Dedykalee
Aceharts Yogyakarta
Gerakan seni Aceh di Yogyakarta membawanya dalam
sebuah realita estetis. Berbagai empiris hadir membangkitkan jiwa-jiwa mati.
Konflik yang berkecamuk pun tak menyurutkan niatnya berjuang,
menggoreskan tintanya di kanvas. Kiprahnya-pun wajib diperhitungkan.
Lahir di Leubok Ruseb, salah satu Gampong di pedalaman
Aceh Utara pada 31 Desember 1984 dengan nama asli Iskandar Ishak. Hobi melukis
dan cita-cita menjadi seniman adalah impiannya sejak dari Madrasah Ibtidaiyah.
Semasa konflik kembali berkecamuk di Aceh, Tu-ngang yang
saat itu baru memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah salah satu orang
yang aktif merekam wajah dari konflik yang terjadi melalui gambar, baik pada
kertas maupun pada dinding sekolah. Salah satu yang menjadi kesukaannya adalah
menggambar suasana, yaitu pertempuran antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan suasana pengungsian. Namun semua
itu sangat disayangkan Tu-ngang Iskandar, karena gambar-gambar yang didokumentasikan
tersebut terpaksa harus dibakar oleh orang tuanya saat terjadi pengepungan
markas GAM tidak jauh dari rumahnya yang hampir mengorbankan nyawa dari
Tu-ngang Iskandar. Pengepungan yang terjadi tersebut, walaupun sebagai tragedi,
adalah juga babak baru dalam perjalanan Tu-ngang Iskandar, karena beberapa hari
setelah kejadian tersebut, dia dibawa oleh kakak pertamanya ke Kota Lhokseumawe
agar menjauh dari pusaran konflik dan agar bisa melanjutkan sekolah menengahnya
disana.
SMK Negeri 4 Lhokseumawe jurusan kriya adalah tempat awal
dimana Tu-ngang Iskandar bersentuhan langsung dengan pendidikan seni, tepatnya
di tahun 2001. Jurusan kriya dipilihnya karena memiliki pelajaran yang memadai
tentang seni rupa. Perkenalan ini pun tidak sia-sia, sebagai wujud dari
totalitasnya belajar dan berkarya, Tugas Akhir Tu-ngang Iskandar berupa seni
kriya pun dinobatkan sebagai karya terbaik, sebelum akhirnya dia dipilih
untuk mewakili Aceh Utara pada lomba melukis tingkat Provinsi di Banda Aceh
pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Tahun 2004. Tidak pun tertarik pada pengumuman
pemenang lomba tersebut karena merasa keterwakilannya untuk membawa nama baik
Aceh Utara tidak diperhitungkan, akhirnya dia pun memisahkan diri dari
kontingen dan kembali ke Lhokseumawe.
Selang beberapa hari kemudian, pada pertengahan 2004,
sebelum tsunami melanda Aceh. Dia pun hijrah ke Yogyakarta untuk mengejar
cita-citanya menjadi pelukis. Sempat mengecap pendidikan Diploma pada
Politeknik Seni Yogyakarta (POLISENI) untuk jurusan Desain Komunikasi Visual,
dan Pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk Program Peningkatan
Kemampuan Mengajar (PPKM), sebelum akhirnya pada tahun 2009 melanjutkan Program
Sarjana pada Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sekarang, selain aktif melukis, menjadi konsultan desain,
mengikuti pameran di berbagai kota di Indonesia, dan menjadi anggota pada
komunitas Diskom Drawing Foundation (DDF) di Yogyakarta, kegiatan yang paling
menarik minatnya adalah mempengaruhi anak muda yang ia temui untuk bersikap
kritis dan memiliki semangat yang tinggi dalam belajar, berorganisasi dan terus
mewujudkan cita-citanya.
Sebagai pemuda yang bersentuhan langsung dengan konflik
Aceh, Tu-ngang Iskandar paham betul tentang bentuk dari sebuah kehancuran,
terutama pada dunia kesenian. Untuk itulah, sebagai sikap kecintaannya terhadap
Aceh, pada tahun 2008 bersama beberapa sahabatnya mendirikan Komunitas Seniman
Perantauan Atjeh (SePAt), yaitu salah satu komunitas untuk menciptakan seniman,
apresiator seni, untuk menghapus trauma akibat konflik dan tsunami,
mempromosikan seni Aceh, dan membangun mental yang sehat masyarakat Aceh di
perantauan. Sebagai organisasi lintas kota yang telah sukses mengadakan
berbagai Acara besar tahunan seperti Balee Seni dan Art-jeh Night, SePAt hendak
mengorganisir para pelaku seni dan aktivitas seni luar Aceh untuk bersatu
membangun Aceh dari luar.
Tu-ngang Syndicate (TS) yang merupakan ruang presentasi
karya dan diskusi lintas wacana dibangunnya kemudian bersama beberapa diaspora
Aceh, untuk memberikan bahan-bahan berkualitas yang ada di sekelilingnya dalam
melatih kecerdasan berfikir dan sikap kritis calon intelektual muda yang sedang
menempuh pendidikan di Yogyakarta.
Bermacam acara pernah diadakan Tu-ngang Syndicate (TS),
seperti diskusi "otakku damai dan merdeka" dalam memperingati hari
perjanjian damai Aceh dan kemerdekaan Indonesia, kajian budaya Aceh bersama
seniman Aceh di Yogyakarta, malam penggalangan dana untuk korban banjir Pidie,
Rembuk Mahasiswa Aceh Nusantara (REMAN), diskusi tentang konflik di Thailand yang
menghadirkan komunitas Fatani di Yogyakarta, diskusi bertemakan
"problematika punk di Aceh" yang menghadirkan komunitas
"Punk" Yogyakarta, diskusi untuk kemanusiaan yang menghadirkan
komunitas Papua di Yogyakarta, diskusi "sejarah dan sastra" yang menghadirkan
penulis buku Samudera Pasai Putra Gara, dan diskusi tentang "motif hias
dan kaligrafi pada batu jirat komplek pemakaman raja-raja Pasai" dengan
pemateri Dedy Kalee, peneliti batu nisan pada Central Information for Samudra
Pasai Heritage (CISAH).
Dalam kesehariannya, "Tungang", begitu dia
disapa. mengenai nama ini, Tu-ngang menjelaskan "itu hanya nama untuk
menggambarkan jiwa keberanian dan pemberontakan, untuk menuju kreatifitas,
bukan kenakalan moral" ungkapnya seriaus.
Namun pada dasarnya seniman berambut gondrong yang sangat
tertarik pada ilmu semiotika ini sangat jarang mau diajak bicara serius,
terutama mengenai hal-hal yang menurutnya hanya pantas ditertawakan. hal ini
karena selera humornya yang suka meledak-ledak. ***
Tu-ngang Iskandar
http://tunganginstitute.blogspot.co.id/2013/10/tu-ngang-iskandar-dalam-jejak-seniman.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar