Aryo Wisanggeni G
Kompas 15/04/2012
Arsip kerap hadir dalam dua cara yang ekstrem. Teronggok berantakan penuh debu memenuhi ruang fisik atau ruang digital. Bisa pula hadir dengan rapi dan terpetakan sehingga mampu ”berbicara” mengapa kekinian seperti sekarang adanya.
Di ruang depan Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, bola berdiameter 2 meter disusun Indra Leonardi dari 180 foto koleksi pribadi Melani D Setiawan. Karya ini mengawali ”percakapan” tanpa kata tentang arsip personal. Melani, seorang dokter dalam arti harfiah, juga seorang pencinta seni, memang terkenal sebagai ”tukang potret” di berbagai peristiwa.
Bukan memotret karya seni atau penggarapan sebuah karya seni, tetapi ia memotret segala orang dari dunia seni. Jenis fotonya disebut kurator pameran Jim Supangkat sebagai ”foto kenang-kenangan yang lazim dibuat untuk mengaktifkan memori di kemudian hari”.
”Ayah saya memiliki studio foto, dan itu membuat keluarga kami memiliki banyak koleksi foto pribadi. Saat saya SMP, saya sudah memiliki satu album foto sendiri. Itu membiasakan saya memotret perjumpaan apa saja,” ujar Melani yang menyatukan sebagian fotonya dalam buku Dunia Seni Rupa Indonesia, 1977-2011.
Buku dan kumpulan 45.000 arsip foto Melani mengilhami kurator Jim Supangkat dan Christine Cocca menawarkan kata kunci ”arsip” dan ”personal” untuk direspons 60 perupa yang mengikuti pameran ”Re.Claim” di Galeri Nasional Indonesia, 8-20 April. Dari tumpukan berkas, arsip, dan ingatan, mereka menyuguhkan persepsi masing-masing tentang kekinian mereka.
Karya
Galam Zulkifli menghadirkan ”facebiography volume 3” (2012). Galam ”membuat arsip” dengan sebuah lukisan potret Fince Dimara, seorang gadis asal Biak, Papua, yang berkuliah di Yogyakarta.
Di depan lukisan berukuran 2 meter x 2 meter itu, persis menutupi gambar bibir Fince, sebuah televisi layar lebar 32 inci menampilkan video yang merekam ucapan-ucapan Dimara tentang dirinya, perjalanan hidupnya, sekolahnya, juga mimpi-mimpinya.
Komunitas Ruangrupa juga menempatkan arsip dan personal yang tak melulu tentang mereka lewat karya instalasi ruang ”ruru zip: Quote Edition 2000-2010 (2012)”. Dinding ruang pamer disesaki kutipan terpilih tentang praktik artistik perupa Indonesia dari sejumlah esai, transkrip audio, video, wawancara, dan diskusi.
Berbagai perkakas, mulai dari kacamata hingga kotak bekas alat pindai, tertempel di ruang pamer. Di tengah ruang, dua buku kecil merangkum kutipan diskursus seni rupa Indonesia, memampatkannya dalam sebuah ruang pamer.
Namun, sejumlah perupa juga menghadirkan karya kuat dengan ”membongkar diri”. FX Harsono menampilkan ”Tree of Life” (2012) berupa mozaik foto yang merunut pohon keluarga Melani Setiawan, Paulus Sutrisno, dan FX Harsono.
Fauzie As’ad menampilkan karya ”Artchives-Random hingga Titik Kini” (2012) yang menampillkan dokumen korespondensi pribadinya, foto, visa, tiket pameran, dan kuitansi. Di tengah tempelan plastik klip dan lembar laminating, ia menaruh lukisannya, yang dua pertiga bidangnya polos berwarna abu-abu pekat, sebuah persegi panjang merah ada di tengahnya. Fauzie menggantung sebelah sepatu bercat putih di depan kanvasnya, seperti pesan tentang perantuannya ke negeri orang yang belum akan berakhir.
Heri Dono membuat instalasi ”Kakang Kawah Adik Ari-ari” (2012) berupa akuarium kecil penuh berisi patung wajah Heri Dono. Akuarium itu diletakkan di atas lemari bercat biru yang menyimpan tempelan foto masa kecil Heri Dono, juga foto syukuran hari lahirnya ke-41 pada 12 Juni 2001. Surat-surat dari ibunda Heri Dono pun ada di sana.
Rasa ”ruang pribadi” juga kuat mencuat dari lukisan Sunaryo, ”Mas Kawin Nikahku” (2012). Sunaryo melukis wajah istrinya dengan charcoal di atas kanvas 160 cm x 160 cm yang cuma ditempeli foto pernikahan mereka pada 26 November 1972 serta foto mas kawin perkawinan berupa cermin putih, celengan putih, pisau berbilah putih, sisir putih, jam tangan, dan sebuah Al Quran kecil.
Made Wianta malah menjadikan arsipnya tampil apa adanya. Ia menaruh sejilid buku yang berisi kliping puisi-puisinya sepanjang tahun 1996-1997 dalam karya ”Puisi Rupa”. Arsip dalam arti harfiah itu berkisah, misalnya, tentang Wianta yang menulis di mana saja dan kapan saja, di kertas buku bergaris, kartu pos, hingga sobekan iklan koran.
Lewat catatan kuratorialnya, Christine Cocca juga mencatat, proses kreatif sejumlah seniman lain, seperti AC Andre Tanama, Melati Suryodarma, dan Krisna Murti, memang menginvestigasi bagaimana identitas dikonstruksi dan dibatasi masyarakat.
”Kisah-kisah pribadi merefleksikan kondisi historis. Sifat otobiografis dalam ’Re.Claim’ mengindikasikan pentingnya preservasi testimoni personal dalam sistem pengarsipan nasional,” tulis Christine dalam catatan kuratorial. Sayang, negara ini mengarsip dokumen negara pun kedodoran, apalagi mengarsip barang pribadi para tokoh penting, termasuk seniman. Kini, para seniman mengeluarkan seluruh ingatan yang tersimpan dalam arsip-arsip pribadi dan mempresentasikannya sebagai semacam gugatan terhadap keteledoran.
http://nasional.kompas.com/read/2012/04/15/03294711/Menggugah.Keindahan.DARI.SETUMPUK.ARSIP
Kompas 15/04/2012
Arsip kerap hadir dalam dua cara yang ekstrem. Teronggok berantakan penuh debu memenuhi ruang fisik atau ruang digital. Bisa pula hadir dengan rapi dan terpetakan sehingga mampu ”berbicara” mengapa kekinian seperti sekarang adanya.
Di ruang depan Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, bola berdiameter 2 meter disusun Indra Leonardi dari 180 foto koleksi pribadi Melani D Setiawan. Karya ini mengawali ”percakapan” tanpa kata tentang arsip personal. Melani, seorang dokter dalam arti harfiah, juga seorang pencinta seni, memang terkenal sebagai ”tukang potret” di berbagai peristiwa.
Bukan memotret karya seni atau penggarapan sebuah karya seni, tetapi ia memotret segala orang dari dunia seni. Jenis fotonya disebut kurator pameran Jim Supangkat sebagai ”foto kenang-kenangan yang lazim dibuat untuk mengaktifkan memori di kemudian hari”.
”Ayah saya memiliki studio foto, dan itu membuat keluarga kami memiliki banyak koleksi foto pribadi. Saat saya SMP, saya sudah memiliki satu album foto sendiri. Itu membiasakan saya memotret perjumpaan apa saja,” ujar Melani yang menyatukan sebagian fotonya dalam buku Dunia Seni Rupa Indonesia, 1977-2011.
Buku dan kumpulan 45.000 arsip foto Melani mengilhami kurator Jim Supangkat dan Christine Cocca menawarkan kata kunci ”arsip” dan ”personal” untuk direspons 60 perupa yang mengikuti pameran ”Re.Claim” di Galeri Nasional Indonesia, 8-20 April. Dari tumpukan berkas, arsip, dan ingatan, mereka menyuguhkan persepsi masing-masing tentang kekinian mereka.
Karya
Galam Zulkifli menghadirkan ”facebiography volume 3” (2012). Galam ”membuat arsip” dengan sebuah lukisan potret Fince Dimara, seorang gadis asal Biak, Papua, yang berkuliah di Yogyakarta.
Di depan lukisan berukuran 2 meter x 2 meter itu, persis menutupi gambar bibir Fince, sebuah televisi layar lebar 32 inci menampilkan video yang merekam ucapan-ucapan Dimara tentang dirinya, perjalanan hidupnya, sekolahnya, juga mimpi-mimpinya.
Komunitas Ruangrupa juga menempatkan arsip dan personal yang tak melulu tentang mereka lewat karya instalasi ruang ”ruru zip: Quote Edition 2000-2010 (2012)”. Dinding ruang pamer disesaki kutipan terpilih tentang praktik artistik perupa Indonesia dari sejumlah esai, transkrip audio, video, wawancara, dan diskusi.
Berbagai perkakas, mulai dari kacamata hingga kotak bekas alat pindai, tertempel di ruang pamer. Di tengah ruang, dua buku kecil merangkum kutipan diskursus seni rupa Indonesia, memampatkannya dalam sebuah ruang pamer.
Namun, sejumlah perupa juga menghadirkan karya kuat dengan ”membongkar diri”. FX Harsono menampilkan ”Tree of Life” (2012) berupa mozaik foto yang merunut pohon keluarga Melani Setiawan, Paulus Sutrisno, dan FX Harsono.
Fauzie As’ad menampilkan karya ”Artchives-Random hingga Titik Kini” (2012) yang menampillkan dokumen korespondensi pribadinya, foto, visa, tiket pameran, dan kuitansi. Di tengah tempelan plastik klip dan lembar laminating, ia menaruh lukisannya, yang dua pertiga bidangnya polos berwarna abu-abu pekat, sebuah persegi panjang merah ada di tengahnya. Fauzie menggantung sebelah sepatu bercat putih di depan kanvasnya, seperti pesan tentang perantuannya ke negeri orang yang belum akan berakhir.
Heri Dono membuat instalasi ”Kakang Kawah Adik Ari-ari” (2012) berupa akuarium kecil penuh berisi patung wajah Heri Dono. Akuarium itu diletakkan di atas lemari bercat biru yang menyimpan tempelan foto masa kecil Heri Dono, juga foto syukuran hari lahirnya ke-41 pada 12 Juni 2001. Surat-surat dari ibunda Heri Dono pun ada di sana.
Rasa ”ruang pribadi” juga kuat mencuat dari lukisan Sunaryo, ”Mas Kawin Nikahku” (2012). Sunaryo melukis wajah istrinya dengan charcoal di atas kanvas 160 cm x 160 cm yang cuma ditempeli foto pernikahan mereka pada 26 November 1972 serta foto mas kawin perkawinan berupa cermin putih, celengan putih, pisau berbilah putih, sisir putih, jam tangan, dan sebuah Al Quran kecil.
Made Wianta malah menjadikan arsipnya tampil apa adanya. Ia menaruh sejilid buku yang berisi kliping puisi-puisinya sepanjang tahun 1996-1997 dalam karya ”Puisi Rupa”. Arsip dalam arti harfiah itu berkisah, misalnya, tentang Wianta yang menulis di mana saja dan kapan saja, di kertas buku bergaris, kartu pos, hingga sobekan iklan koran.
Lewat catatan kuratorialnya, Christine Cocca juga mencatat, proses kreatif sejumlah seniman lain, seperti AC Andre Tanama, Melati Suryodarma, dan Krisna Murti, memang menginvestigasi bagaimana identitas dikonstruksi dan dibatasi masyarakat.
”Kisah-kisah pribadi merefleksikan kondisi historis. Sifat otobiografis dalam ’Re.Claim’ mengindikasikan pentingnya preservasi testimoni personal dalam sistem pengarsipan nasional,” tulis Christine dalam catatan kuratorial. Sayang, negara ini mengarsip dokumen negara pun kedodoran, apalagi mengarsip barang pribadi para tokoh penting, termasuk seniman. Kini, para seniman mengeluarkan seluruh ingatan yang tersimpan dalam arsip-arsip pribadi dan mempresentasikannya sebagai semacam gugatan terhadap keteledoran.
http://nasional.kompas.com/read/2012/04/15/03294711/Menggugah.Keindahan.DARI.SETUMPUK.ARSIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar