Abu Nisrina
satuislam.org
Yogyakarta – Jangan tanya makna cinta kepada A.C. Andre Tanama. Pegrafis asal Yogyakarta itu akan berpikir panjang untuk mendefinisikannya. Dahi mengerut dan matanya langsung menerawang jauh. Ia berusaha menemukan jawaban yang tepat. Setelah sekian lama, tak satu pun jawaban keluar dari mulutnya.
Perilakunya sama anehnya dengan gaya filosof Jerman, Friedrich Nietzsche, yang hidup pada abad ke-18. Suatu hari di Turin, ia mendapati seekor kuda kelelahan menarik kereta. Sang sais geram lantaran kudanya tak mau bergerak. Ia ambil cemeti dan mencambuk tubuh hewan itu sampai berdarah-darah. Dasar tak ada sisa tenaga, kuda itu pun memilih diam.
Nietzsche menangis sejadi-jadinya. Ia rangkul kuda itu. “Cinta seperti apa itu?” kata Andre balik bertanya kepada Tempo yang menemuinya di Bentara Budaya Yogyakarta Sabtu lalu, 14 Februari 2015.
Malam itu di Bentara, lima perupa menggelar pameran bersama bertema “Love”. Rencananya, pameran itu akan digelar di dua tempat. Di Bentara pada 14-23 Februari dan di Syang Art Space Magelang pada 1 Maret-1 April. Selain Andre, empat perupa lain, yakni Anggar Prasetyo, Franziska Fennert, Koskow Widyatmoko, dan Laksmi Sitharesmi. Lewat karya yang dipamerkan, mereka menafsir cinta dengan cara masing-masing.
Cinta yang aneh ala Nietzsche itulah yang tertuang dalam Amor Fati karya Andre. Ia gambarkan wajah Nietzsche sedang memeluk seekor kuda. Di bagian bawah kedua obyek itu, ia tambahkan sosok Gwen silent—karakter rekaan yang selama ini menjadi ciri khas karyanya.
Amor Fati, kata dia, sejatinya ia kutip dari tulisan pengantar Sindhunata dalam buku Gaya Filsafat Nietzsche. Kata itu bermakna ikhlas menanggung nasib adalah luhur. Namun lebih luhur jika menanggung sekaligus mencintainya.
Lantas apa makna cinta bagi Laksmi? Lewat dua karya yang berjudul sama, Sprit of My Life, ia berbicara tentang cinta. Meski judulnya sama, dua karya itu dibuat pada tahun yang berbeda. Satu berupa lukisan yang dibuat pada 2015 dan satu lagi berupa patung yang dibuat pada 2013-2014. Ia menggunakan obyek utama yang sama: kambing jantan. Lewat kambing, ia ingin menggambarkan tekad kuatnya dalam meraih tiga cinta: kepada anak, suami, dan seni.
Cinta juga muncul dalam karya perupa Franziska berupa lukisan berjudul Cinta Ibu Anak, Discussion in The Dawn, dan Cinta Alam. Adapun Anggar melalui dua karya berjudul Love dan Widyatmoko hadir dengan berbagai seri Sally Can Wait.
Menurut Laksmi, tema pameran ini muncul secara spontan. Pengelola Bentara memberi jadwal untuk ruang pamer pada 14 Februari yang bertepatan dengan hari kasih sayang. Melalui karya, para perupa pun merespons tema cinta.
Penulis dalam pameran ini, Argus F.S., mencatat, dalam situasi perang, kriminalitas, dan persaingan politik ekonomi saat ini, kehadiran seni rupa sebagai the messenger selalu dibutuhkan untuk menghidupkan peradaban yang lebih baik.
https://satuislam.org/nasional/cinta-aneh-ala-nietzsche-di-yogyakarta/
satuislam.org
Yogyakarta – Jangan tanya makna cinta kepada A.C. Andre Tanama. Pegrafis asal Yogyakarta itu akan berpikir panjang untuk mendefinisikannya. Dahi mengerut dan matanya langsung menerawang jauh. Ia berusaha menemukan jawaban yang tepat. Setelah sekian lama, tak satu pun jawaban keluar dari mulutnya.
Perilakunya sama anehnya dengan gaya filosof Jerman, Friedrich Nietzsche, yang hidup pada abad ke-18. Suatu hari di Turin, ia mendapati seekor kuda kelelahan menarik kereta. Sang sais geram lantaran kudanya tak mau bergerak. Ia ambil cemeti dan mencambuk tubuh hewan itu sampai berdarah-darah. Dasar tak ada sisa tenaga, kuda itu pun memilih diam.
Nietzsche menangis sejadi-jadinya. Ia rangkul kuda itu. “Cinta seperti apa itu?” kata Andre balik bertanya kepada Tempo yang menemuinya di Bentara Budaya Yogyakarta Sabtu lalu, 14 Februari 2015.
Malam itu di Bentara, lima perupa menggelar pameran bersama bertema “Love”. Rencananya, pameran itu akan digelar di dua tempat. Di Bentara pada 14-23 Februari dan di Syang Art Space Magelang pada 1 Maret-1 April. Selain Andre, empat perupa lain, yakni Anggar Prasetyo, Franziska Fennert, Koskow Widyatmoko, dan Laksmi Sitharesmi. Lewat karya yang dipamerkan, mereka menafsir cinta dengan cara masing-masing.
Cinta yang aneh ala Nietzsche itulah yang tertuang dalam Amor Fati karya Andre. Ia gambarkan wajah Nietzsche sedang memeluk seekor kuda. Di bagian bawah kedua obyek itu, ia tambahkan sosok Gwen silent—karakter rekaan yang selama ini menjadi ciri khas karyanya.
Amor Fati, kata dia, sejatinya ia kutip dari tulisan pengantar Sindhunata dalam buku Gaya Filsafat Nietzsche. Kata itu bermakna ikhlas menanggung nasib adalah luhur. Namun lebih luhur jika menanggung sekaligus mencintainya.
Lantas apa makna cinta bagi Laksmi? Lewat dua karya yang berjudul sama, Sprit of My Life, ia berbicara tentang cinta. Meski judulnya sama, dua karya itu dibuat pada tahun yang berbeda. Satu berupa lukisan yang dibuat pada 2015 dan satu lagi berupa patung yang dibuat pada 2013-2014. Ia menggunakan obyek utama yang sama: kambing jantan. Lewat kambing, ia ingin menggambarkan tekad kuatnya dalam meraih tiga cinta: kepada anak, suami, dan seni.
Cinta juga muncul dalam karya perupa Franziska berupa lukisan berjudul Cinta Ibu Anak, Discussion in The Dawn, dan Cinta Alam. Adapun Anggar melalui dua karya berjudul Love dan Widyatmoko hadir dengan berbagai seri Sally Can Wait.
Menurut Laksmi, tema pameran ini muncul secara spontan. Pengelola Bentara memberi jadwal untuk ruang pamer pada 14 Februari yang bertepatan dengan hari kasih sayang. Melalui karya, para perupa pun merespons tema cinta.
Penulis dalam pameran ini, Argus F.S., mencatat, dalam situasi perang, kriminalitas, dan persaingan politik ekonomi saat ini, kehadiran seni rupa sebagai the messenger selalu dibutuhkan untuk menghidupkan peradaban yang lebih baik.
https://satuislam.org/nasional/cinta-aneh-ala-nietzsche-di-yogyakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar