Sebuah Novel Biografi Ibnu Sina
Judul Buku: Ibnu Sina : Tawanan Benteng Lapis Tujuh
Penulis: Husayn Fattahi
Penerbit: Penerbit Zaman, Jakarta
Cetakan: 2011
Tebal: 295 halaman
Peresensi: Faizalbnu
Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, tidak
diragukan lagi seorang ilmuwan fenomenal dalam sejarah Islam. Dikenal dengan
nama Ibnu Sina atau Avicenna, ia menguasai ilmu kedokteran sekaligus ilmu
filsafat yang mengagumkan. Dalam bidang filsafat, ia berhasil meletakkan fondasi
filsafat Islam yang kokoh secara detail pada kitabnya As-Syifa’. Kitab ini,
merupakan magnum opus yang menjadi kanon bagi tradisi filsafat Islam.
Sementara di bidang kedokteran, Ibnu Sina menyumbangkan
gagasan orisinil nan fundamental. Ia orang pertama yang menemukan peredaran
darah manusia, dan mengatakan bahwa bayi yang masih berada dalam kandungan menerima
makanan melalui saluran pusar. Pemikiran-pemikiran tersebut termaktub dalam
karya besarnya yang lain, al-Qanun fi at-Thib. Kitab yang juga sering disebut
sebagai “Canon of Medicine” ini berisi
intisari pengobatan Islam dan menjadi kerangka ilmu kedokteran modern. Tak
heran, jika Dr William Osier, penulis buku “Evolution of Modern Science,”
mengatakan bahwa ‘Qanun’ telah menjadi “kitab suci kedokteran yang bertahan
lebih lama dari karya lain.”
Karyanya ini mampu bertahan selama enam abad, dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad ke 12. Qanun kemudian menjadi buku
wajib di sekolah-sekolah medis di Eropa. Di abad ke 15, kitab ini dicetak ulang
enam belas kali dengan lima belas cetakan dalam bahasa Latin, dan satu cetakan
bahasa Yahudi. Sementara di abad selanjutnya, kitab ini dicetak ulang sampai
dua puluh kali.
Selain dua karya di atas, sepanjang hidupnya Ibnu Sina
telah melahirkan lebih dari 400 buku. Karya-karyanya melintas sekat-sekat
disiplin keilmuan dan merentang dari ilmu agama, filsafat, kedokteran,
psikologi, bahkan geografi. Karya-karya inilah membuat namanya harum bertahan
dalam khazanah intelektual Barat maupun Timur selama berabad-abad.
Banyak yang tidak tahu, bahwa karya-karya tersebut lahir
di bawah tekanan dan penindasan. Hidup
Ibnu Sina dipenuhi tragedi dan kegetiran. Ibnu Sina lahir pada tahun 980 di
Afsyahnah daerah dekat Bukhara (Iran),
dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan. Husayn Fattahi melalui novel
biografis berjudul “Tawanan Benteng Lapis Tujuh” ini mengisahkan perjalanan hidup
sang tokoh. Novel kisah kegetiran hidup yang dihadapi Ibnu Sina sebagai konsekuensi
pergolakan politik yang tak kunjung usai.
Pada usia yang teramat muda 17 tahun, ia mampu
menyembuhkan penyakit yang diderita penguasa Bukhara, Raja Nuh bin Mansur. Hal
itu tidak mampu dilakukan oleh dokter-dokter kerajaan yang lain. Kesuksesan ini
membuat namanya dikenal di mana-mana. Raja kemudian mengangkatnya sebagai
dokter pribadi dan memberi akses luas terhadap perpustakaan kerajaan. Ironisnya
hal tersebut justru membawa Ibnu Sina masuk jauh dalam lingkungan kerajaan
hingga terjebak dalam intrik politik.
Dokter-dokter yang dengki dengan prestasi Ibnu Sina
bersekongkol dengan oposisi kerajaan untuk menyingkirkannya. Maka ketika raja
telah wafat, ia dijadikan musuh bersama. Penguasa Bukhara yang baru, Mahmud
Ghaznawi bahkan menjanjikan 5.000 keping emas bagi siapapun yang bisa
menangkapnya.
Merasa hidupnya terancam, sang as-syaikh ar-rais
melarikan diri. Pelarian ini membawanya ke berbagai tempat yang nyata
menghadirkan bahaya yang sama. Ia memang diterima di berbagai tempat karena namanya
sudah termahsyur. Namun, di setiap tempat yang didatangi, kedengkian
orang-orang di sekelilingnya juga selalu mengikuti.
Misalkan saat berhasil menjadi menteri di Hamdan. Posisi
ini hadiah yang diberikan penguasa atas dedikasi serta loyalitasnya. Ketika menjabat
sebagai menteri, berbagai kebijakannya sering tidak populer di hadapan elite
kekuasaan. Karena itu, sewaktu menekan kebijakan rasionalisasi anggaran
keamanan, angkatan bersenjata di kerajaan tersebut protes dan memberontak. Ibnu
Sina dipecat dari posisinya dan dimasukkan ke benteng Fardajan, penjara dengan
tujuh lapis tembok yang terletak di bukit.
Dari seorang dengan posisi terpandang menjadi pesakitan.
Berhari-hari tidak diberi makanan oleh sipir, sebagai bentuk hukuman atas
kebijakannya. Namun, justru inilah kehebatan Ibnu Sina. Di tengah berbagai kekalutan
dan kegalauan, melahirkan magnum opusnya. “Qanun dan As-Syifa” dikerjakan
ketika dalam pelarian dari represi politik di kota asal. Ia menulis hampir
setiap hari dengan hanya menyediakan waktu tidur dua jam per harinya.
Dengan jalinan antara fakta-fakta sejarah dengan
imajinasi kreatif, Husayn Fattahi berhasil mengisahkan cerita yang enak dibaca.
Husyain mampu menampilkan karakter Ibnu Sina yang kuat dalam menghadapi kisruh
kekuasaan yang menghimpit nyaris di sepanjang usia hidupnya. Novel ini menjadi referensi
awal yang menarik untuk memahami sosok Ibnu Sina. Tokoh besar yang namanya tak
lekang perjalanan waktu. Darinya, kita bisa belajar arti keteguhan, kerendah hatian,
dan kecintaan akan ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar