Tu-ngang Iskandar
Aceharts Yogyakarta
158 karya seni rupa kontemporer dari 115 seniman kembali
mengejutkan publik di Yogyakarta. Sebuah bursa seni rupa kontemporer yang unik
dan merupakan art fair-nya para seniman dengan karya seni rupa kontemporernya.
Adalah kali keenam acara ini telah berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta.
Yaitu ART|JOG 2013 yang merupakan perhelatan senirupa Indonesia dan Asia,
berlangsung sejak tanggal 6 sampai 20 Juli di tahun 2013 ini.
Setelah tahun lalu ART|JOG mengusung tema 'Looking East-A
Gaze of Indonesian Contemporary Art', tahun ini tema yang diusung ART|JOG|13
adalah ‘Maritime Culture’, sebuah tema yang dimaksudkan sebagai pintu masuk
pola pikir maritim, dimana Indonesia mempunyai posisi penting dalam arus
perkembangannya, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Seperti penyelenggaran sebelumnya, pameran ART|JOG|13
terbagi menjadi 3 kategori, yaitu Commission Work, Special Presentation, dan
Art Fair. Dalam Commission Work, Iwan Effendi feat Papermoon Puppet Theatre
diundang untuk menyulap halaman depan TBY dengan instalasi komidi putar
raksasanya, Special Presentation menghadirkan desainer grafis dan tipografer
Internasional Stefan Sagmeister, sedangkan Art Fair yang menjadi urat nadi
utama penyelenggaraan ART|JOG dilakukan melalui mekanisme Open Call yang
terbuka bagi publik. Dari Open Call Application yang dimulai pada 1 Maret
sampai 13 Mei 2013, terdapat 1.423 proposal karya dari 829 seniman yang masuk
ke meja panitia, seniman tersebut berasal dari 5 negara yaitu Indonesia,
Malaysia, Jepang, Australia, dan Amerika. Namun pada akhirnya seleksi berhasil
memilih 158 karya seni rupa kontemporer dari 115 seniman untuk diikutkan pada
pameran kali ini.
ART|JOG|13 juga menyelenggarakan serangkaian program yang
diperuntukkan bagi publik juga, yaitu Art Discussion dan Studio Visit.
“Building Indonesian Contemporary Museum” merupakan tajuk yang diangkat dalam
Art Discussion dengan menghadirkan Tony Ellwood (National Gallery of Victoria)
sebagai pembicara utama serta para praktisi seni dan aparatur negara. Semantara
itu, SaRanG milik Jumaldi Alfi, Studio Biru milik Agus Suwage dan Studio
Nasirun menjadi destinasi dalam program Studio Visit.
Selain itu ART|JOG juga mempersembahkan Young Artist
Award, sebuah penghargaan bagi seniman muda terbaik peserta ART|JOG yang
berusia maksimal 33 tahun. Tiga penghargaan tersebut diterima oleh Harry
Prasetyo dengan judul karyanya Behind Teritory Line (conflict and agreements),
Michael Binuko Sri Herawan dengan judul karya Megaptera Novalevitae Series, dan
Theresia Agustina Sitompul dengan judul karyanya ”Noah’s Ark”. Sedangkan
Aminudin TH. Siregar, Farah Wardhani serta Hendra Wiyanto adalah tiga
kurator yang melakukan penjurian.
Acara yang dibuka oleh Hatta Rajasa (Menteri Koordinator
Perekonomian RI) ini juga dihadiri oleh 8000 pengunjung, yang juga terdapat
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Ir Wiendu Nuryanti,
pengusaha/pemilik Susi Air Susi Pudjiastuti, budayawan Eros Djarot serta para
pengusaha/kolektor senirupa dari berbagai kota di Indonesia.
Sementara itu menurut Bambang "Toko" Wicaksono
yang merupakan Kurator ART|JOG|13, “dari 115 seniman yang terpilih
tersebut berasal dari Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Bali, Magelang,
Semarang, Jepang, Malaysia dan Australia. Dari jumlah tersebut, 82 orang
merupakan perupa asal Yogyakarta”. Tidak heran memang, sebagai sarang seniman
di Indonesia yang telah mengadakan acara-acara seni tahunan bertaraf
international, Yogyakarta juga merupakan salah satu kota dengan iklim
berkesenian yang sangat mumpuni, dimana hampir tiap hari kita bisa menyaksikan
pameran seni rupa. Hal ini tentunya bukan cuma didukung oleh banyaknya seniman
dan ruang pendidikan yang tersedia semata, namun terlebih juga karena
pemerintah Yogyakarta melalui dinasnya mendukung sepenuhnya keberadaan
kesenian, baik melalui fasilitas gedung, galeri, maupun pendanaan dan penunjang
kesenian lainnya.
Hal ini tentunya lebih dari cukup sebagai pembanding
dunia kesenian Aceh yang minim dukungan pemerintah. Padahal jika ditilik lebih
jauh, kejayaan Aceh tempo dulu tidak pernah lepas dari yang namanya seni,
karena seni merupakan alat ukur atas besarnya peradaban suatu bangsa. Maka
seharusnya ruang-ruang seni diserahkan kembali pada masyarakat sebagai pewaris
sah proses kebudayaan.
Tragedi besar seperti perang dan tsunami setidaknya mampu
mendatangkan kekhawatiran kita mengenai kusutnya peradaban atas nama Aceh.
Setelah perang dan tsunami berhenti sudah barang tentu kesenian adalah salah
satu hal yang harus mendapat perhatian serius pemerintah, terutama untuk
tersedianya ruang-ruang ekspresi bagi masyarakat. Karena bagaimanapun, kesenian
tidak bisa lepas dari eksistensi manusia atau suatu bangsa. Perang yang
berlangsung lama di Aceh memang telah mengkerdilkan dunia kesenian, namun jika
setelahnya iklim tenang dan damai pun tidak mampu mendatangkan kembali
kesadaran untuk membangun kesenian dan menempatkannya kembali dalam diri
masyarakat, maka manusia Aceh itu sungguh semakin terancam fisik dan jiwanya
disaat sedang diam. Maka tidak salah jika mengatakan bahwa justru damailah
musuh yang paling besar kita, karena telah mengabaikan hak-hak rakyat.***
http://tunganginstitute.blogspot.co.id/2013/10/artjog13-maritime-culture.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar