Minggu, 25 Juli 2021

Kesenian ‘Tersingkir’ dari Sekolah

Isbedy Stiawan Z.S. *
lampungpost.com
 
Sains dan teknologi, yang bertahun-tahun dalam pengajaran di sekolah sangat diagungkan hanya melahirkan “manusia-manusia berilmu layaknya mesin”. Nilai-nilai kemanusiaan yang dapat digali dari kesenian—selain agama tentunya— selama ini seakan disingkirkan.
 
BEBERAPA waktu lalu, 29 November—3 Desember 2010, 43 guru SD dan 43 guru bidang kesenian SMP dari 14 kota/kabupaten se-Provinsi Lampung mengikuti lokakarya Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik Seni Budaya (PMTPSB) yang diadakan Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Lampung. Kegiatan yang dilaksanakan di Taman Budaya Lampung itu mendatangkan narasumber pakar dan seniman-budayawan Lampung.
 
Saya beruntung menjadi salah satu narasumber. Keberuntungan pun bertambah, usai pembukaan yang seharusnya diisi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Johnson Napitupulu dan Kabid Pendidikan Dasar Siti Maidasuri berhalangan, 4 jam pelajaran (pukul 14.00—17.30) didayagunakan dengan selayang pandang persoalan pembelajaran kesenian di sekolah (SD dan SPM) di daerah ini.
 
Ternyata mayoritas peserta lokakarya adalah pengajar bidang kesenian, yang notabene khusus bidang seni musik dan seni rupa. Akan halnya sastra, tak satu pun peserta yang menyukai. Alasannya, tanggung jawab pelajaran sastra ada pada guru bahasa Indonesia. Mereka tidak pernah menyentuh, apa lagi menggeluti, sastra yang notabene sebenarnya bagian dari kesenian (seni sastra).
 
Dari pertemuan tiga jam lebih yang diisi dengan dialog itu, persoalan yang mengemuka adalah bagaimana pengajaran kesenian dilakukan oleh guru khusus bidang kesenian. Selama ini, guru kelas kerap “ditimpa” pula untuk mengajar kesenian. Atau guru bidang kesenian ditempatkan sebagai guru kelas. Keluhan-keluhan seperti ini yang mengemuka dalam dialog tersebut. Di samping harapan para guru kepada pemerintah—dalam hal ini Dinas Pendidikan Provinsi Lampung—menyusun paket tentang pengajaran seni budaya, lalu dibagikan ke sekolah-sekolah. Dari silabus ini kemudian dijadikan pijakan para pendidik memberikan materi pengajaran seni budaya bagi pelajar.
 
Sebenarnya para guru sangat menyadari pentingnya seni budaya bagi pelajar. Hanya saja, kurikulum pembelajaran yang hingga kini belum memihak kepada bidang ini. Misalnya, ada keluhan dari seorang peserta pendidik, karena merasa jam pelajaran IPA dan IPS terasa masih kurang, akhirnya “mencapolok” sebagian jam pengajaran kesenian. Begitu pula pelajaran Bahasa Indonesia—inklud pengajaran sastra—karena gurunya sedikit sekali ilmu seni sastranya, yang diajarkan lebih banyak pelajaran Bahasa Indonesisa. Itu pun belum menyentuh pada karang-mengarang.
 
Persoalan-persoalan inilah yang mesti disikapi Dinas Pendidikan Lampung. Bagaimana pengajaran kesenian, bagian dari mendorong anak didik memiliki talenta di luar sains dan teknologi, bisa menjadi bagian penting pula dalam pengajaran di sekolah. Sebab, pendidikan tidak mengajarkan anak didik menjadi pandai dalam hal sains dan teknologi, tetapi harus diimbangi dengan pendidikan seni. Saya sependapat dengan Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdik Lampung Siti Maidasuri, pengisian antara otak kanan dan otak kiri pada anak didik haruslah berimbang. Hal ini juga sejalan dengan perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tiap tahun hadir pada kegiatan lomba kesenian tingkat pelajar. Atau Pemerintah Pusat yang mulai dua tahun ini menggelar Olimpiade Sastra Indonesia (OSI). Artinya, membuktikan pendidikan di Indonesia jangan mengabaikan bidang kesenian.
 
Harapan kita kepada pemerintah, semestinya pendidikan seni budaya menjadi perhatian serius. Jangan lagi kesenian selayaknya timun bengkok: ada pun tak melengkapi, kalaupun dibuang tak mengurangi hitungan.
 
Sains dan teknologi, yang bertahun-tahun dalam pengajaran di sekolah, sangat diagungkan hanya melahirkan “manusia-manusia berilmu yang layaknya mesin”, sehingga nilai-nilai kemanusiaan (emotion quante) terabaikan.
 
Nilai-nilai kemanusiaan yang dapat digali dari kesenian— selain agama tentunya—selama ini seakan disingkirkan, akibatnya sopan santun ataupun pengenalan kepada kebudayaan sendiri menjadi buta. Sementara kebudayaan dari luar sulit terbendung hingga memasuki wilayah paling privasi.
 
Karena di berbagai negara lain, justru kesenian telah dianggap penentu lulus atau tak lulusnya anak didik. Misalnya di Australia, konon siswa sulit naik kelas atau lulus apabila nilai matapelajaran keseniannya di bawah standar. Begitu pula di Malaysia, sebagaimana hasil survei penyair Taufiq Isjmail, para pelajar SMA wajib membaca beberapa judul buku sastra tiap semester yang kemudian harus pula menyerahkan hasil pembahasannya kepada guru. Bayangkan kalau permester para siswa mampu membaca tiga atau empat judul buku sastra dengan disertai hasil pembacaan, berapa judul buku mereka membaca setiap tahunnya?
 
Itu baru bidang sastra. Sedangkan kesenian lain, semisal musik, ternyata mereka berani mendatangkan ahlinya dari Indonesia. Pada tahun 1999 sewaktu saya mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johorbahru Malaysia, saya berjumpa dengan salah seorang pengajar musik tradisional Jawa. Dia memberikan pelajaran seni tradisional itu di dua negera sekaligus—Malaysia dan Singapura—sehingga mengharuskan dia pergi-pulang. Di samping beberapa sanggar seni. Bisa dibayangkan, kalau kini sudah 11 tahun pengajaran seni budaya Indonesia bagi pelajar dan sanggar di Malaysia dan Singapura, dikhawatirkan mereka lebih pandai dari kita. Sebagaimana pula pada masa silam, guru dari Malaysia belajar di Indonesia kini sebaliknya guru Indonesia beramai-ramai belajar di negeri jiran.
 
Oleh sebab itu, sepatutnya dicari solusi bagaimana pengajaran kesenian/kebudayaan di sekolah juga menjadi penting bersama pentingnya pelajaran IPA dan IPS. Saya kira usulan para pengajar bahwa guru kesenian harus diberi tanggung jawab khusus kepada guru kesenian atau guru kesenian dibebani memegang kelas, pantas diperhitungkan (dipikirkan) Disdik Lampung.
 
Kita tak berharap profesi seniman kelak masih tetap bukan pilihan, dibanding profesi dokter, hakim, jaksa, guru, pejabat, dan konglomerat. Dan, yang penting bahwa harus mengubah paradigma pendidikan hanya “mencetak” manusia yang harus bekerja kantoran. Sehingga begitu lulus dan menjadi pengangguran, pendidikan yang dikambinghitamkan.
 
Dari dialog itu, saya tetap optimististis para guru sebenarnya siap mengembangtumbuhkan seni budaya di sekolah masing-masing. Hanya yang diperlukan mereka sekarang adalah “landasan hukum” bagi bidang yang ditekuninya. Setidaknya, apakah penting pengajaran kesenian bagi siswa didik, dan sejauh mana manfaat dari pengajaran kesenian tersebut? Betapa pun pertanyaan-pertanyaan serupa ini, sebenarnya telah dijawab sendiri oleh mereka.
 
Selain, tentu saja, pertanyaan yang terkesan menyesalkan seperti hilangnya subdin atau subsi Kebudayaan dari Dinas Pendidikan karena marger ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung. Lengkaplah kesenian bagi pelajar di sekolah “tersingkir” karena perhatian Disbudpar mengurusi seni budaya yang dapat dijual dalam pasar pariwisata sebagai pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah. Sayang seribu malang. Tabik.

*) Isbedy Stiawan Z.S., sastrawan.  http://sastra-indonesia.com/2011/01/kesenian-tersingkir-dari-sekolah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi