Rabu, 01 April 2020

Positioning Pasar Seni Lukis Indonesia

Djuli Djatiprambudi *
jawapos.com

Setiap karya seni punya pasar sendiri. Seperti yang terjadi di Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) di kompleks Balai Pemuda Surabaya, 1 - 11 Mei 2009. Ratusan pelukis dari berbagai kota menggelar karyanya di dalam 160 tempat yang disediakan panitia. Di hari kedua sudah disiarkan sekitar 200 karya terjual. Ratusan orang memadati arena pasar untuk menyaksikan ratusan lukisan dengan berbagai macam corak.
Dari lukisan beraroma ''Mooi Indie'' hingga yang disebut seni lukis ''kontemporer''. Ini artinya, setuju atau tidak, PSLI telah memperlihatkan konfigurasi infrastrukstur seni yang memiliki segmentasi pasar sendiri. Bayangkan, dari dua kali penyelenggaraan, sejak 2008, animo seniman dan pecinta seni meningkat tajam. Tahun lalu sekitar 115 seniman yang terlibat dengan omset sekitar Rp 400 juta, sekarang diikuti 360 seniman dan diprediksi omsetnya akan meningkat signifikan.

Saya mencatat, bagi sebagian orang PSLI dianggap jenis pasar seni yang ecek-ecek, karena tidak ada pelukis ''papan atas'' yang ikut serta. Karena itu, karya-karya yang dipamerkannya tidak cukup layak dijadikan bahan perbincangan dan layak untuk dikoleksi. Atas pendapat ini, panitia tidak perlu risau. Sebab, setiap pendapat ada kelas dan konteksnya. Apa sih sebenarnya yang dimaksud pelukis ''papan atas''? Siapa yang memberi cap macam itu? Kelas masyarakat macam apa yang mendukungnya? Apa motif ideologinya?

Predikat itu, sebenarnya, membuka ruang perdebatan yang seru. Seperti halnya, kenapa sejumlah karya diberi predikat masterpiece, sementara yang lain tidak? Dalam makna lebih jauh, predikat semacam itu sengaja diwacanakan, sesungguhnya sebagai strategi ''perang tanda'' untuk memperebutkan posisi ''kuasa simbolik'' dan ''kuasa selera'' dalam konteks kebudayaan hari ini.

Tapi, marilah kita melihat sisi lainnya. PSLI merupakan forum penting untuk memperluas distribusi karya seni, yang selama ini kurang mendapat tempat di galeri, balai lelang, biennale, triennale, maupun art fair. Forum-forum ini biasa digelar secara berkala dengan kemasan yang berbeda, dan segmentasi yang berbeda pula. Karena itu, dilihat dari perspektif distribusi, PSLI menjadi sangat penting. Di forum ini, kita diperlihatkan karya seni yang memiliki otoritas sejarah sendiri. Bukan otoritas sejarah yang ''dikendalikan'' oleh raksasa kapitalisme seni. Raksasa ini telah terbukti memainkan perannya secara hegemonistik dengan menciptakan berbagai mitos di medan pasar yang mereka ciptakan. Mitos-mitos semacam lukisan kontemporer, lukisan papan atas, pelukis rising star, kolektor cocot kencono, lukisan masterpiece, lukisan investasi, dalam banyak hal mereduksi nilai-nilai seni, kontribusi estetik dan sejarah seni.

Ketika PSLI ini diadakan, saya sungguh mengapresiasinya. Dengan demikian pasar seni rupa menjadi bertambah beragam, terbuka peluang menciptakan segmentasi yang berbeda, dan menghadirkan beragam karya dan seniman yang mungkin selama ini berada dalam posisi tersembunyi (hidden) di tengah hiruk-pikuk bom seni rupa, yang sempat meledak sampai empat kali di Indonesia.

Di forum ini, sebagai kurator saya mencatat berbagai macam potensi yang selama ini alfa dari perhatian. Di sinilah saya benar-benar diperlihatkan, betapa pasar semacam ini perlu. Karena pasar semacam ini seperti tidak ada jarak sosial, semua transaksi berlangsung terbuka (tanpa rekayasa), pecinta seni bisa langsung bertemu dengan senimannya, dan wacana benar-benar diproduksi secara intensif melalui pertemuan aktif antara seniman dan pecinta seni. Artinya, dalam ruang macam ini tidak perlu ada kurator, yang sering memberi bingkai (frame) terlalu artifisial terhadap suatu pameran. Dengan demikian, di PSLI suatu makna kita produksi sendiri dengan basis sosial, basis intelektual, basis material, basis kultural yang kita miliki. Maka, merdekalah kita. Di sini kita bebas terkontaminasi dengan sekian banyak mitos. Semuanya terserah kita. Eureka!

Memang, setiap pasar memiliki kemasan berbeda, karena itu ia menciptakan segmentasi berbeda. Tanpa diembel-embeli dengan kata ''pasar'' (market), sesungguhnya setiap even seni merupakan bentuk pasar. Pasar ini bisa terjadi di galeri, art fair, balai lelang, biennale, triennale, art forum, art summit, dan sebagainya. Semua itu, sekali lagi, adalah pasar. Di forum ini ada karya yang disajikan, ada harga yang diestimasikan, ada seniman yang dipilih, ada kurator yang mewacanakan, ada manajer yang merancang strategi, ada kolektor yang berebut, ada isu yang dihembuskan, ada media yang mewartakannya, ada berbagai fasilitas lain yang mengepungnya, hingga even itu menjadi magnit dalam kebudayaan kontemporer.

Ingat, dalam kebudayaan kontemporer berlaku politik kemasan, politik penyajian, politik pencitraan. Kalau hal macam ini alfa kita garap, sekalipun kita punya sejumlah karya yang brilian, karya itu tidak akan mendapatkan tempat. Sebaliknya, kalau kita pandai membangun politik pencitraan, sekalipun karya yang ada biasa-biasa saja, maka bisa jadi karya itu akan mendapat tempat yang nyaman, dijadikan rebutan, dan diomongkan di mana-mana. Jadi, jangan heran, kalau Anda menemukan suatu pameran di sebuah galeri yang dianggap sekelompok orang sebagai galeri prestisius, ternyata karya yang dipamerkan membuat kita bertanya-tanya dengan nada nyinyir, ''karya apakah ini?'' Kalau terjadi hal demikian, kita sebenarnya telah terjebak oleh politik pencitraan.

Kalau sudah demikian, biasanya kita ''terpaksa'' menerima karya macam itu sebagai referensi tanpa ada reaksi kritis. Dan, andaikata sudah dalam stadium semacam itu, kata Gramsci, kita telah terhegemoni oleh jejaring medan seni. Kata Bourdieu, kita terperangkap pada praktik sosial yang diciptakan oleh kelas elite (burjuis), dengan segenap habitus, modal, dan ranah yang mereka kuasai. Kebudayaan kontemporer memang mengambil peran melalui kuasa ekonomi (basis material). Dengan jalan ini semua menjadi masuk perangkap komodifikasi. Semua hal bisa dikemas dalam bingkai peradaban yang mereka inginkan, dengan ekonomi sebagai basis materialnya.

Komodifikasi akhirnya mau tak mau hadir dalam praktik dan wacana seni hari ini. Dalam konteks ini, lalu yang harus dipersoalkan, ketika komodifikasi itu berlangsung, masyarakat dan ikon macam apa yang terlibat di dalamnya? Kalau misalnya yang terlibat di dalamnya didominasi masyarakat pedagang, maka komodifikasi seni menjadi berubah wajahnya, yaitu komoditisasi.

Ingat, komodifikasi dan komoditisasi adalah dua hal yang berbeda. Komodifikasi menunjuk pada praktik ideologi pasar yang mengendalikan sumber produksi, mekanisme pasar, hingga ke tahap nilai-nilai. Komodifikasi selalu bergerak dalam platform ideologis, benda simbolik, agensi, dan jejaring. Sementara dalam komoditisasi platform-nya sangat pragmatis, yaitu sekadar transaksi finansial. Sebaliknya dalam komodifikasi transaksi bukan sekadar finansial, melainkan bisa transaksi nilai, transaksi tanda/simbol, transaksi kultural, dan transaksi sosial.

Dari konteks tersebut, kita bisa melihat apakah PSLI merupakan forum komodifikasi atau sekadar komoditisasi karya seni. Kalaupun PSLI memiliki positioning sebagai ruang komoditisasi karya seni, bagi saya tidak masalah. Paling tidak untuk jangka pendek. Sebab, kalau positioning ini terus dipertahankan, maka menjadi sangat sulit memberi makna lebih luas PSLI dalam peta di medan sosial seni (art world) Indonesia atau mungkin Asia. Pasar seni (art market) yang memiliki gaung besar di kota-kota besar di sejumlah negara Asia, tidak lain dirancang ke arah platform komodifikasi seni (art commodification). Karena itu, ia memiliki daya tarik yang kuat. ***

*) Kurator, menulis Disertasi ''Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia 1987-2007''

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi