A.C. Andre Tanama
kompasiana.com
#tuangkopihitam
Pameran perdana mahasiswa jurusan seni murni ISI Yogyakarta angkatan 2014 ini mengusung tema ‘Disleksia’. Disleksia kerap diartikan sebagai kesulitan membaca/ memahami bahasa. Dalam buku Memahami Otak (2003) dikatakan oleh Dr. Atie Wardiman Djojonegoro, Ketua Yayasan Pantara, bahwa sebenarnya ada pula problem kesulitan belajar yang lain seperti kesulitan berbahasa oral (disfasia), kesulitan menghitung (diskalkuli), dan kesulitan menulis (disfasia). Orang biasanya menyamaratakan sebagai disleksia. Istilah disleksia barangkali tak asing bagi orang yang mendalami bidang psikologi dan praktisi yang berkecimpung dalam bidang pendidikan khusus. Namun bagi saya yang tak mendalami bidang itu sesungguhnya saya kesulitan menulis. Hmmm... semoga saja ini bukan gejala disfasia atau disleksia!
Ketika mendengar tema pameran ini, pikiran saya terbang melayang pada sosok Ishaan Awasthi dan Aamir Khan dalam film Taare Zameen Par (2007). Bukan lantaran wajah gantengnya Amir Khan yang menandingi kegantengan saya, tapi karena film ini menceritakan tentang anak disleksia bernama Ishaan yang mengalami depresi. Berkat dukungan dan bantuan dari guru seni di sekolahnya (satu-satunya guru yang peduli pada kondisi Ishaan), akhirnya Ishaan bisa belajar menulis, membaca, dan berhitung. Salah satu hal yang menarik bagi pelaku dan pecinta seni, di babak terakhir film yang menyentuh perasaan ini, Ishaan secara luar biasa mampu menunjukkan kemampuan melukis dan berhasil memenangkan kompetisi lukis. Baiklah, Ishaan... akan kuundang dirimu besok di Pameran Dies Mortalis ISI 2016, hahaa!
#sumetkretek
Kawan-kawan Seni Murni Angkatan 2014 dalam pameran ini berupaya memunculkan pemikiran untuk mengangkat Disleksia sebagai suatu kelebihan, bukan sebagai kekurangan. Para perupa muda di sini berusaha menciptakan karya dengan metode yang mengadopsi cara atau sudut pandang orang disleksia. Sampai di sini saya mencoba membagikan bahan perenungan yang pada gilirannya dapat menjadi obrolan hangat sambil wedangan di kantin.
#menghisapkretek
Karya-karya Pameran “Disleksia” seyogyanya perlu dis(e)leksi(ya)!
Kenapa demikian? Pengertian disleksia yang saya baca dari buku Memahami Otak, disleksia merupakan gangguan pada kemampuan belajar, bisa disebabkan oleh abnormalitas daerah otak yang terlibat dalam proses belajar keterampilan baru. Kebanyakan penelitian mengenai disleksia difokuskan pada pusat bahasa di otak atau cerebral cortex, karena penderita umumnya mengalami kesulitan belajar membaca dan menulis. Perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa, dan juga daya sensorik indera perasa juga bisa terpengaruh. Berdasarkan pengertian tersebut kita dapat menggarisbawahi mengenai tema yang diangkat oleh teman-teman seni murni angkatan 2014, bahwa disleksia tidak pula berpengaruh pada kemampuan melukis. Sebenarnya ada sedikit kerancuan yang saya pikirkan antara korelasi membaca sesungguhnya –alfabet– dengan kemampuan membaca seseorang terhadap karya seni.
Pertama-tama, saya akan merubah diri saya menjadi seorang disleksia terlebih dahulu. Pada kasus orang yang mengalami disleksia mereka akan cenderung merasakan tekanan sosial jika lingkungan sekitarnya tak memahami, karena kemampuan seseorang terhadap membaca dan menulis adalah hal dianggap yang mendasar (penting). Ilmu membaca (alfabet/ kata/ kalimat) adalah ilmu pasti yang tidak bisa disamakan dengan naluri membaca suatu karya seni visual. Hal tersebut dibedakan karena membaca bertujuan untuk menyampaikan informasi/ berkomunikasi. Tidak jarang seniman menyampaikan tulisan mengenai penjelasan karyanya karena ketidakmampuan seseorang secara pasti dalam mengartikan karya seni rupa. Nah... bayangkan jika kemampuan membaca tersebut memberikan pengertian yang berbeda terhadap makna karya seni itu sendiri.
Kedua, saya akan menjelma diri saya menjadi seorang seniman. Bagi seorang seniman, kebebasan berkarya lebih menjadi hal pokok dalam mencapai kepuasan batinnya. Tidak sedikit para seniman yang tidak mempermasalahkan ketidakmampuan seseorang dalam membaca karya, karena berkaitan dengan ilmu dan pengalaman manusia berinteraksi dengan karya seni berbeda-beda. Sifatnya akan lebih relatif karena berkaitan dengan selera. Tidak hanya itu, seorang seniman tidak harus mengikuti aturan secara pasti dalam berkarya. Mereka secara intuitif berkarya, dan memang disarankan melahirkan karya yang “nakal”, yang berbeda, yang aneh, dan yang unik. Baik secara wacana maupun secara visual. Dari sini saja kita sudah melihat perbedaannya. Penciptaan karya seni tidak terdesak dengan kondisi kewajiban seperti para penderita disleksia membaca huruf b menjadi d, pun kaitannya dengan tekanan sosial yang dihadapinya.
Ketiga, saya bertransformasi menjadi dosen. Akan sangat baik jika para peserta pameran kali ini meriset dengan saksama mengenai disleksia, baik dalam ranah berkesenian maupun dalam lingkup sosial. Karena sesungguhnya dalam proses kreasi, melukis itu adalah meneliti dan bereksperimen. Seperti pemikiran yang diungkapkan oleh Picasso: “Saya tidak pernah melukis sebagai suatu karya seni. Kesemuanya merupakan penelitian. Saya mencari terus-menerus, dan saya dapatkan suatu susunan yang logis dalam semua penelitian ini.” (Damajanti, 2006: 77). Dalam ranah berkesenian, tidak mudah menghasilkan karya seperti para penderita disleksia kecuali mereka yang mengalami disleksia. Satu hal lagi, kemampuan disleksia tidak menjamin penderita tidak menghasilkan karya yang luar biasa. Buktinya, Agatha Christie, Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Auguste Rodin, juga Nelson Rockefeller, yang diakui di dunia sebagai orang-orang hebat pada bidangnya masing-masing, tercatat sebagai orang disleksia (Bintarti, dalam Taugada (ed.), 2003: 227).
#sruputanakhirkopihitam
Terlepas dari lanturan saya di atas, pameran perdana mahasiswa jurusan seni murni ISI Yogyakarta angkatan 2014 ini layak untuk diapresiasi, karena berniat baik untuk membagikan pemikirannya melalui karya-karya seni. Terlebih dengan tema ‘disleksia’ yang menurut saya cukup menantang. Selain ucapan selamat dan proficiat saya haturkan pada kalian semua, saya menaruh harapan semoga saja ada satu di antara kalian yang mau meneruskan tema ini dalam proses berkarya selanjutnya. Sukses atas pameran perdana ini, terus berkarya!
Salam budaya
AC Andre Tanama
Tulisan ini ditulis di Sewon, 17 September 2015
Tulisan pernah digunakan sebagai pengantar katalog Pameran Disleksia
tanggal 26 -28 September 2015 di Jogja National Museum
TEMAN BACAAN
Bintarti, Retno. “Banyak Orang Mengalami Disleksia, yang Penting Penanganannya”, Memahami Otak, ed.Jadmya Taugada. Jakarta: Penerbit Kompas, 2003.
Damajanti, Irma. Psikologi Seni. Bandung: Kiblat, 2006.
http://www.kompasiana.com/tanama/diseleksi-ya_573c8deb349773570909f864
kompasiana.com
#tuangkopihitam
Pameran perdana mahasiswa jurusan seni murni ISI Yogyakarta angkatan 2014 ini mengusung tema ‘Disleksia’. Disleksia kerap diartikan sebagai kesulitan membaca/ memahami bahasa. Dalam buku Memahami Otak (2003) dikatakan oleh Dr. Atie Wardiman Djojonegoro, Ketua Yayasan Pantara, bahwa sebenarnya ada pula problem kesulitan belajar yang lain seperti kesulitan berbahasa oral (disfasia), kesulitan menghitung (diskalkuli), dan kesulitan menulis (disfasia). Orang biasanya menyamaratakan sebagai disleksia. Istilah disleksia barangkali tak asing bagi orang yang mendalami bidang psikologi dan praktisi yang berkecimpung dalam bidang pendidikan khusus. Namun bagi saya yang tak mendalami bidang itu sesungguhnya saya kesulitan menulis. Hmmm... semoga saja ini bukan gejala disfasia atau disleksia!
Ketika mendengar tema pameran ini, pikiran saya terbang melayang pada sosok Ishaan Awasthi dan Aamir Khan dalam film Taare Zameen Par (2007). Bukan lantaran wajah gantengnya Amir Khan yang menandingi kegantengan saya, tapi karena film ini menceritakan tentang anak disleksia bernama Ishaan yang mengalami depresi. Berkat dukungan dan bantuan dari guru seni di sekolahnya (satu-satunya guru yang peduli pada kondisi Ishaan), akhirnya Ishaan bisa belajar menulis, membaca, dan berhitung. Salah satu hal yang menarik bagi pelaku dan pecinta seni, di babak terakhir film yang menyentuh perasaan ini, Ishaan secara luar biasa mampu menunjukkan kemampuan melukis dan berhasil memenangkan kompetisi lukis. Baiklah, Ishaan... akan kuundang dirimu besok di Pameran Dies Mortalis ISI 2016, hahaa!
#sumetkretek
Kawan-kawan Seni Murni Angkatan 2014 dalam pameran ini berupaya memunculkan pemikiran untuk mengangkat Disleksia sebagai suatu kelebihan, bukan sebagai kekurangan. Para perupa muda di sini berusaha menciptakan karya dengan metode yang mengadopsi cara atau sudut pandang orang disleksia. Sampai di sini saya mencoba membagikan bahan perenungan yang pada gilirannya dapat menjadi obrolan hangat sambil wedangan di kantin.
#menghisapkretek
Karya-karya Pameran “Disleksia” seyogyanya perlu dis(e)leksi(ya)!
Kenapa demikian? Pengertian disleksia yang saya baca dari buku Memahami Otak, disleksia merupakan gangguan pada kemampuan belajar, bisa disebabkan oleh abnormalitas daerah otak yang terlibat dalam proses belajar keterampilan baru. Kebanyakan penelitian mengenai disleksia difokuskan pada pusat bahasa di otak atau cerebral cortex, karena penderita umumnya mengalami kesulitan belajar membaca dan menulis. Perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa, dan juga daya sensorik indera perasa juga bisa terpengaruh. Berdasarkan pengertian tersebut kita dapat menggarisbawahi mengenai tema yang diangkat oleh teman-teman seni murni angkatan 2014, bahwa disleksia tidak pula berpengaruh pada kemampuan melukis. Sebenarnya ada sedikit kerancuan yang saya pikirkan antara korelasi membaca sesungguhnya –alfabet– dengan kemampuan membaca seseorang terhadap karya seni.
Pertama-tama, saya akan merubah diri saya menjadi seorang disleksia terlebih dahulu. Pada kasus orang yang mengalami disleksia mereka akan cenderung merasakan tekanan sosial jika lingkungan sekitarnya tak memahami, karena kemampuan seseorang terhadap membaca dan menulis adalah hal dianggap yang mendasar (penting). Ilmu membaca (alfabet/ kata/ kalimat) adalah ilmu pasti yang tidak bisa disamakan dengan naluri membaca suatu karya seni visual. Hal tersebut dibedakan karena membaca bertujuan untuk menyampaikan informasi/ berkomunikasi. Tidak jarang seniman menyampaikan tulisan mengenai penjelasan karyanya karena ketidakmampuan seseorang secara pasti dalam mengartikan karya seni rupa. Nah... bayangkan jika kemampuan membaca tersebut memberikan pengertian yang berbeda terhadap makna karya seni itu sendiri.
Kedua, saya akan menjelma diri saya menjadi seorang seniman. Bagi seorang seniman, kebebasan berkarya lebih menjadi hal pokok dalam mencapai kepuasan batinnya. Tidak sedikit para seniman yang tidak mempermasalahkan ketidakmampuan seseorang dalam membaca karya, karena berkaitan dengan ilmu dan pengalaman manusia berinteraksi dengan karya seni berbeda-beda. Sifatnya akan lebih relatif karena berkaitan dengan selera. Tidak hanya itu, seorang seniman tidak harus mengikuti aturan secara pasti dalam berkarya. Mereka secara intuitif berkarya, dan memang disarankan melahirkan karya yang “nakal”, yang berbeda, yang aneh, dan yang unik. Baik secara wacana maupun secara visual. Dari sini saja kita sudah melihat perbedaannya. Penciptaan karya seni tidak terdesak dengan kondisi kewajiban seperti para penderita disleksia membaca huruf b menjadi d, pun kaitannya dengan tekanan sosial yang dihadapinya.
Ketiga, saya bertransformasi menjadi dosen. Akan sangat baik jika para peserta pameran kali ini meriset dengan saksama mengenai disleksia, baik dalam ranah berkesenian maupun dalam lingkup sosial. Karena sesungguhnya dalam proses kreasi, melukis itu adalah meneliti dan bereksperimen. Seperti pemikiran yang diungkapkan oleh Picasso: “Saya tidak pernah melukis sebagai suatu karya seni. Kesemuanya merupakan penelitian. Saya mencari terus-menerus, dan saya dapatkan suatu susunan yang logis dalam semua penelitian ini.” (Damajanti, 2006: 77). Dalam ranah berkesenian, tidak mudah menghasilkan karya seperti para penderita disleksia kecuali mereka yang mengalami disleksia. Satu hal lagi, kemampuan disleksia tidak menjamin penderita tidak menghasilkan karya yang luar biasa. Buktinya, Agatha Christie, Albert Einstein, Leonardo da Vinci, Auguste Rodin, juga Nelson Rockefeller, yang diakui di dunia sebagai orang-orang hebat pada bidangnya masing-masing, tercatat sebagai orang disleksia (Bintarti, dalam Taugada (ed.), 2003: 227).
#sruputanakhirkopihitam
Terlepas dari lanturan saya di atas, pameran perdana mahasiswa jurusan seni murni ISI Yogyakarta angkatan 2014 ini layak untuk diapresiasi, karena berniat baik untuk membagikan pemikirannya melalui karya-karya seni. Terlebih dengan tema ‘disleksia’ yang menurut saya cukup menantang. Selain ucapan selamat dan proficiat saya haturkan pada kalian semua, saya menaruh harapan semoga saja ada satu di antara kalian yang mau meneruskan tema ini dalam proses berkarya selanjutnya. Sukses atas pameran perdana ini, terus berkarya!
Salam budaya
AC Andre Tanama
Tulisan ini ditulis di Sewon, 17 September 2015
Tulisan pernah digunakan sebagai pengantar katalog Pameran Disleksia
tanggal 26 -28 September 2015 di Jogja National Museum
TEMAN BACAAN
Bintarti, Retno. “Banyak Orang Mengalami Disleksia, yang Penting Penanganannya”, Memahami Otak, ed.Jadmya Taugada. Jakarta: Penerbit Kompas, 2003.
Damajanti, Irma. Psikologi Seni. Bandung: Kiblat, 2006.
http://www.kompasiana.com/tanama/diseleksi-ya_573c8deb349773570909f864
Tidak ada komentar:
Posting Komentar