (hlm.40, Buku, Mendongeng, dan Minat Baca, Pustaka Tangga, 2004) berujar, sangat disayangkan bahwa di Indonesia orang beranggapan komik adalah produk untuk anak. Padahal sudah sangat jelas tiap halaman komik terdapat banyak gambar yang disusun vertikal dan horizontal sedangkan pada buku cerita bergambar hanya ada satu gambar dengan teks yang bervariasi panjangnya.
Tapi heboh Sinchan di media massa tak melulu jadi ?barang terlarang?. Komikus senior Dwi Koendoro Br. dalam sebuah wawancara di harian Kompas mengatakan kejadian ini adalah dosa industri media terhadap masyarakat sehingga yang patut disalahkan sebenarnya masyarakat yang tak mengerti esensi komik itu sendiri.
Film kartun yang menjadi turunan produk budaya bernama komik juga nyaris serupa. The Simpsons yang pernah ditayangkan sebuah stasiun teve swasta juga melakukan kesalahan yang kurang lebih sama. Film karya Matt Groening yang sangat populer di Amerika ini ditayangkan sore hari pada saat anak-anak sudah tiba di rumah. Padahal banyolan yang dikandung The Simpsons sebenarnya bukan untuk dikonsumsi anak. Matt Groening dalam sebuah wawancara mengaku tokoh Bart Simpson sengaja diciptakan begitu badung lantaran ia tak bermaksud membuat semacam tokoh Mickey Mouse baru. Karena tokoh utamanya yang (juga) seorang anak, yaitu Bart Simpson serta pelbagai merchandise-nya sangat menarik (boneka Bart Simpson bahkan pernah dijadikan suvenir sebuah bank swasta tahun 1990-an) film ini lantas dianggap untuk anak. Bedanya kesalahpahaman The Simpsons tak seheboh Sinchan karena merchandise lain dari serial ini seperti komik tak diimpor ke Indonesia. Selain popularitas komik Amerika sendiri di Indonesia rada menyurut, terutama setelah tak aktifnya lagi penerbit Cypress dan Misurind yang dikenal sebagai pengimpor superhero sampai Aya Media Pustaka (penerbit serial Smurf) sehingga hanya filmnya saja diimpor ke Indonesia.
Komik Jepang lainnya Doraemon juga mengalami nasib serupa. Oleh kalangan pendidikan Doraemon lewat salah satu tokohnya yaitu Nobita dianggap meracuni anak untuk menjadi pribadi yang cengeng dan manja. Padahal oleh penciptanya, Fujiko Fujio, setiap ciptaan Doraemon jadi malapetaka lantaran disalahgunakan. Bukankah Doraemon sesungguhnya mengandung pesan moral, yaitu sebaliknya kalau anak tidak cengeng dan manja tidak sial seperti Nobita?
Komik Tapak Sakti yang beredar jauh sebelum popularitas Doraemon juga pernah dituding sebagai “mengajarkan kekerasan” lantaran dalam setiap gambarnya sarat perkelahian dan darah. Bukankah jika komik ini dilabeli “khusus dewasa” tak perlu khalayak begitu cemas seperti halnya film bioskop yang dilabeli “untuk 17 tahun ke atas?”
Mungkin dalam dunia pendidikan sudah sering terdengar kalau komik lebih banyak menyumbangkan efek negatifnya. Dunia politik juga tak ketinggalan menyumbangkan “kekeliruannya” dalam membaca komik. Dalam Kalau Politik Membaca Komik oleh Hikmat Darmawan (Tempo, 28 Desember 2003) komik Indonesia seri Gebora (Geng Bola Gembira) menuai protes di Madura. Tak kurang anggota Komisi E DPRD Sampang, Kiai Abdullah dari PKB mengecam keras komik ini dalam Duta Masyarakat, 3 November 2003. Dr. Latief Wiyata M.A antropolog asal Sumenep juga memprotes dalam harian Radar Madura, 3 November 2003. Komik yang diterbitkan sebagai seri pendidikan politik Common Ground Indonesia, sebuah LSM Internasional yang bergerak di bidang pengelolaan konflik ini dituding menyudutkan orang Madura lantaran salah satu tokohnya, Mat Ra’i anak Madura mengalami banyak kesialan (terlambat sekolah, disalahkan temannya, dijahili) walau dalam seri berikutnya Mat Ra?i menjadi pahlawan setelah menolong seorang anak yang terjatuh ke sungai.
Protes ini sesungguhnya terlampau berlebihan lantaran komik anak-anak ini dibaca dari sudut pandang yang salah. Ini membuktikan bahwa masih menunjukkan betapa kita masih kurang menghargai komik yang justru oleh peneliti asal Prancis, Marcel Bonneff dianggap sebagai gambaran moralitas bangsa. Dari ranah sastra, Sherman Alexie satu dari cerpenis muda terbaik versi majalah The New Yorker mengaku pernah “berhutang budi” pada komik. Dalam esai tentang proses kreatifnya, Superman and Me (The Most Wonderful Books, Milkweed Editions, 1999) di kala masih bocah dan belum lancar membaca, ia menebak jalan ceritanya sambil membolak-balik gambar komik Superman.
Mungkin jika Alexie tak membaca Superman ia tak akan menjadi sastrawan. Jika Bonneff tak menganggap komik Indonesia sebagai “gambaran moralitas bangsa” bisa jadi buku sejarah komik Indonesia tak pernah ditulis. Sampai kini, buku Marcel Bonneff Komik Indonesia (KPG, 1998) dianggap sebagai referensi paling memadai tentang sejarah komik Indonesia walau penelitiannya “hanya” sampai pada tahun 1972. Baru pada tahun 2002 terbit kajian komik lokal karya penulis asli Indonesia yaitu Menakar Panji Koming (Penerbit Buku Kompas, 2002) oleh Muhammad Nasri Setiawan.
Masalahnya, pengertian sebuah produk budaya bernama komik hampir seperti itulah yang dipahami sebagian besar masyarakat kita sehingga masih dalam sumber yang sama, Scott McCloud kemudian berseru dengan lantang, “Tak seharusnya buku komik seperti itu!”
Sejarah Kesalahpahaman Itu
Baiklah, di Indonesia cukup berkembang kesalahpahaman itu sehingga posisi komik, lokal maupun impor cenderung terpinggirkan. Perkembangan komik sendiri di Barat juga sebelumnya diawali kesalahpahaman.
Marcel Bonneff dalam pendahuluan buku Komik Indonesia menulis, di Barat pada tahun 1957 lahir pemikiran yang disebut F. Lacassin sebagai “Seni Kesembilan” sehingga masyarakat mulai menyadari makna, peranan, dan dampak komik berkat dukungan perintis yang berani. Di Prancis tahun 1958, sosiolog E. Morin muncul sebagai orang pertama yang membela komik sebagai produk seni budaya di majalah Le Nef. Kemudian pada 1962 berkat rangsangan F. Lacassin dan sineas Alain Resnais pada tahun 1962 dibentuk Klub Komik yang pada tahun 1964 berkembang menjadi Centre d’Etudes des Litteratures d’ Expression Graphique (C.E.L.E.G) atau Pusat Kajian Sastra Grafis. Berbagai komik diterbitkan kembali sehingga komik juga memiliki sejarawan, ahli estetika sampai ahli tafsir walau masih banyak para moralis dan pendidik menganggapnya sebagai “racun”.
Menurut pengamat komik Imansyah Lubis dalam Kompas, 17 September 2004 di Amerika muncul gerakan antikomik sekitar tahun 1950-an berupa pemboikotan dan pembakaran massal buku komik yang dianggap sebagai “racun” pendidikan. Untuk meredam aksi protes itu dibentuk sebuah lembaga bernama CCA (Comics Code Authority) yang fungsinya semacam badan sensor komik. Setiap komik yang dijual di tempat umum harus menggunakan tanda persetujuan CCA yang terbilang ketat. Karena menurut ahli komunikasi massa berkebangsaan Italia, Umberto Eco, “Komik menjadi sebuah bidang kajian yang luas dan sulit dijelajahi, tetapi terbuka bagi ‘semiotika pesan gambar’ dalam penelitian ahli komunikasi belum pernah ada batasan terhadap medium paling ketat selain CCA.”
Sebagai reaksi pemberontakan dari CCA ini pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an, muncul gerakan komik underground yang sangat mengutamakan kebebasan berpikir dan bercerita. Komik underground pada masa itu terinspirasi pula oleh gerakan flower generation yang antiperang Vietnam. Majalah MAD ciptaan Harvey Kurtzman adalah majalah komik underground bersifat parodi yang berpijak pada kondisi sosial, politik, seni, dan budaya di Amerika. Upaya demikian, menurut pengamat komik Hikmat Darmawan menambah sudut pandang kedewasaan di Amerika dalam membaca komik yang semula hanya dikonsumsi anak dan remaja.
Kehidupan dan perkembangan komik entah itu di Indonesia maupun di Barat sebenarnya amat ditentukan oleh kondisi kehidupan masyarakatnya. Seperti yang pernah ditegaskan Arthur Asa Berger dalam buku Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics (penerjemah M. Dwi Marianto, Tiara Wacana, Yogya, 1984), ia mengatakan komik sebenarnya memiliki banyak hal yang dapat kita baca, namun hanya jika kita peduli.
***
*) Penulis adalah Editor sebuah penerbit & pencinta komik, tinggal di Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2009/12/terdakwa-itu-adalah-komik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar