Rabu, 01 April 2020

Gedung Kesenian Cak Besut

Sabrank Suparno

Saya membayangkan ada dialog antara almarhum Cak Besut dengan Cak Durasim. Bisa juga perbincangan dua tokoh maestro Ludruk itu benar-benar terjadi di alam kubur. Indikatornya apa? Jawabnya gampang, hingga membuat anda tidak tidur bermalam-malam. Apalagi ketika anda mengetahui analogi jawaban perbincangan dua maestro Ludruk ini sambil nyeruput kopi racikan Yu Darmani pengelola warung kopi nyentrik di pojok pintu masuk Desa Nglele Kecamatan Sumobito. Bukan sekedar rasa dan aroma kopinya yang cospleng, tapi di warung kopi Yu Darmani inilah seluruh teman penulis (seniman) baik lokal, regional, nasional, bahkan Miguel Fonsecca Horta seniman dari Portugis pernah saya ajak nyeruput kopi di warung ini.

Cak Besut hidup sekitar tahun 1889 hingga awal 1900an. Nama asli Cak Besut adalah Santik yang mengamen dengan dandanan badut menor, saking menornya masyarakat Jawa bagian Jombang menyebut dengan istilah lerok-lerok. Saat menor ini pengamen Santik dikenal dengan pengamen Lerok.

Berikutnya pengamen Lerok melai membangun alur cerita dalam ngamennya. Tokoh dalam lakon baku pengamen Lerok adalah dialog antara Besut, Rusmini, Paman Gondho Jamino dan Sumogambar. Dari tokoh utama Besut inilah kemudian dikenal istilah ada pengamen Besut/Besutan lewat. Tahun-tahun berikutnya lakon Besutan menjadi cikal bakal lahirnya kesenian Ludruk Jawa Timur. Tentu saja Pak Santik atau yang dikenal Cak Besut sudah wafat di jamannya.

Tokoh maestro ke dua adalah Cak Durasim yang hidup masa penjajahan Nippon 1942-1945 dan resmi menjadi seniman Ludruk, satu era baru setelah Besut mentransformasi menjadi Ludruk. Kapasitas ketokohan Cak Durasim baru tersohor sebagai pahlawan Ludruk ketika melantunkan gandangan Bakupon Omahe doro//Melu Nippon tambah soroh. Lantaran gandangan Bakupon tersebut Cak Durasim dimasukkan penjarah dan dijuluki pahlawan seniman Ludruk yang menyuarakan sikap pemberontakan terhadap kolonial. Tentu Cak Durasim juga sudah wafat dan dimakamkan di Pasar Tembok Surabaya Barat.

Oke, Cak Besut dan Cak Durasim sudah wafat sebagaimana Soekarno dan Soeharto juga telah wafat. Setiap yang wafat sudah tidak berupa benda padat: materi, melainkan Ruh abadi. Bahasa yang paling gampang untuk menangkap Ruh adalah setara cahaya baik redup atau moncer. Untuk menangkap cahaya yang paling gampang adalah cahaya firmon, yakni satuan cahaya yang menelusup menerangi bathin, dunia ide, imajinasi. Cahaya firmon berbeda dengan cahaya bozon yang berentuk fisik semisal cahaya lampu, cahaya matahari yang menerangi pantulan benda kasat mata. Berdasarkan cahaya fimon inilah para pengikut Soekarno tidak sekedar ndilalah, tidak ujug-ujug begitu saja mereka menemukan yel yel, jargon, semboyan, pakaian bahkan gerakan kenegaraan yang dulu dikumandangkan presiden pertama Indonesia itu untuk generasi penerus bangsa. Tentu ada penelusupan Ruh Soekarno yang membisikkan ide pada pengikutnya agar melakukan demikian. Begitu juga Ruh Soeharto pasti muncul dan membisikkan pada kreator untuk mengaplikasi foto presiden terlama di Indonesia itu beserta pesan barunya, "piye Le? Jik enak jamanku biyen to?" Foto dan sebaris kalimat yang suatu waktu banyak terpajang di bamper truk dan dinding fesbuk.

Demikian, bukan kebetulan jika Cak Besut dan Cak Durasim sedang berdialog dan menyelinap dalam fikiran para tukang bicak, pengamen, pedagang, seniman terutama pada penulis. Tentu ada bisikan kalbu dari dua orang bersangkutan. Tujuan kedua seniman senior ini membocorkan dialognya ke penulis supaya generasi sepeninggal mereka menghitung ulang apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan serta sejauh mana perjuangan mereka masih disanjungkan?

Mereka membincang hal paling mendasar sebagai mantan tokoh Ludruk. Dalam bayangan saya Cak Durasim lebih hormat pada Cak Besut, sebab bagaimanapun juga Cak Besut adalah babon lahirnya kesenian Ludruk. Cak Besut menjelentrehkan kepanjangan namanya, Besut yang artinya ‘beto maksud, beberno maksud’(membawa, memaparkan suatu tujuan). Arti luasnya bahwa ada konsep yang diemban dalam kesenian Besut-an. Yakni misi berdakwah meninggikan martabat individu sebagai makhluk sosial serta martabat berbangsa dan bernegara, dalam hal ini menyadarkan adanya kekangan kolonialisme waktu itu.

Cak Durasim juga menjelaskan namanya. ‘Dur-Asim’ gabungan dua tokoh besar dalam satu garis keturunan, yakni Gus Dur cucu Kiai H-asyim Asy A’ri. Dua tokoh yang menyatu dalam karakter berbeda. Kiai Hasyim Asy A’ri berpenampilan formal sebagai konsekuensi tokoh spiritual, sedang Gus Dur berbudaya sadur, manaruh keseimbangan antara kedalaman ilmu (nilai) yang disampaikan secara kelakar. Kiai Hasym Asy A’ri disiplin mengembangkan nilai dengan jalan tradisi, sedang Gus Dur menjalankan tradisi untuk mengendarai modernisasi. Artinya, Cak Durasim dilahirkan untuk menangkap fenomena yang bereda dalam satu alur transformasi budaya.

Berikutnya Cak Durasim mengungkapkan kesungkanannya pada Cak Besut perihal namanya yang sudah diabadikan sebagai nama gedung kesenian tingkat propinsi, yakni Gedung Kesenian Cak Durasim di Jalan Gentengkali Surabaya. Sedangkan nama Cak Besut yang melahirkan kesenian Ludruk justru belum disentuh sebagai tanda peradaban yang dilahirkannya. Seharusnya di Jombang, kota yang melahirkan cikal bakal kesenian agung Ludruk sudah dibangun Gedung Kesenian Cak Besut. Supaya generasi penerusnya tidak kewohan jika ditanya rekan atau sejawat tentang adanya gedung kesenian di Jombang. Bagaimanapun juga Jombang adalah wilayah berperadaban tua yang dikenal secara nasional. Aneh jika sebuah kota tersohor perihal fasilitas gedung kesenian saja dibanding wilayah lain, Jombang paling molor.

Antisipasi Cak Durasim atas generasi penerus inilah yang kerap menimpa masyarakat Jombang. Salah satu contoh apa yang saya alami sebagai generasi Jombang terjadi saat Muktamar NU-33 di Jombang 1-5 Agustus lalu. Di mana semua tokoh, termasuk seniman di dalamnya tumplek blek mengunjungi Jombang. Selaku warga tuan rumah pasca-Muktamar lalu kebetulan tempat saya dihuni sekitar 20 rekan wartawan on line PBNU dan 100 personil pendekar silat dari Banyuwangi yang diutus khusus mengawal keamanan kiai sepuh. Selain ditempati, saya juga antar-jemput tokoh senior D. Zawawi Imron (penyair Celurit Emas), Ahmad Tohari (novelis Ronggeng Dukuh Paruk) dari penginapan untuk diskusi di salah satu tempat makan di Jombang yang kebetulan di rumah makan tersebut secara tidak sengaja bertemu dengan rombongan Zeni Wahid. Salah satu lontaran pertanyaan yang sama dari para tamu, “lho masa di Jombang belum ada Gedung Kesenian? Gak masuk akal itu! Paribasane lho, ngapain aja yang dilakukan tokoh-tokoh besar Jombang selama ini? Baik yang pernah menjabat atau yang sedang menjabat. Baik yang di dalam Jombang atau yang kondang di luar kota, kok gae Gedung Kesenian aja gak bisa.”

Jombang, 3 Desember 2015.
http://sastra-indonesia.com/2016/03/gedung-kesenian-cak-besut/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi