Rabu, 01 April 2020

''Pasar'' Seni Rupa Kontemporer

I Wayan Seriyoga Parta *
balipost.com

PERKEMBANGAN seni rupa kini atau yang lebih akrab disebut sebagai kontemporer ditandai dengan meluasnya kembali wilayah dan cakupan bidang seni rupa, setelah sebelumnya dispesialisasikan dan dibuatkan sekat-sekat yang memisahkan antara satu dengan lainnya.

Seperti pemisahan seni murni dan seni terapan, kedua bidang seni rupa ini diletakkan dalam posisi biner dan kerap dipertentangkan secara dikotomis. Seni seni murni antara lain meliputi seni lukis dan patung, pada perkembangan berikutnya juga seni grafis, sementara seni terapan mencangkup desain dan kriya.

Seni modern kemudian tumbuh menjadi sebuah lingkaran institusi, yang di dalamnya terdapat museum sebagai kuilnya, seniman individual-genius-kreatif yang umumnya laki-laki berkulit putih dengan ras barat, ada kritikus dan kurator, serta galeri dan balai lelang, juga kelas menengah atas yang menjadi apresiator untuk karya-karya seni modern. Kesemuanya itu berjalan dengan baik menjadikan seni modern sebagai satu-satunya bentuk kesenian yang universal, melalui kolonialisme kemudian disebarkan dari Eropa menuju Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan bahkan Afrika.

Dikotomi seni murni dan desain ternyata tidak berlangsung lama, ketika muncul arus besar yang disebut post modern, menyangsikan dan bahkan secara radikal mengumandangkan dekonstruksi atas modernisme meratas semua batasan dalam seni rupa sehingga menjadi sama semua, tidak ada lagi perbedaan seni murni dan desain atau dengan kriya. Gerakan ini menjadi sangat kuat karena muncul pada semua lini, dalam kekaryaan tahun 1960-an muncul seni pop yang membawa pengalaman dan citra-citra keseharian dalam ekspresi seni Andy Warhol membuat kaleng sup dalam kanvas dengan teknik cetak saring (sablon), Roy Lichtenstein mengangkat komik menjadi karya seni.

Pada ranah filsafat, gerakan ini menjadi diskursus yang secara terus-menerus dibedah dan dibahas terutama oleh kaum post strukturalis. Secara sederhananya dapat kita temui dalam pengalaman empiris kehidupan sosial budaya sehari-hari, pada kenyataannya entitas kehidupan termasuk seni di dalamnya tidak dapat dengan tegas dipisah-pisahkan, selalu ada wilayah abu-abu. Sebuah kenyataan empiris yang tidak dapat ditolak modernisme.

Kekuatan Kapitalis

Kini, dalam wilayah yang disebut seni kontemporer, sulit bagi kita untuk membuat batasan-batasan antara seni dan desain. Ketika teknologi berkembang begitu pesat kini, banyak seniman berkarya dengan dengan bantuan teknologi fotografi dan komputer. Begitu juga halnya dengan desain kredo "form follow function" sudah tidak lagi menjadi acuan, visual desain kini telah berkembang jauh -- fungsi mungkin merupakan aspek yang kesekian dari wujud itu sendiri.

Pada karya-karya seni rupa modern, kontrol atas artistic value sejajar dengan economic valeu, namun dalam seni rupa kontemporer kekuatan kapitalis sangat berperan di dalamnya. Kekuatan pasar begitu besar dalam menopang perkembangan karya-karya seni rupa kontemporer. Sejak tiga tahun belakangan, puluhan balai lelang bertumbuhan di Indonesia, seperti Masterpiece, Borobudur, Heritage, Cempaka, Denindo, dan lain-lain. Melalui balai lelang itulah harga karya-karya seniman muda didongkrak seperti dijelaskan Silvana Silveira dalam tulisan berjudul "Collecting Contemporary Art: A Cultural or Economic Capital?".

Salah satu yang paling fenomenal adalah Nyoman Masriadi dalam acara lelang di Hongkong pada 2008, harga salah satu karyanya bisa menembus angka penjualan sekitar Rp 6 milyar. Harga yang cukup fantastis melewati seniman senior seperti Affandi, padahal jam terbang Masriadi masih jauh, bahkan masih belum bisa dibandingkan perupa Agus Suwage. Kondisi ini bisa terjadi karena mekanisme pasar dalam perkembangan seni rupa kontemporer ini.

Para apresiator dalam hal ini umumnya dari golongan menengah atas, yang menyadari mengoleksi karya seni rupa adalah sebuah prestise, dan juga telah menjadi bagian dari gaya hidup kaum menengah atas di Indonesia. Dalam tulisan Ilham Koiri pada sebuah koran nasional, wawancaranya dengan narasumber Rachel Ibrahim, pemilik Sigi Arts Gallery di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mengungkapkan; "Perluasan apresiasi seni itu juga ditandai dengan tumbuhnya kolektor baru dari kalangan profesional muda kota. Bagi mereka, karya seni bukan lagi sekadar gengsi, melainkan kebutuhan gaya hidup yang bisa dinikmati dengan cara masing-masing".

Bak gayung bersambut, seiring dengan seni sebagai gaya hidup, seni juga menjadi investasi yang tak kalah seperti investasi saham. Su Mei Thompson, "Seni sebagai Investasi", dalam sebuah majalah seni menguraikan; "Pandangan bahwa karya seni bisa menjadi investasi yang baik, jika dibandingkan dengan saham dan obligasi, didukung oleh makin banyaknya studi akademis, seni bisa dilawankan dengan laba dari saham dan obligasi, dan bahwa karya seni punya korelasi yang sangat lemah dengan pasar ekuisitas, yang berarti bahwa karya seni punya potensi yang amat berguna dan bernilai".

Komoditi Empuk

Seni rupa khususnya (seni lukis di Indonesia) dalam perkembangan seni kontemporer telah menjadi komoditi yang empuk bagi golongan menengah atas, menjadi sebuah gaya hidup dan sekaligus juga investasi yang baik. Sebuah perkembangan yang begitu massif dan tidak mungkin dalam era seni modern.

Jika seni modern melahirkan gaya/aliran (isme), maka kini dalam seni kontemporer muncul fashion, trend yang tidak berdasarkan sebuah ideologi artistik seperti halnya dalam isme seni rupa modern. Dan sebagaimana halnya sebuah trend, tentunya dapat dengan cepat berubah.

Di Indonesia, tradisi mengoleksi karya seni rupa sejak awal kemerdekaan dimulai oleh presiden Soekarno, seorang teknokrat dan politikus yang memiliki kecintaan yang mendalam terhadap seni. Soekarno adalah presiden yang sangat dekat dengan seniman, ia bahkan membayar dengan mencicil untuk membeli karya Affandi, Hendra Gunawan, Sudjojono dan lainnya. Berkat jasa Soekarno-lah istana negara memiliki koleksi karya seni lukis dari para maestro Indonesia yang bernilai sejarah, diwariskan hingga saat ini.

Pada 1990-an muncul kolektor yang cukup berpengaruh asal Magelang Oei Hong Djien, yang mempunyai koleksi cukup lengkap dan mampu menggerakkan para pengusaha tembakau untuk mulai mengoleksi karya seni rupa terutama karya-karya seni lukis.

Kecenderungan untuk mengoleksi karya seni rupa semakin meningkat pada tahun 2000-an yang ditandai dengan tumbuhnya kolektor-kolektor muda, umumnya mereka adalah para eksekutif muda dari golongan menengah atas yang memiliki basik pendidikan dari luar negeri. Dalam ulasan perihal sepak terjang kolektor muda di Indonesia di sebuah majalah seni, Yusuf Susilo Hartono menguraikan, "dalam praktik mengoleksi seni rupa kontemporer, sekurang-kurangnya terdapat aspek kesenangan adventurer, risiko, kompetisi dan gaya hidup".

Para kolektor muda inilah yang menopang perkembangan apresiasi karya-karya seni rupa kontemporer, didukung oleh sikap adventurer untuk menemukan dan lebih lanjut nantinya membuktikan bahwa pilihan mereka adalah karya dan seniman yang memiliki perkembangan karir bagus.

Pengoleksian karya seni dalam hal ini merupakan aktivitas konsumsi, seperti dijelaskan Yasraf Amir Piliang dalam buku "Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan", "konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu".

Adalah sebuah kepuasan yang tidak saja bersifat materi (karena seiring dengan senimannya harga karya tentunya melonjak naik), namun juga merupakan sebuah kepuasan batin karena telah menemukan sesuatu yang berharga. Motivasi ekonomi berjalan sejajar dengan sebuah prestise yang dijanjikan dalam pengoleksian karya seni rupa, menjadikan para kolektor muda ini makin semangat. Karena "yang dikonsumsi tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di baliknya" seperti ditegaskan oleh Yasraf Amir Piliang.
***
________________
*) Penulis adalah Staf Pengajar di Universitas Negeri Gorontalo, dan kini sedang menyelesaikan studi Magister Seni Rupa di ITB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi