Jumat, 19 Februari 2021

Terdakwa Itu Adalah Komik

Donny Anggoro *
sinarharapan.co.id
 
Pembicaraan tentang komik konon selalu dianggap sepele. Begitu sepelenya, komikolog cum komikus Scott McCloud tergerak menulis buku Understanding Comic: The Invisible Art dengan mencoba menggali aspek lain sebagai upaya meluruskan kesalahpahaman. Ya, begitu “sepele”nya komik sehingga “jasa”nya sebagai pintu kita untuk membaca buku teks dilupakan. Padahal nyaris masa kecil tiap anak hampir selalu diawali dengan komik. Anggapan yang sering muncul komik adalah cerita anak yang sangat sederhana, miskin seni, apalagi bahasa. Ia lantas “dituduh” sebagai “racun”. Makian “Bedebah, Jahanam, Bangsat!” yang sering dilontarkan pendekar komik Indonesia seperti Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Godam, dan Gundala dalam kisah-kisahnya kemudian “mencampakkan” posisi komik bak marabahaya sehingga ia harus dienyahkan dari perpustakaan sekolah.
 
Baiklah, membicarakan komik adalah hal sepele. Beberapa catatan di bawah ini walau bukan hal baru dan pernah dilansir di berbagai media baiklah kita catat sebagai kesalahpahaman yang sebenarnya menjadikan komik ternyata bukan “hal sepele”.
 
Beredarnya komik Crayon Sinchan karya Yoshito Usui ini di Indonesia sebetulnya di negeri asalnya Jepang adalah bacaan dewasa. Karena ada film kartunnya (dan tokoh utamanya seorang bocah) lantas diimpor begitu saja dan diterbitkan ini sebagai bacaan anak. Begitu pendapat miring muncul ke masyarakat, baru komik Sinchan diberi label oleh penerbitnya “untuk 15 tahun ke atas”.
 
Itu pun baru dengan serial yang diterbitkan oleh pemegang lisensinya. Bagaimana dengan komik Sinchan yang sempat beredar secara illegal? Walau notabene bukan produk lokal, kasus Sinchan terjadi disebabkan ketidakpahaman kita mengkategorikan istilah komik (comics, strip) dan buku cerita bergambar (picture book) selalu dikacaukan. Murti Bunanta dalam Memilih Buku Seks untuk Anak (hlm.40, Buku, Mendongeng, dan Minat Baca, Pustaka Tangga, 2004) berujar, sangat disayangkan bahwa di Indonesia orang beranggapan komik adalah produk untuk anak. Padahal sudah sangat jelas tiap halaman komik terdapat banyak gambar yang disusun vertikal dan horizontal sedangkan pada buku cerita bergambar hanya ada satu gambar dengan teks yang bervariasi panjangnya.
 
Tapi heboh Sinchan di media massa tak melulu jadi ?barang terlarang?. Komikus senior Dwi Koendoro Br. dalam sebuah wawancara di harian Kompas mengatakan kejadian ini adalah dosa industri media terhadap masyarakat sehingga yang patut disalahkan sebenarnya masyarakat yang tak mengerti esensi komik itu sendiri.
 
Film kartun yang menjadi turunan produk budaya bernama komik juga nyaris serupa. The Simpsons yang pernah ditayangkan sebuah stasiun teve swasta juga melakukan kesalahan yang kurang lebih sama. Film karya Matt Groening yang sangat populer di Amerika ini ditayangkan sore hari pada saat anak-anak sudah tiba di rumah. Padahal banyolan yang dikandung The Simpsons sebenarnya bukan untuk dikonsumsi anak. Matt Groening dalam sebuah wawancara mengaku tokoh Bart Simpson sengaja diciptakan begitu badung lantaran ia tak bermaksud membuat semacam tokoh Mickey Mouse baru. Karena tokoh utamanya yang (juga) seorang anak, yaitu Bart Simpson serta pelbagai merchandise-nya sangat menarik (boneka Bart Simpson bahkan pernah dijadikan suvenir sebuah bank swasta tahun 1990-an) film ini lantas dianggap untuk anak. Bedanya kesalahpahaman The Simpsons tak seheboh Sinchan karena merchandise lain dari serial ini seperti komik tak diimpor ke Indonesia. Selain popularitas komik Amerika sendiri di Indonesia rada menyurut, terutama setelah tak aktifnya lagi penerbit Cypress dan Misurind yang dikenal sebagai pengimpor superhero sampai Aya Media Pustaka (penerbit serial Smurf) sehingga hanya filmnya saja diimpor ke Indonesia.
 
Komik Jepang lainnya Doraemon juga mengalami nasib serupa. Oleh kalangan pendidikan Doraemon lewat salah satu tokohnya yaitu Nobita dianggap meracuni anak untuk menjadi pribadi yang cengeng dan manja. Padahal oleh penciptanya, Fujiko Fujio, setiap ciptaan Doraemon jadi malapetaka lantaran disalahgunakan. Bukankah Doraemon sesungguhnya mengandung pesan moral, yaitu sebaliknya kalau anak tidak cengeng dan manja tidak sial seperti Nobita?
 
Komik Tapak Sakti yang beredar jauh sebelum popularitas Doraemon juga pernah dituding sebagai “mengajarkan kekerasan” lantaran dalam setiap gambarnya sarat perkelahian dan darah. Bukankah jika komik ini dilabeli “khusus dewasa” tak perlu khalayak begitu cemas seperti halnya film bioskop yang dilabeli “untuk 17 tahun ke atas?”
 
Mungkin dalam dunia pendidikan sudah sering terdengar kalau komik lebih banyak menyumbangkan efek negatifnya. Dunia politik juga tak ketinggalan menyumbangkan “kekeliruannya” dalam membaca komik. Dalam Kalau Politik Membaca Komik oleh Hikmat Darmawan (Tempo, 28 Desember 2003) komik Indonesia seri Gebora (Geng Bola Gembira) menuai protes di Madura. Tak kurang anggota Komisi E DPRD Sampang, Kiai Abdullah dari PKB mengecam keras komik ini dalam Duta Masyarakat, 3 November 2003. Dr. Latief Wiyata M.A antropolog asal Sumenep juga memprotes dalam harian Radar Madura, 3 November 2003. Komik yang diterbitkan sebagai seri pendidikan politik Common Ground Indonesia, sebuah LSM Internasional yang bergerak di bidang pengelolaan konflik ini dituding menyudutkan orang Madura lantaran salah satu tokohnya, Mat Ra’i anak Madura mengalami banyak kesialan (terlambat sekolah, disalahkan temannya, dijahili) walau dalam seri berikutnya Mat Ra?i menjadi pahlawan setelah menolong seorang anak yang terjatuh ke sungai.
 
Protes ini sesungguhnya terlampau berlebihan lantaran komik anak-anak ini dibaca dari sudut pandang yang salah. Ini membuktikan bahwa masih menunjukkan betapa kita masih kurang menghargai komik yang justru oleh peneliti asal Prancis, Marcel Bonneff dianggap sebagai gambaran moralitas bangsa. Dari ranah sastra, Sherman Alexie satu dari cerpenis muda terbaik versi majalah The New Yorker mengaku pernah “berhutang budi” pada komik. Dalam esai tentang proses kreatifnya, Superman and Me (The Most Wonderful Books, Milkweed Editions, 1999) di kala masih bocah dan belum lancar membaca, ia menebak jalan ceritanya sambil membolak-balik gambar komik Superman.
 
Mungkin jika Alexie tak membaca Superman ia tak akan menjadi sastrawan. Jika Bonneff tak menganggap komik Indonesia sebagai “gambaran moralitas bangsa” bisa jadi buku sejarah komik Indonesia tak pernah ditulis. Sampai kini, buku Marcel Bonneff Komik Indonesia (KPG, 1998) dianggap sebagai referensi paling memadai tentang sejarah komik Indonesia walau penelitiannya “hanya” sampai pada tahun 1972. Baru pada tahun 2002 terbit kajian komik lokal karya penulis asli Indonesia yaitu Menakar Panji Koming (Penerbit Buku Kompas, 2002) oleh Muhammad Nasri Setiawan.
 
Masalahnya, pengertian sebuah produk budaya bernama komik hampir seperti itulah yang dipahami sebagian besar masyarakat kita sehingga masih dalam sumber yang sama, Scott McCloud kemudian berseru dengan lantang, “Tak seharusnya buku komik seperti itu!”
 
Sejarah Kesalahpahaman Itu
 
Baiklah, di Indonesia cukup berkembang kesalahpahaman itu sehingga posisi komik, lokal maupun impor cenderung terpinggirkan. Perkembangan komik sendiri di Barat juga sebelumnya diawali kesalahpahaman.
 
Marcel Bonneff dalam pendahuluan buku Komik Indonesia menulis, di Barat pada tahun 1957 lahir pemikiran yang disebut F. Lacassin sebagai “Seni Kesembilan” sehingga masyarakat mulai menyadari makna, peranan, dan dampak komik berkat dukungan perintis yang berani. Di Prancis tahun 1958, sosiolog E. Morin muncul sebagai orang pertama yang membela komik sebagai produk seni budaya di majalah Le Nef. Kemudian pada 1962 berkat rangsangan F. Lacassin dan sineas Alain Resnais pada tahun 1962 dibentuk Klub Komik yang pada tahun 1964 berkembang menjadi Centre d’Etudes des Litteratures d’ Expression Graphique (C.E.L.E.G) atau Pusat Kajian Sastra Grafis. Berbagai komik diterbitkan kembali sehingga komik juga memiliki sejarawan, ahli estetika sampai ahli tafsir walau masih banyak para moralis dan pendidik menganggapnya sebagai “racun”.
 
Menurut pengamat komik Imansyah Lubis dalam Kompas, 17 September 2004 di Amerika muncul gerakan antikomik sekitar tahun 1950-an berupa pemboikotan dan pembakaran massal buku komik yang dianggap sebagai “racun” pendidikan. Untuk meredam aksi protes itu dibentuk sebuah lembaga bernama CCA (Comics Code Authority) yang fungsinya semacam badan sensor komik. Setiap komik yang dijual di tempat umum harus menggunakan tanda persetujuan CCA yang terbilang ketat. Karena menurut ahli komunikasi massa berkebangsaan Italia, Umberto Eco, “Komik menjadi sebuah bidang kajian yang luas dan sulit dijelajahi, tetapi terbuka bagi ‘semiotika pesan gambar’ dalam penelitian ahli komunikasi belum pernah ada batasan terhadap medium paling ketat selain CCA.”
 
Sebagai reaksi pemberontakan dari CCA ini pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an, muncul gerakan komik underground yang sangat mengutamakan kebebasan berpikir dan bercerita. Komik underground pada masa itu terinspirasi pula oleh gerakan flower generation yang antiperang Vietnam. Majalah MAD ciptaan Harvey Kurtzman adalah majalah komik underground bersifat parodi yang berpijak pada kondisi sosial, politik, seni, dan budaya di Amerika. Upaya demikian, menurut pengamat komik Hikmat Darmawan menambah sudut pandang kedewasaan di Amerika dalam membaca komik yang semula hanya dikonsumsi anak dan remaja.
 
Kehidupan dan perkembangan komik entah itu di Indonesia maupun di Barat sebenarnya amat ditentukan oleh kondisi kehidupan masyarakatnya. Seperti yang pernah ditegaskan Arthur Asa Berger dalam buku Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics (penerjemah M. Dwi Marianto, Tiara Wacana, Yogya, 1984), ia mengatakan komik sebenarnya memiliki banyak hal yang dapat kita baca, namun hanya jika kita peduli.
***

*) Penulis adalah Editor sebuah penerbit & pencinta komik, tinggal di Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2009/12/terdakwa-itu-adalah-komik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi