Lamunan ke Brunel
University, ataukah di UI?
Menjawab Siwi Dwi Saputro
dan Iskandar Noe
Nurel Javissyarqi *
“Jadi, kawinlah dengan kenyataan, bukan dengan
kritik.”
(“Kritik,” Jakob Sumardjo, Kumpulan Esai “Orang Baik
Sulit Dicari,” Penerbit ITB: 1997).
I. Ke Brunel University, ataukah di Universitas
Indonesia?
Mulanya saya baca di bagian muakhir yang ditaruh JS sendirian serupa paragraf terpencil; saya
sangka kalimat dalam tanda petik tersebut semacam menyindir, namun terlambat
terketahui oleh baru melihatnya di malam 17 Januari tahun ini. Ataukah itu
ramalan terhadap pembukaan buku MMKI (Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,
Penerbit PUstaka puJAngga & Arti Bumi Intaran, 9 Januari 2018), yang awal penulisannya
di tahun 2011: “Kritik itu semacam saudara tidak muhrim (boleh dinikahi),
dan ketika sudah menikah (mengkritik), masih dapat membatalkan wudhunya (masih
dapat digugat balik). Jikalau kritik dari sesama muhrim bisa disebut nepotisme
(perkoncoan), bukanlah kritik (karena tidak boleh dinikahi), atau pujiannya
tidak mampu mempengaruhi nilai. Dan kritik yang berhasil, sekali sentuh di
manapun, sanggup membatalkan seluruh bidang tubuh yang dikritisi.” Tapi
setelah menyimak dari awal esainya hingga tuntas, ternyata saya pun sudah, pula
tengah melakoni peran yang diharapkan Jakob.
Tulisan kali ini berupa jalinan pecahan-pecahan paragraf
antara bayangan kelewat ke Brunel University, hendak bedah buku di PDS
H.B. Jassin, menjawab catatan Siwi beserta Iskandar Noe. Langsung saja, bisa
jadi, jadi-jadian juga boleh, Stanley Wells maupun Dr. William Leahy mengintip
website pustakapujangga.com tepatnya “Bagian 17, IV : 4/12/2012, lalu
mematenkan pendapat meneguhkan pandangannya, selepas saya sangkal paham
kampusnya yang meragukan kekaryaan Shakespeare (MMKI h. 176-179), atau seirama
itu beberapa bulan kemudian terbitlah buku “William Shakespeare Beyond Doubt”
yang diluncurkan bertepatan ulang tahun sastrawan Inggris tersebut yang ke 449
(bbc.com 23/4/2013), demi menghapus gambaran buram keragu-raguan dunia
Internasional, mengenai karya-karya WS yang adiluhung sekaligus melimpah.
***
5 Maret 2018 saya memposting catatan di fb “Membayangkan
Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin” (Jadwalnya 9 April 2018 atas sokongan penuh
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias), terunggah di website
sastra-indonesia.com 6 Maretnya, lalu pagi itu jalan ke Jombang mengikuti
SelaSastra Boenga Ketjil, yang sebelum berangkat menorehkan status di fb;
“Membayangkan Bedah Buku di Brunel University?” lantaran kritik saya yang
terdapat dalam buku itu. Senin 21 Maret, terdengarlah kabar dari Siwi seolah ngimpi, kalau MMKI hendak dibedah di UI.
Jangan-jangan Prodi Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, tidak
mau kecolongan atas lolosnya saya dari Taman Ismail Marzuki, dan sebisik berita
segera didiskusikan di bulan Mei tanggal tiga. Besoknya tanggal 22 Maret saya
ke Jombang kembali untuk mendaftarkan anak sekolah ke jenjang Aliyah di Denanyar,
maka perjalanan esok seperti mempertebal lamunan. Istilah ‘kecolongan’ kerap muncul
di batin ini, semisal ada hajatan sastra tetapi diabaikan, lantas menguatkan
diri meyakini memperoleh lebih, atau perihal itu sekadar perasaan pribadi,
selayang ngimpi neng njerone impen.
Setelah dari Jombang catatan ini dilanjutkan. Saya
mengenal tradisi bedah buku mulanya di Yogya, sebelum tahun 2000 sudah sering
menghadiri acara diskusi, pertanggungjawaban karya, kadang menyerupai
pembantaian, dan meski belum menerbitkan buku, saya terbiasa mengamati situasinya;
sering mengujinya lewat pertanyaan-pertanyaan sulit, juga menilai buruk
kekaryaan yang dibedah, kalau kecewa karena tidak sesuai bayangan penulisnya,
misalkan karya seorang senior yang bertitel, namun belum melampaui impian saya
idamkan; hal ini berlangsung terus bersamaan bacaan pun seringnya mengikuti
kajian buku untuk menimang alunan alam teks dan realitas. Dan kali menggelar
bedah buku “Balada-balada Takdir Terlalu Dini” di Taman Budaya Yogyakarta tahun
2001, kekhawatiran datang kalau-kalau yang pernah saya pojokkan karyanya balik
menyerang, atau mengandaikan mereka balas dendam, tetapi itu tak terbukti, atau
mereka tidak membelejeti sebagaimana
saya melancarkan serangan. Ketika muncul gelagat berulah (ini mengingatkan awal
mengikuti ajang diskusi), saya merasakan nikmat memperoleh masukan berguna, untuk
mematangkan posisi demi lelangkah selanjutnya, seminimal tahu kedudukan karya
di antara kisaran pendapat saat itu. Pengalaman ini menempa diri terus berkarya,
olehnya setiap menulis sudah mempersiapkan dibedah, dihakimi, dilecehkan. Dan bergembira
seumpama yang membelejeti (membongkar
lebih) karya saya tersebut sembada dengan karya-karyanya.
***
Dukungan terhadap Shakespeare tidak lebih atas berita yang
disiarkan bbc.co.uk 9/9/2007, dan saya baru menentukan arah bersamaan menuliskan
Bagian XVII : IV, serta bisa jadi melodinya saling tindih. “Saya percaya dengan teori yang mengatakan karya-karya itu adalah
kolaborasi sekelompok orang. Saya tidak yakin, satu orang saja mampu
melakukannya,” ungkap Sir Derek Jacobi, maka bacalah MMKI. Prof Wells
menambahkan, “Saya rasa fenomena itu
dikarenakan kesombongan, bahkan kemarahan bahwa seorang rakyat jelata dapat
menulis karya yang begitu jenius” 23/4/13. Ini semua dimulai dari Leahy,
dekan Sastra Inggris kampus Brunel University London, sang penyusun Jurusan S2
pertama mengenai studi tentang siapa penulis karya-karya Shakespeare. Lantas teori
mengenai keterlibatan Bacon pun Marlowe, ditolak keras pakar studi WS, Dr.
William Leahy.
***
Ketika MMKI dalam proses cetak, saya tulis tiga paragraf
di bawah ini untuk menghibur diri: “Kemungkinan salah cetak miring jadi tegak,
sudah ditanggulangi dengan tanda petik.” Para pembaca buku itu, pasti bertanya-tanya,
“Kenapa kupasannya hanya sampai paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas
Kleden?” Karena kitab tersebut jilid pertama, tetapi bisa disebut kelanjutan
buku MTJK SCB (PuJa & SastraNesia, 2011), dan tentulah masih mendedah
paragraf berikutnya, menuntaskan yang sepantasnya diluruskan dari ke-mengsle-annya. Kalau ada yang memandang
langkah ini bukan kritik sastra lantaran mempertajam benar-salah, tidak mengurai
seyogyanya suatu karya, serta gagasan dari kaca mata susastra, tidaklah
masalah. Sebab saya menempati kursi pelajar yang menimba pengetahuan serupa
murid yang ngotot ingin mencari punjer-nya manfaat keilmuan.
Perihal mengkhawatirkan setelah buku terbit ialah ditemukan
keluputan tidak disengaja, atau
setengah disengaja, sebab awan nafsu menyegerakan diterbitkan, meski prosesinya
sangat hati-hati memakan waktu lama. Selain kekhilafan ‘kata’ juga kealpaan
program alatnya, misalkan di laptop tercetak miring, saat masuk computer percetakan
menjadi tegak, lalu di komputer tampak benar, ketika sudah dipelat mengalami
perubahan, olehnya sebelum-sesudah itu menimpa, saya biasa menambah tanda petik
untuk menanggulangi kecelakaan sejenis, sekiranya pada tataran yang diperlukan
mengenai teksnya.
Hal-hal tersebut sering terjadi, tersebab hampir semua
buku saya dalam penggarapan layoutnya mencapai waktu-waktu genting aura terpojok,
lantas memutuskan nasib karya menyerupai Keris Gandring. Dan lain jikalau
diterbitkan di penerbit besar yang mana pihak pengoreksinya banyak, pun berbeda
dibandingkan hasil thesis pula disertasi, karena melewati para pakar dosen penguji.
Sedang sekumpulan penguji saya, tiada lain pecahan diri pribadi, masa-masa
luang membenahi tulisan, wewaktu senggang membaca ulang, praktis tidak memiliki
pengukur-timbangan, selain menimang usia karya di dalam perjalanan hayat. Jadi,
kalau ada yang berbicara profesionalitas, tidaklah layak kekurangan mereka diseberang
kerja saya didudukkan sejajar, sebab mempunyai lidah kelemahan masing-masing.
***
Setelah buku terbit, saya berjarak sekitar dua bulanan
lalu menyimak ulang perlahan, dan masa di antaranya digunakan menulis soal-soal
lain yang tentu berhubungan buku selanjutnya, di sisi menikmati perasaan
senang. Ketika sudah ‘tidak sayang lagi’ mencoret-coret lelembarannya guna
membenahi kembali dalam rentangan waktu agak matang, seibarat tanaman pepadi
mulai membunting, buah-buah jagung temanten, kejiwaan bergeser, kepribadian mengembang,
atau pecahan peristiwa di antara lelaku menggumuli balik sudah peroleh letak
lain tempat berbeda, semisal bahan-bahan buku dicampur ulang dari tenggang masa
‘bulan-bulanan’ ke tahun, terus berputar hingga jatuh tempo terbitnya.
Contoh setiap bagian mengalami perevisian menyentuh angka
11 kali, perkaliannya menempati reruang nafas tersendiri, semacam melatih
anak-anak karya berolah, berlenggang, duduk tenang pula menyerupai hantu bergentayangan,
dan pembacaan tersebut memberi infus, penambahan-pengurangannya akan mengekalkan
yang sepantasnya diam setatap ketampanan tak terbantah. Pengoreksian
terus-menerus berasal ketidakpuasan, atau ada beberapa paragraf belum sampai menggayuh
standar yang diinginkan. Adalah kekiniannya masa lalu, sekarang pun akan datang,
menyedot dialog panjang dalam kesunyian pergolakan, nafas-nafas memberi pekerti
diolah balik, dan kedewasaan makna mendiami letak masing-masing kelas sambil berharap
tidak terkira sedari perkiraan liar menerka. Di sini cara menenangkan diri
meraup untung selepas istirah, membenahi soal meski terlihat sepeleh, atau
ketergantungan masa waras hingga
ambang batas, dan yang tak terkendali berasal tapak demi tapak menemui hal
terselip mencapai letak persembunyian, ruang kata berbeda warna, nafas kata
berlainan aura, ini tak lebih keuntungan dari sebuah penantian.
Pada titik-titik ini menemukan kesalahan ketik, kekeliruan
kata, khilaf huruf, paragraf tak elok disenandungkan, pemborosan kutipan, yang seharusnya
miring tercetak tegak, tulisan agak-agak sulit ditangkap dalam kedudukan nikmat
seturut standar penulis, dan perasaan malu meski tidak sampai memalukan tujuh
turunan, karena berangkat dari sikap kehati-hatian, mewaspadai bentuk pemberontakan
atas diri pribadi pula para pembaca budiman, atau berusaha mengurangi langkah mencla-mencle.
Maka kuda-kuda kata patut ditegakkan dengan hujaman terdalam, sehingga tidak pangling
melupakan proses betapa gampang. Mungkin pembaca turut membayangkan, otak kecil
si bodoh ini bergelut dengan waktu, berusaha fokus sambil memanasi gairah,
meredam semangat menggelora, demi benang-benang usia memasuki lubang jarum kreativitas,
lalu keluar kata-kata bersulaman waktu menggenapi karya, dan jarum penulisan
kadang hilang atau lupa menaruhnya, maka dicarinya ataukah memakai jarum lain,
kemudian sepilihan itu menjelma corak pandangan.
Seperti masa bisa ketelisut, kreativitas tak
tersangkut, olehnya buku-buku referensi tidak boleh berpindah demi memudahkan
ingatan ke posisi awal, atau saat jalan keluar melancongnya indra, keramaian
dalam kepala mengikut, lantas kesuntukan menebalkan garis-garis yang sepantasnya.
Pun tidak memungkiri kala membaca ulang membenahi tulisan lama, kata-kata
diawasi kembali, memeriksanya, lalu menegakkan kalau-kalau condong, atau
memata-matai pada jarak kesadaran berbeda, apakah nanti maknanya khianat ataukah
tetap bersetia, menetapkan arahan sesuai melodi keaslian, mengatur titik-titik
tertentu yang dapat menghipnosis, atau goda membuat pembaca mengikuti napasan sesuai
tuangan yang diinginkan, berdasarkan urutan kemauan, setelah berulangkali
mendiagnosa akibat-akibat yang terjadi, pun memberi tali kendali sekiranya bisa
meliar, maka diberilah pemberhentian, lalu memperkirakan nilai
penerimaan-penolakannya, menghadiahkan waktu-waktu mengatur napas pembaca, dituntun
keinginan luar serupa laku arif kebajikan, pun memerlukan tenggang rasa diantara
pelbagai rupa pembaca.
***
II. Siwi Dwi Saputro
Saya ucapkan terima kasih kepada Siwi yang menyempatkan
diri membaca MMKI sekaligus menulis catatan kekeliruan salah ketik, serta
berharap cetakan berikutnya menggunakan Catatan Kaki, bukan Catatan Perut seperti
yang saya lalui, pula berkeinginan adanya Daftar Pustaka dari buku-buku
referensi secara mandiri. Di sini saya terdiam mengamini, tapi entah apa yang
terjadi nanti. Setidaknya kini saya jawab Daftar Lampiran dalam catatannya yang
berjudul: “Membaca Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia: Membaca Subyektivitas (Nurel) atas Subyektivitas (Ignas
Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri).”
1. 38 intah : intan, 2. 69 hasana : khasanah, 3. 75
Webset : Website, 4. 78 &st : dst, 5. 78 Krakalau : Krakatau, 6. 79 jatung
: jantung, 7. 81 memangfaatkan : memanfaatkan, 8. 85 dinaya?, 9. 86 mana :
perlu penjelasan, 10. 86 diasmak?, 11. 93 bermain jaratan : bermain jaranan?,
12. 97 pelahan : perlahan, 13. 97 sedaya bantul?, 98 : sedaya pantul, 14. 100
Howking?, 15. 104 awalkali : awal kali?, 16. 104 pelitian : penelitian, 17. 106
hiasa : hiasan?, 18. 113 rabahan : rabaan?, rebahan?, 19. 113 dipunggah : perlu
penjabaran, 20. 114 rating : ranting, 21. 114 kerkataan : perkataan?, 22. 121
Bejawa : Bajawa, 23. 123 betebaran : bertebaran, 24. 127 ternging : terngiang,
25. 134 halil?, 26. 134 deladapan 238 ??, 27. 134 cekeremes?, 28. 134
memunjeri?, 29. 149 dipatenken : dipatenkan, 30. 153 perkembaangan :
perkembangan, 31. 165 khasana?, 32. 166 akli?, 33. 166 Aesop fox : pindah ke
halaman utama, 34. 167 menyuruny : menyuruhnya, 35. 167 renuangan : renangan,
36. 170 sinahui : sianui?, 37. 175 kemengslean : mengsle?, 38. 175 asatir :
harusnya huruf besar Asatir, 39. 179 ritua?, 40. 206 mugil : mungil, 41. 207
kintir : dikasih penjelasan, 42. 226 Jleguran di blumbang : dikasih penjelasan,
43. 232 daya : bukan dinaya?, 44. 239 Sim sala bim : sim salabim?, 45. 240
Grubyag-grubyug : dikasih penjelasan, 46. 244 mederai : menderai, 47. 245
banter : bahasa Indonesia, 48. 253 fitna?, 49. 253 pergeserak : pergerseran?,
50. 253 wedar : Indonesia?, 51. 254 pangling?, 52. 257 : Noted halaman, 53. 269
dikator : diktator, 54. 269 ngelokro : bahasa Indonesia, 55. 270 terlunta-lunda
: terlunta-lunta, 56. 270 mempuni : mumpuni, 57. 301 pemengaruh : pengaruh, 58.
305 lansung : langsung, 59. 323 Howking : Hawking?, 60. 377 uang ketas : uang
kertas? 61. 383 fabebook : facebook, 62. 405 yepyur : mengepyurkan?, 63. 450
melubagi : melubangi, 64. 454 ketagikan : ketagihan, 65. 454 kemuliaanya :
kemuliaannya, 66. 455 dikjaya : digjaya atau digdaya?, 67. 468 lowak?, 68. 490
sinahu?, 69. 494 diprekes : Indonesia?, 70. hilaf?, 71. ilangkah?, 72. Dll?,
73. Penuwaan?, 74. Pegapesane (titik kelemahan) : pengapesane?, 75. hianat?,
76. akli? 77. ijtihat?, 78. festifal?, 79. ksatri?, 80. pelahan? 81. didedah?,
82. vi digelilingi?, 83. pebukitan?, 84. menjelmah? 85. 380 musah : mudah?
***
Inilah jawaban mengakui salah ketik sebab memang keliru,
pun ada yang masih ditangguhkan:
1. intan, 2. khasanah, 3. Website, 4. &st : bentuk
ini disengaja dengan harapan tampak manis tak membosankan, yang bukan bermakna
tidak konsisten, lantaran bukan persoalan keutamaan nilai, 5. Krakatau, 6.
jantung, 7. memanfaatkan, 8. dinaya : harapannya dengan menampilkan kata
‘dinaya,’ sudah mewakili atau menyerapi kata ‘daya-dinaya’ ; dalam wilayah susastra
serupa ‘daya ketaatan, kesungguhan, keseriusan bersastra, lebih luas kepada
ilmu pengetahuan,’ tapi rasanya belum berhasil jika sekadar kata ‘dinaya,’ atau
apakah tetap menggabungkan dua kata tersebut, guna terang di alam maknanya (?),
9. mana : sudah tercetak miring ; masuk wilayah sakral, bersimpan linuwih, kesaktian, 10. diasmak :
disuwuk, didoakan ; suara komat-kamitnya mulut orang bermantra disertai bau asap
dupa kemenyan, ada yang sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, 11.
jaratan : harusnya cetak miring, permainan yang mungkin telah punah di pedesaan
Jawa Timuran, mirip bermain Jumpritan, 12. Pelahan : Apakah tidak diperkenankan
mencoba menuliskan ‘perlahan’ dengan ‘pelahan’ dan ‘perbukitan’ dengan ‘pebukitan,’
seperti kata ‘bepergian.’ Atau lebih jauh berhasrat bentukan jamak mengalami
ringkasan fisik, semisal kupu-kupu menjelma kekupu, bebunga &st, mungkin
ini terbentur aturan yang sedang berkuasa, dinamakan aturan lantaran saya belum
menyetujui sebagai hukum berbahasa. 13. sedaya bandul (bukan pantul, meskipun
maknanya hampir sama) yang di h. 98 benar : sedaya pantul.
14. Hawking, 15. awal kali, 16. penelitian, 17. hiasan,
18. rabaan, 19. dipunggah : diangkat, diterjemahkan, ditafsirkan, dijabarkan,
dilantunkan sampai merambah meluas, 20. ranting, 21. perkataan, 22. Bajawa, 23.
Betebaran : disengaja menghilangkan huruf ‘r’-nya, 24. Terngiang : penulisan
‘ternging’ di sana, sebab godaan cerita teksnya berhubungan indra pendengaran,
dan mungkin merasa puas sehingga luput tanpa memberi keterangan, atau sebaiknya
memakai kata ‘terngiang’(?), 25. dalil, 26. deladapan : tersentak kaget, yang seharusnya
dicetak miring, 27. cekeremes : rendah, jelek, tulisan tangan seburuk jejak jemari
kaki-kaki ayam, 28. memunjeri : dari kata bahasa Jawa ‘punjer,’ bisa bermakna
ubun-ubun, titik inti atau pusat, 29. dipatenken : ini disengaja lantaran
teringat mantan Presiden Soeharto, namun di h. 149 belum menemukan, barangkali
di h. lain, 30. bukan kata ‘perkembangan’ yang kebanyakan huruf ‘a’-nya, namun
terdapat dalam kata ‘keberadaan,’ 31. khasanah, 32. akli : akal, nalar; tengok
h. 165, : istilah sedari kata bahasa Arab ini sepertinya sudah banyak yang memakainya,
33. ungkapan itu menjelma nada deringan umum, khasanah dari Timur pun Barat biasa
menggunakannya, semacam hukum, nilai, moral, kaidah yang telah disepakati para
ahli ilmu hikmah, 34. menyuruhnya, tetapi Siwi malah khilaf menghilangkan huruf
‘a’-nya, ‘menyuruny.’
Biar tidak membosankan saya bercerita sedikit, ini antara
jiwa ketaatan, kepatuhan berbahasa secara baik sekaligus benar, disamping
keinginan berontak. Jauh sebelum ini, tepatnya di buku “Trilogi Kesadaran;
Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, Ras Pemberontak,” diri saya berkeinginan
agak merombak perkataan dari bahasa Indonesia, semisal kata ‘dialog’ ditulis
‘dialok,’ ‘batin’ dengan ‘bathin,’ &ll yang otomatis para senior
melontarkan teguran keras. Setidaknya hasratnya sampai memasukkan logat Jawa,
semisal lagu tenarnya Mbah Surip “Tak Gendong,” saat lagu tersebut terkenal,
dalam jiwa ini merasa gembira, karena kata ‘tak’ di sana, bukan bermakna
‘tidak,’ namun berarti ‘akan, hendak,’ hebatnya lagi sebanding kata ‘aku atau
saya.’ Bentuk-bentuk godaan itulah yang kerap mengusik di dalam berkarya, tetap
mengikuti pakem atau mencari pelepasan
dengan corak lain, yang bukan menyerupai langkah putus asa. Tidakkah kemunculan
bahasa Indonesia yang terterima dalam diri seseorang, setindak paksaan terhadap
pertumbuhan berbahasa atau mempengaruhi jenjang kesadaran pribadinya? Sementara
jiwa muda terus menggelora bergejolak meliar, terkadang tidak sanggup menguasai
keadaannya.
***
35. renuangan, tidak ada di h. 167 : adanya di h. 170 :
renungan, 36. Sinahui : sianui (saya tak menemukan di h. 170), 37.
ke-mengsle-an : tidak pas, kurang sesuai, agak mendekati kata ‘ber-geser,’ ; kata
‘mengsle’ mulai kerap muncul dalam bahasa Indonesia di beberapa buku terbitan
Jogjakarta selepas peristiwa Reformasi 1998, dan kata Jogja pun kini sudah
jarang atau kurang diperkenankan untuk digunakan, seolah diharuskan menulis
dengan kata Yogya (Yogyakarta), 38. asatir (Asatir), kenapa harus besar huruf
‘A’-nya? Tidakkah aturan ditulis besar-kecilnya huruf, masih terbuka ruang
perdebatan di beberapa perkara atau di sini merasa keberatan, 39. ritual, 40.
mungil, 41. kintir : terhanyut, terseret arus, 42. Jleguran di blumbang : ‘berenangan
bebas di kolam renang,’ 43. di h. 232, tidak saya temukan kata dinaya (dan
memang kata daya), kalau ada, itu merujuk kata ‘daya-dinaya,’ 44. Sim sala bim,
sim salabim : saya menemukan ada yang ditulis terpisah pun ada yang
digabungkan, terus apakah KBBI sudah bertanya kepada para pesulap, yang asli dituliskan
seperti apa? Para ahli bahasa sebaiknya bertanya pula kepada yang punya
keahlian di bidangnya, dan adanya kesengajaan agar tidak membosan secara
tampilan.
Agar tidak sepaneng
(tegang), berceritalah kembali. Semisal kurang nyaman walau sudah tentram, atau
di sini gulungan ombak lautan tiada tertebak lonjakannya, tapi tentu mengikuti
hukum alam; aturannya menempa logikanya masih-masing dan penyesuaian perlu sekiranya
tidak berakibat fatal. Dalam posisi berbeda, kadang merasa iri dengan para
senior ketika ada kesalahan ketik dalam tulisannya, kaum pembacanya seolah
mengabaikan, membiarkannya setindak pemakluman, saat itulah mengalami
kecemburuan hebat. Dan biasanya pada tulisan saya, kala memasukkan kata-kata
dari bahasa Jawa dengan kalimat panjang keterangan, guna maknanya sampai tidak
lepas dari perkiraan penalaran, jangkauan angan pembaca. Bolehkan agak memaksa,
seperti bahasa Indonesia mengharuskan melantunkan kata-kata berbahasa INA?
***
Grubyag-grubyug : senada peribahasa air di daun talas,
46. menderai, 47. banter : sering, rapat, kerap, cepat, kencang, keras, 48.
fitnah, 49. per-geser-an, 50. me-wedar-kan : membuka rahasia, menguraikan,
menerjemahkan, menafsirkan. Dan alangkah manis betapa elok, sebelum kata
me-wedar-kan, ada kata-kata “yang mampu,” 51. pangling : heran atas perubahan,
takjub terhadap rupa perpindahan, 52. durung : belum, 53. diktator, 54.
ngelokro : malas hingga ambang putus asa, 55. terlunta-lunta, 56. mumpuni :
dengan memakai kata tersebut agaknya keberatan, sebab ‘mempuni’ lebih dekat
maksud dasarnya, ‘empu’ m-empu-n-i : seorang yang ahli di bidangnya. Memang
tidak ada awalan ‘m,’ terus dari mana kata dasarnya ‘mumpuni?’ Adakah akhiran
‘ni’?, dan bagaimana bisa KKBI menjelmakan kata ‘mampu’ membentuk ‘mumpuni,’
aneh juga kan?, 57. pengaruh, 58. langsung, 59. Hawking, 60. uang kertas, 61.
facebook, 62. men-yepyur-kan : menebarkan, menyebarkan, 63. melubangi, 64.
ketagihan, 65. kemuliaannya, 66. digdaya, 67. loak, 68. sinau, 69. diprekes :
dikecilkan, diringkus, diringkas, dikerdilkan. Selanjutnya dari nomor angka 70
sampai 84, tidak menyebutkan halamannya, jadi sekadar membenahi sedari lampiran
Siwi, pun kini saya tengah menyimak ulang demi menanggulangi kecelakaan
sejenis.
70. khilaf, 71. alangkah, 72. saya memang kerap memakai
rupa lain akhiran yang menunjukkan jumlah; &ll, &st, &sb, &lsb,
sebangsanya, mungkin pernah menggunakan akhiran penambahan lewat kata-kata
segerombolannya hingga sebangsatnya, guna terlihat cantik senada, 73. penuaan,
74. pengapesane : pengapesan : titik kelemahan, letak mematikan, ujung maut,
75. khianat, 76. akli : akal, 77. ijtihad, mungkin sebab jiwa ke-Jawa-an saya,
ataukah kesenimanan diri yang menjadikan kata serapan dari bahasa Arab, saat
jemari lincah menari tidak sengaja menulis ‘ijtihat,’ atau godaan begitu kuat
agar kata ‘ijtihat’ tidak ditulis ‘ijtihad,’ ; tapi dengan huruf ‘t,’ dikarena
secara tampilan menyerupai pedang, dan pelbagai macam rayuan kreatif semoga
tidak kebablasan, 78. festival, 79.
Ksatria : kesatria ; karena sering baca buku-buku berejaan lama, jadi kerap
lena hingga lupa cara menuliskan lewat ejaan yang disempurnakan, 80. pelahan
(lihat perkara sebelumnya), 81. didedah : dij(e)lentrekkan ; diuraikan,
diterjemahkan, ditafsirkan, dibongkar, dibaca ; disimak sampai kedalamannya,
82. vi digelilingi : dikeliling, di sini buaian berontak pun muncul, sebab paragraf
yang diketengahkan menggelikan, sehingga godaan kuat menyusupkan salah ketik agak
menyetujui, demi mendekati kata ‘geli,’ 83. pebukitan (lihat di atas), 84.
menjelma 85. mudah.
***
Kini saya bercengkerama dengan Siwi secara pribadi. Kata
‘pribadi’ tak lebih penghormatan kepadanya yang menuntaskan bacaan secara apik
nun cantik, atau tidak mengira ada yang mau suntuk baca tulisan pemula, pengaku
pelajar tapi tidak di bangku sekolah. Penghargaan terberi, lantaran sadar
karakter tulisan saya rapat berjalin erat, sehingga Siwi tidak keliru
menyebutkan: “Syukurlah. Nurel sendiri menyadari kalau membaca bukunya pasti membuat
pembaca pusing. Kalau boleh dianalogikan dengan salah satu slogan You scratcth
my back I scratch yours. Ini salah satu kata-kata ampuh yang dapat
menggambarkan bagaimana digdayanya Soeharto pada zamannya. The Smiling General,
Raja Jawa dan banyak sebutan lain yang melekat. Kesemuanya itu terpaut dengan
istilah diatas. Istilah yang menggambarkan bagaimana suatu keterkaitan yang
akibatnya bisa baik ataupun buruk.”
Gulungan rantai itu sengaja dibangun demi maujud (hadir) daya-dinaya sekuat
barisan tentara mencipta benteng pertahanan hidup, sebab sadar betul pengelana
bukan siapa-siapa yang tentu dianggap kerdil, dungu, serakah, ngawur, &hal-hal
buruk ditimpakan anak kemarin sore. Dan tidak punya daya, &lsb, karena keterlaluan
asyik menyendiri, maka berikhtiar betul guna demi sepyuran kata-kata
yang tanggal dari jemari sanggup mewakili seluruh nafas kehidupan yang terasai,
dan mengakui kadang tak memberi kesempatan pembaca jauh menelanjangi teks-teks
perwakilan pribadi, atau lebih nyaman jaman mendatang menerimanya, karena saya
percaya orang sungguh menemukan orang-orang sepadan, menyoal waktu hanyalah rahasia
Tuhan. Di batas tertentu keyakinan kuat digoyang hebat keraguan dahsyat, memojokkan
rasa percaya diri berulang, minder, was-was, inilah peperangan yang terus bergejolak
mencari kesejatian. Maka kagetlah, ketika Siwi telah baca keseluruhan diri teks
dalam kesadaran kelana, pun memberikan kritikan atas penamaan pengelana, jadi
teringatlah lagu Raja Dangdut, Rhoma Irama “Kelana 2.”
Saya tak tahu pasti kenapa Siwi menyeret MMKI ke UI, ada
mungkin setelah baca kisah saya sewaktu bedah buku “Trilogi Kesadaran” di
sekitar kampus itu, tempatnya di toko buku, bukan di auditorium, lantas timbul
kasih yang tertunda, atau jangan-jangan merasakan saya mengidam memasuki
Universitas Indonesia lewat bayangan seorang Tardjo, pekerja kasar yang memasang
kaca-kaca jendela di perguruan tinggi nomor wahid tersebut, yang terdapat dalam
tulisan saya bertitel “SASTRA Versi Iklan Kecap INDONESIA.” Ataukah sebab
perjalanan saya ke bencah Nuca Nepa, demi memasuki kedirian Ignas Kleden. Ah,
sudahlah… biarlah itu menjadi rahasia masing-masing diri, sebagaimana
menyembunyikan sesuatu dibalik teks, atau sejarah teks siapa yang lebih tahu,
kecuali sang pengguratnya, itu pun masih dibungkus keganjilan yang tidak
terjangkau. Dalam bagian I & III di bawah ini agaknya tengah menjawab
tulisan Siwi, “Dari Yang Terekam Di Acara Bedah Buku Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia : Sebuah Catatan Tengah,” dan kalau ada kekurangan,
bisalah nanti masuk ke catatan saya selanjutnya.
III. Iskandar Noe
Jam 1:53 WIB, Iskandar Noe mengirimkan sebuah catatan
semacam resensi, seakan menyambut bedah buku MMKI di Jakarta pertama kali, dan
saya membuka paketannya lewat inbox fb Jam 3:46 Pagi 8 April 2018 lantaran ngelilir,
lantas dengan hati senang setengah bangun dari alam mimpi, sebab pagi-pagi
mendapati kiriman yang elok, secantik masa-masa penantian seorang pengantin
muda, dan sambil baca terus terbayang beberapa hal mengenai prosesi penggarapan
buku. Bayangan tersebut tidak lebih senada lontaran Noe dalam tulisannya;
lamunan nantinya berjumpa pula dengan pembaca strukturalis, sedikitnya
sepengakuan Noe disaat melayangkan catatannya, “Mungkin juga di wilayah ini,
saya boleh dicurigai sebagai pembaca yang strukturalis, yang menuntut MMKI
ditulis secara struktural sebagai layaknya textbook.” Pada titik-titik
membentang segaris pilihan tegas dari perjalanan, saya tak lagi bimbang
menentukan arah dengan tidak memakai cara bersesuaian kalimat tuntutan Noe. Itu
bisa jadi selaras laguan umum kebiasaan orang Indonesia yang kerap melihat
latar seseorang dari pendidikannya, dan karena sadar sekadar berijazah Aliyah,
S1 pun tidak lulus namun lolos, pula saya amati tulisan berbentuk rapi seperti akademisi
kampusan, tapi jika penulisnya tidak memiliki titel rangkap, sering diabaikan
pembaca serta kurang diapresiasi sebagai karya ilmiah, meski telah melewati
penelitian panjang menukik dalam, misalkan bukunya penyair Iman Budhi Santosa
“Profesi Wong Cilik: Spiritualisme Pekerja
Tradisional di Jawa” (Yayasan Untuk
Indonesia, 1999, dicetak ulang Basabasi Yogyakarta, 2017), yang sampai
kini belum dilirik guna dibicarakan dalam gedung bertingkat perguruan tinggi di
Indonesia, maka corak saya pilih sekalian liar penggarapan selaku langkah
penulisan, lantas diri ini agak condong ke filsafat proses yang barangkali
telah ada sebelum Alfred North Whitehead hadir, dan dalam padaitu bersentuhan realitas
sebagai pengelana haus belajar, berlatih melenturkan jemari dalam tarian hidup
yang diamanahkan takdir ke dalam kehidupan.
Lamunan sekelebat Noe sudah saya perkirakan kedatangannya,
atau harapannya dimungkinkan menemukan jalanan remang-remang, kiranya direcoki hal-hal yang menurut saya masuk
dalam kategori sunah, tapi seolah disadarkan pula olehnya, “...Bagi saya
sebagai pembaca, kasus ini mengesankan kerja editor yang kurang teliti atau
kalau tidak ya tergesa-gesa untuk kejar tayang, hingga apa boleh buat harus
abai terhadap wilayah penting yang sebenarnya menjadi skala prioritas tampilan
teks.” Terus terang hidup saya agak kocak bin ndagel, seperti di
buku itu adanya penyunting bukanlah penyunting buku semestinya, namun
penyunting diri alias istri saya. Kata ‘skala prioritas’ dicatat sebagai
masukan berharga, lalu mengenai beberapa kasus memberatkan sudah terjawab dalam
percengkeramaan saya bersama Siwi, dan yang belum diketengahkan di sini:
***
Sejatinya saya berharap para pembaca buku MMKI pun
buku-buku lainnya dari titian jemari ini, masuk meracuni pembaca yang sukanya
liar-liaran, pemilik watak tidak senang didekte berjiwa pelik hingga curiga ke
batas ganjil dirinya sendiri, namun tidak menutup kemungkinan yang lain. Karena
terang, saya dengan buku-buku semacam pengantar kurang berminat, dan
kecurigaannya besar, dibandingkan berhadapan kitab-kitab yang sama liarnya,
buat pembaca seperti saya lebih memberi ruang lebar, hingga seolah tidak
tertakar, namun tetap kagum sekaligus terima kasih kepada Noe yang mungkin dibenaknya
menganggap buku saya kurang layak dibaca, bisa jadi serasa menikmati buku yang
buruk dari segi apapun, tetapi tetap dibaca hingga tuntas, itung-itung melatih
kesabaran diri sejalan cara bersetia.
Noe menulis, “Terdapat dua puluh lima Bagian yang
mengupas satu per satu paragraf. Sayang sekali tiap judul Bagian-Bagian
tersebut hanya menyatakan judul yang serupa, dan menyatakan urutan angka
kupasan saja yang berbeda. Misalnya: Bagian IV – Membongkar Mitos Kesusastraan
Indonesia (kupasan ketiga dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden).
Sebagai pembaca saya lebih merasa nyaman jika pada judul setiap Bagian tidak
melulu menampilkan urutan kupasan, tetapi mengandung sub-judul. Taruhlah
misalnya pada Bagian II, setelah judul utama, dilengkapi sub-judul: Mengusut
kata “Menerobos”, misalnya begitu. Jadi si pembaca akan lebih fokus akan maksud
penulis bahwa di Bagian tersebut didedah kata “menerobos” dengan segala
kaitannya.” Lantas saya melompat segambaran Noe meloncat ke Halaman Lampiran
buku sebelum memasuki Bagian-bagiannya, dan lencungan saya menuju ingatan lawas pada embrio buku; memang awalnya
ada selayang membikin sub-judul serupa keinginan Noe, tapi rasanya tingkah itu menutup
lahan lain, dikarena dari MMKI berikhtiar terbitnya serupa ‘novel-novel ajaib,
puisi esai bim salabim tampilannya’ yang terus berjalin bergentayangan, tiada
pengulangan tetapi bagian-bagian selanjutnya selain mengurai pokok garapan pun penegasan
dari kupasan sebelumnya, dan rasanya sayang jika uraian melimpah, mungkin ada
perangai nggeladrah (lanturan) itu
diberikan tanggul, sebab saya menginginkan juga turunnya para pembaca nekat
terjun bebas ke lautan membiru luas dari ketinggian tebing cumar tanjung
karang, bukan sekadar menyusuri tubuh bengawan yang tanggulnya kerap jebol dikala
penulisan tiba-tiba hadir gagasan lebih gemilang.
***
Olenya tak mau terjebak saran Noe seperti lontarannya, “Maka
pada setiap akhir Bagian, saya menyarankan disediakan sebuah paragraph yang
berlaku sebagai epilog untuk menyimpulkan gagasan utama Bagian tersebut dan
ringkasan kritik yang telah dituliskannya. Jika tidak demikian, maka tulisan
setiap Bagian berkesan nggeladrah.” Impian itu tentu saya tinggalkan, sebab
tidak mau terpenjara tulisan sendiri seperti takdir Ken Arok, namun sekaligus
agak-agak ‘menginginkan kesalahpahaman’ pembaca, atau memancing banyak tafsir
sekalian mengurung penafsir melewati gaya-gaya gemulai secorak tarian, makna
kasarnya MMKI pun mengundang selisih paham, dan sangat suka kalau ada pembaca
sepintas terjebak dalam kepahamannya yang didasari watak serampangan hingga
tidak sempat menghisap isi kandungan buku dengan cepat. Ini saya lakukan, sebab
tak ingin pembaca betapa mudah menangkap pandangan buku dengan gampang, makanya
ada lagu kesengajaan membikin pembaca muak, semisal tiap bagian ada foto saya,
harapannya mereka misuh-misuh
(memaki), mengira narsis &lsb, sehingga tidak tuntas dibacanya, demikian
juga takdir cover buku menderita parah di atas nasib berdesak-desakan
kepentingan serupa umbul-umbul kampanye.
Lalu Iskandar Noe berkata lembut, “Secara keseluruhan
MMKI menyampaikan banyak pesan. Ini nampak pada kepiawaian penulis mengumpulkan
sekian banyak potongan esai, sayang sekali tidak ada daftar bacaan dan
referensi yang dicantumkan disana. Daftar referensi, Daftar Pustaka, menurut
saya sangat penting, sebab orang hanya bisa berkarya dengan memakai pundak
orang lain sebagai acuan. Hal ini selain sebagai penghargaan atas karya orang
lain itu, juga untuk mempermudah pembaca mengenali urutan pemikiran yang
disampaikan oleh penulis.” Saya akui tidak memberi ruang Daftar Pustaka di
tempat tersendiri, tapi kurang tepat dikatakan “Ini nampak pada kepiawaian
penulis mengumpulkan sekian banyak potongan esai, sayang sekali tidak ada
daftar bacaan dan referensi yang dicantumkan disana.” Yakni potongan esai
yang mungkin dimaksudkan kutipan saya, adalah sudah mencantumkan seluruh atau
hampir 97% ada referensinya, berupa Catatan Perut di tubuh esai, ada di sisinya
dan halaman lain ketika terlanjur mengurai pengamatan sampai referensinya
ditaruh di belakang jauh, pun ini pula agar pembaca terperangkap menghakimi
tulisan dengan cepat atau enteng, dan kalau menulis, saya bisa jawab lebih
leluasa, sekurangnya bisa mengisi halaman buku selanjutnya, atau permainan
tersebut boleh dikatakan strategi berperang, disaat menghadapi yang kurang
sepaham, dan yang 3% tidak menampilkan referensi, anggap selaku nunut ngeyop
tayangan iklan sebatas mampir ngombe yang saya rasa tidak harus diunggah,
sekiranya bukan bahasan inti. Dan yang menjadi kutipan bersifat langsung, atau
tidak diramu dengan anggapan pribadi, kalau itu yang dikritisi, sebab tidak mau
dituduh mengetahui sesuatu yang bukan haknya pembaca seperti saya secara
menyeluruh. Serta mengiyakan kalau ada anggapan memakai jalan adu domba
terhadap kutipan-kutipan tersebut, ini tidak lain biar nikmat guna, sambil menanti
terbitnya tuntutan dari pembaca yang lebih baik daripada saya tentunya.
***
Karena Noe menulis dalam catatannya yang bertitel, “Catatan
dari Seorang Pembaca” mencantumkan kata-kata berikut ini,
“Catatan ini dibuat ketika pembacaan MMKI masih berlangsung,...” Maka
sampai di sini, lantas berharap kelanjutan dari keberlangsungan di atas
pembacaan buku itu menjadi kian menarik guna dialog panjang antar pembaca,
sehingga akan perolah masukan berharga untuk kematangan saya berproses, dan tidak
lupa harap pemakluman lebih kalau tulisan pengelana, adanya perangai kurang
pantas tidak layak, sedikit-banyak kurang ajar, tidak lain ingin sungguh mendapat
pengalaman bernilai. Barangkali langkah ini seungkapan Jakob Sumardjo, tidak berkawin
dengan kritik, namun menikahi kenyataan; jadilah terang wajib belajar terus
berlatih menajamkan ujung pena, menahan kantuk dan kemalasan, terus diharuskan
menggumuli realitas bercampur teriakan mentari, memetik kembang di taman-taman
kasat mata. Akhirnya tidak mengharuskan iri serupa pegunungan yang banyak
puncaknya, sekaligus malu berharap mencapai gunung suci. Barangkali ingin menjadi
sebatang pohon di segugus gunung yang di-Rahmat-I, sealunan “Kitab Zabur” dalam
“Surah Perarakan Kemenangan Allah” ayat 17, yang diterbitkan ulang oleh Pustaka
Marwa, 2006:
“Hai gunung-gunung yang banyak puncaknya, mengapa kamu
memandang iri kepada gunung suci yang dikehendaki Allah menjadi tempat-Nya
bersemayam? Sesungguhnya, Allah akan bersemayam di sana untuk selama-lamanya!”
LA, Jakarta
20 April 2018 LAmongan-Jombang.
*) Pengelana waktu yang kebetulan suka baca..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar