Djuli Djatiprambudi *
jawapos.com
Setiap karya seni punya pasar sendiri. Seperti yang terjadi di Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) di kompleks Balai Pemuda Surabaya, 1 - 11 Mei 2009. Ratusan pelukis dari berbagai kota menggelar karyanya di dalam 160 tempat yang disediakan panitia. Di hari kedua sudah disiarkan sekitar 200 karya terjual. Ratusan orang memadati arena pasar untuk menyaksikan ratusan lukisan dengan berbagai macam corak.
Dari lukisan beraroma ''Mooi Indie'' hingga yang disebut seni lukis ''kontemporer''. Ini artinya, setuju atau tidak, PSLI telah memperlihatkan konfigurasi infrastrukstur seni yang memiliki segmentasi pasar sendiri. Bayangkan, dari dua kali penyelenggaraan, sejak 2008, animo seniman dan pecinta seni meningkat tajam. Tahun lalu sekitar 115 seniman yang terlibat dengan omset sekitar Rp 400 juta, sekarang diikuti 360 seniman dan diprediksi omsetnya akan meningkat signifikan.
Saya mencatat, bagi sebagian orang PSLI dianggap jenis pasar seni yang ecek-ecek, karena tidak ada pelukis ''papan atas'' yang ikut serta. Karena itu, karya-karya yang dipamerkannya tidak cukup layak dijadikan bahan perbincangan dan layak untuk dikoleksi. Atas pendapat ini, panitia tidak perlu risau. Sebab, setiap pendapat ada kelas dan konteksnya. Apa sih sebenarnya yang dimaksud pelukis ''papan atas''? Siapa yang memberi cap macam itu? Kelas masyarakat macam apa yang mendukungnya? Apa motif ideologinya?
Predikat itu, sebenarnya, membuka ruang perdebatan yang seru. Seperti halnya, kenapa sejumlah karya diberi predikat masterpiece, sementara yang lain tidak? Dalam makna lebih jauh, predikat semacam itu sengaja diwacanakan, sesungguhnya sebagai strategi ''perang tanda'' untuk memperebutkan posisi ''kuasa simbolik'' dan ''kuasa selera'' dalam konteks kebudayaan hari ini.
Tapi, marilah kita melihat sisi lainnya. PSLI merupakan forum penting untuk memperluas distribusi karya seni, yang selama ini kurang mendapat tempat di galeri, balai lelang, biennale, triennale, maupun art fair. Forum-forum ini biasa digelar secara berkala dengan kemasan yang berbeda, dan segmentasi yang berbeda pula. Karena itu, dilihat dari perspektif distribusi, PSLI menjadi sangat penting. Di forum ini, kita diperlihatkan karya seni yang memiliki otoritas sejarah sendiri. Bukan otoritas sejarah yang ''dikendalikan'' oleh raksasa kapitalisme seni. Raksasa ini telah terbukti memainkan perannya secara hegemonistik dengan menciptakan berbagai mitos di medan pasar yang mereka ciptakan. Mitos-mitos semacam lukisan kontemporer, lukisan papan atas, pelukis rising star, kolektor cocot kencono, lukisan masterpiece, lukisan investasi, dalam banyak hal mereduksi nilai-nilai seni, kontribusi estetik dan sejarah seni.
Ketika PSLI ini diadakan, saya sungguh mengapresiasinya. Dengan demikian pasar seni rupa menjadi bertambah beragam, terbuka peluang menciptakan segmentasi yang berbeda, dan menghadirkan beragam karya dan seniman yang mungkin selama ini berada dalam posisi tersembunyi (hidden) di tengah hiruk-pikuk bom seni rupa, yang sempat meledak sampai empat kali di Indonesia.
Di forum ini, sebagai kurator saya mencatat berbagai macam potensi yang selama ini alfa dari perhatian. Di sinilah saya benar-benar diperlihatkan, betapa pasar semacam ini perlu. Karena pasar semacam ini seperti tidak ada jarak sosial, semua transaksi berlangsung terbuka (tanpa rekayasa), pecinta seni bisa langsung bertemu dengan senimannya, dan wacana benar-benar diproduksi secara intensif melalui pertemuan aktif antara seniman dan pecinta seni. Artinya, dalam ruang macam ini tidak perlu ada kurator, yang sering memberi bingkai (frame) terlalu artifisial terhadap suatu pameran. Dengan demikian, di PSLI suatu makna kita produksi sendiri dengan basis sosial, basis intelektual, basis material, basis kultural yang kita miliki. Maka, merdekalah kita. Di sini kita bebas terkontaminasi dengan sekian banyak mitos. Semuanya terserah kita. Eureka!
Memang, setiap pasar memiliki kemasan berbeda, karena itu ia menciptakan segmentasi berbeda. Tanpa diembel-embeli dengan kata ''pasar'' (market), sesungguhnya setiap even seni merupakan bentuk pasar. Pasar ini bisa terjadi di galeri, art fair, balai lelang, biennale, triennale, art forum, art summit, dan sebagainya. Semua itu, sekali lagi, adalah pasar. Di forum ini ada karya yang disajikan, ada harga yang diestimasikan, ada seniman yang dipilih, ada kurator yang mewacanakan, ada manajer yang merancang strategi, ada kolektor yang berebut, ada isu yang dihembuskan, ada media yang mewartakannya, ada berbagai fasilitas lain yang mengepungnya, hingga even itu menjadi magnit dalam kebudayaan kontemporer.
Ingat, dalam kebudayaan kontemporer berlaku politik kemasan, politik penyajian, politik pencitraan. Kalau hal macam ini alfa kita garap, sekalipun kita punya sejumlah karya yang brilian, karya itu tidak akan mendapatkan tempat. Sebaliknya, kalau kita pandai membangun politik pencitraan, sekalipun karya yang ada biasa-biasa saja, maka bisa jadi karya itu akan mendapat tempat yang nyaman, dijadikan rebutan, dan diomongkan di mana-mana. Jadi, jangan heran, kalau Anda menemukan suatu pameran di sebuah galeri yang dianggap sekelompok orang sebagai galeri prestisius, ternyata karya yang dipamerkan membuat kita bertanya-tanya dengan nada nyinyir, ''karya apakah ini?'' Kalau terjadi hal demikian, kita sebenarnya telah terjebak oleh politik pencitraan.
Kalau sudah demikian, biasanya kita ''terpaksa'' menerima karya macam itu sebagai referensi tanpa ada reaksi kritis. Dan, andaikata sudah dalam stadium semacam itu, kata Gramsci, kita telah terhegemoni oleh jejaring medan seni. Kata Bourdieu, kita terperangkap pada praktik sosial yang diciptakan oleh kelas elite (burjuis), dengan segenap habitus, modal, dan ranah yang mereka kuasai. Kebudayaan kontemporer memang mengambil peran melalui kuasa ekonomi (basis material). Dengan jalan ini semua menjadi masuk perangkap komodifikasi. Semua hal bisa dikemas dalam bingkai peradaban yang mereka inginkan, dengan ekonomi sebagai basis materialnya.
Komodifikasi akhirnya mau tak mau hadir dalam praktik dan wacana seni hari ini. Dalam konteks ini, lalu yang harus dipersoalkan, ketika komodifikasi itu berlangsung, masyarakat dan ikon macam apa yang terlibat di dalamnya? Kalau misalnya yang terlibat di dalamnya didominasi masyarakat pedagang, maka komodifikasi seni menjadi berubah wajahnya, yaitu komoditisasi.
Ingat, komodifikasi dan komoditisasi adalah dua hal yang berbeda. Komodifikasi menunjuk pada praktik ideologi pasar yang mengendalikan sumber produksi, mekanisme pasar, hingga ke tahap nilai-nilai. Komodifikasi selalu bergerak dalam platform ideologis, benda simbolik, agensi, dan jejaring. Sementara dalam komoditisasi platform-nya sangat pragmatis, yaitu sekadar transaksi finansial. Sebaliknya dalam komodifikasi transaksi bukan sekadar finansial, melainkan bisa transaksi nilai, transaksi tanda/simbol, transaksi kultural, dan transaksi sosial.
Dari konteks tersebut, kita bisa melihat apakah PSLI merupakan forum komodifikasi atau sekadar komoditisasi karya seni. Kalaupun PSLI memiliki positioning sebagai ruang komoditisasi karya seni, bagi saya tidak masalah. Paling tidak untuk jangka pendek. Sebab, kalau positioning ini terus dipertahankan, maka menjadi sangat sulit memberi makna lebih luas PSLI dalam peta di medan sosial seni (art world) Indonesia atau mungkin Asia. Pasar seni (art market) yang memiliki gaung besar di kota-kota besar di sejumlah negara Asia, tidak lain dirancang ke arah platform komodifikasi seni (art commodification). Karena itu, ia memiliki daya tarik yang kuat. ***
*) Kurator, menulis Disertasi ''Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia 1987-2007''
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Kirno Tanda
A.C. Andre Tanama
A.D. Pirous
A.S. Laksana
Abdillah M Marzuqi
Abdul Ajis
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abu Nisrina
Adhi Pandoyo
Adib Muttaqin Asfar
Adreas Anggit W.
Afnan Malay
Agama Para Bajingan
Agung Kurniawan
Agung WHS
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T
Agus Hernawan
Agus Mulyadi
Agus R. Subagyo
Agus Sigit
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Alim Bakhtiar
Alur Alun Tanjidor
Amang Rahman Jubair
Amien Kamil
Amri Yahya
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
Andong Buku
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Andry Deblenk
Anindita S Thayf
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Adrian
Anton Kurnia
Anwar Holid
Ardhabilly
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arti Bumi Intaran
Ary B Prass
Aryo Wisanggeni G
AS Sumbawi
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Ayu Sulistyowati
Bambang Bujono
Bambang Soebendo
Bambang Thelo
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Basoeki Abdullah
Basuki Ratna K
BE Satrio
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Brunel University London
Buku Kritik Sastra
Bustan Basir Maras
Candrakirana KOSTELA
Catatan
Cover Buku
Dahlan Kong
Daniel Paranamesa
Dari Lisan ke Lisan
Darju Prasetya
Debat Panjang Polemik Sains di Facebook
Dedy Sufriadi
Dedykalee
Denny JA
Desy Susilawati
Di Balik Semak Pitutur Jawa
Dian Sukarno
Dian Yuliastuti
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dipo Handoko
Disbudpar
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwin Gideon
Edo Adityo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Faidil Akbar
Faizalbnu
Fatah Yasin Noor
Festival Teater Religi
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Franz Kafka
Galeri Sonobudoyo
Gatot Widodo
Goenawan Mohamad
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Hans Pols
Hardjito
Haris Saputra
Harjiman
Harryadjie BS
Hendra Sofyan
Hendri Yetus Siswono
Hendro Wiyanto
Heri Kris
Herman Syahara
Heru Emka
Heru Kuntoyo
htanzil
I Wayan Seriyoga Parta
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indigo Art Space
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Intan Ungaling Dian
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Jajang R Kawentar
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jonathan Ziberg
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jual Buku Paket Hemat 23
Jumartono
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Karikatur Hitam-Putih
Karikatur Pensil Warna
Kartika Foundation
Kemah Budaya Pantura (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Koktail
Komik
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Koskow
Koskow (FX. Widyatmoko)
KOSTELA
Kris Monika E
Kyai Sahal Mahfudz
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Shitaresmi
Leo Tolstoy
Literasa Donuts
Lords of the Bow
Luhung Sapto
Lukas Luwarso
Lukisan
M Anta Kusuma
M. Ilham S
M. Yoesoef
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoenomo
Mas Dibyo
Mashuri
Massayu
Masuki M Astro
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Moch. Faisol
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moses Misdy
Muhajir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musdalifah Fachri
Ndix Endik
Nelson Alwi
Nietzsche
Noor H. Dee
Novel Pekik
Nung Bonham
Nurel Javissyarqi
Nurul Hadi Koclok
Nuryana Asmaudi SA
Obrolan
Octavio Paz
Oil on Canvas
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Lukisan
Pasar Seni Indonesia
Pasar Seni Lukis Indonesia
PC. Lesbumi NU Babat
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Harjiman
Pelukis Saron
Pelukis Sugeng Ariyadi
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Penerbit PUstaka puJAngga
Penerbit SastraSewu
Pesta Malang Sejuta Buku 2014
Proses kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
R Ridwan Hasan Saputra
Rabdul Rohim
Rahasia Literasi
Rakai Lukman
Rambuana
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rudi Isbandi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumoh Projects
S. Yadi K
Sabrank Suparno
Saham Sugiono
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sapto Hoedojo
Sastra
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra ke #24
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Rupa
Septi Sutrisna
Seraphina
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sketsa
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Srihadi Soedarsono
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sunu Wasono
Susiyo Guntur
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno SZ
Syifa Amori
Tammalele
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
TANETE
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan Pinang
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Toto Nugroho
Tri Andhi S
Tri Moeljo
Triyono
Tu-ngang Iskandar
Tulus Rahadi
Tulus S
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Vincent van Gogh
Vini Mariyane Rosya
W.S. Rendra
Wachid Duhri Syamroni
Wahyudin
Warung Boenga Ketjil
Wasito
Wawancara
Wayan Sunarta
William Bradley Horton
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yunisa
Zawawi Se
Zulfian Hariyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar