Maman S. Mahayana *
Sastra adalah karya seni yang memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya.
Peristiwa dalam sastra disajikan dalam bentuk deskripsi narasi. Bahasa dalam
karya sastra dimaksudkan untuk menggambarkan rangkaian peristiwa yang
keseluruhannya membangun cerita.
Berbeda dengan karya sastra, komik adalah karya seni yang memanfaatkan
gambar sebagai mediumnya. Gambar menjadi sarana kreator (komikus) untuk
menyampaikan ide atau gagasan, kegelisahan, kritik sosial atau bahkan potret
zamannya. Oleh karena itu, tokoh komik seyogianya merepresentasikan harapan dan
idealisasi yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Di sinilah,
keberhasilan sebuah komik tidak hanya sangat ditentukan oleh kepiawaian komikus
dalam menyajikan serangkaian peristiwa melalui gambar-gambar yang secara
keseluruhan membangun cerita, tetapi juga dalam hal pemenuhan harapan dan
idealisasi tadi terwakili oleh tokoh-tokoh komik yang ditampilkannya. Dalam hal
itu, komikus mesti secara sadar menempatkan tokoh komiknya sebagai sosok makhluk
superior atau superhero dengan karakter yang superlatif atau tokoh biasa yang
mampu menghadirkan kejadian-kejadian luar biasa. Dengan demikian, pemaknaan
gambar-gambar penting artinya dalam usaha komikus menempatkan gambar sebagai
alat untuk mendeskripsikan peristiwa demi peristiwa dalam rangkaian membangun
sebuah cerita. Dengan perkataan lain, gambar-gambar itu digunakan untuk
menyajikan sebuah cerita melalui rangkaian peristiwa yang diangkat ke dalam
bentuk gambar-gambar.
Meskipun komik menggunakan medium gambar, tak berarti ia meniadakan
deskripsi narasi.yang memanfaatkan bahasa. Bagaimanapun juga, ada banyak hal
yang mustahil dapat direpresentasikan melalui gambar-gambar. Suasana hati atau
perasaan, seperti kegamangan, kecemasan, ketakutan atau kekalutan dan kekacauan
pikiran, misalnya, terlalu sulit untuk diangkat ke dalam gambar. Oleh karena
itu, mesti ada keterangan yang menyatakan tokoh tertentu dalam gambar sedang
mengalami suasana hati tertentu. Jadi, bisa saja keterangan itu berupa monolog
tokoh berangkutan atau keterangan yang langsung diberikan komikusnya. Begitu
pula, dalam soal dialog antartokoh, komikus terpaksa menggunakan bahasa. Dengan
demikian, bahasa dalam komik berfungsi sebagai pendukung untuk memperkuat efek
gambar dalam mengangkat peristiwa.
***
Kaitannya dengan gambar sebagai medium komik, maka kepiawaian komikus dalam
mengangkat peristiwa ke dalam gambar-gambar, tentu saja merupakan hal yang
mutlak perlu dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dilihat dari aspek itu,
komikus Indonesia sebagian besar sudah memenuhi tuntutan tersebut. Ganesh Th.,
Teguh Santosa, Wids, Hans, dan sederetan nama lain, sudah memperlihatkan
kecerdasannya dalam mengangkat berbagai peristiwa ke dalam gambar-gambar. Lalu,
hal apa saja yang perlu diperhatikan dan dilakukan komikus, agar karyanya tak
lekang ditelan zaman? Tema cerita apa saja yang sebaiknya digarap, agar
karyanya tetap aktual dan menarik perhatian pembacanya? Langkah apa saja yang
dicermati, agar komikus tak kehabisan gagasan dan sumber cerita?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan itu, patutlah kiranya kita mencoba
menyimak sejumlah unsur komik yang ?sadar atau tidak sadar? seringkali
diabaikan para komikus kita.
Pertama, penciptaan tokoh. Seperti telah disinggung di awal pembicaraan
ini, gambar merupakan media komik yang berbeda dengan sastra yang menggunakan
bahasa sebagai medianya. Mengingat perbedaan itu, gambaran fisik tokoh komik
hadir ke hadapan pembaca sudah dalam bentuk yang lengkap. Pembaca tidak perlu
lagi membayangkan gambaran fisik tokoh yang bersangkutan. Komikus juga tidak
perlu mendeskripsikannya lagi lewat bahasa.
Konsekuensi atas hadirnya tokoh komik yang sudah dalam bentuk yang lengkap
itu adalah kemungkinan hilangnya daya pikat tokoh yang bersangkutan jika ia
tampil sebagai tokoh yang sudah dikenal. Tokoh wayang dan para punakawannya,
misalnya, adalah tokoh yang sama sekali tidak mengundang daya pikat. Siasat
pertama yang perlu dilakukan adalah pemanfaatan cerita. Membaca Mahabarata R.A.
Kosasih misalnya, orang lebih tertarik pada kuatnya jalan cerita ketimbang
gambaran fisik tokoh-tokohnya. Oleh karena itu, kehadiran tokoh yang sudah
dikenal, harus didukung oleh kekuatan cerita. Tanpa itu, pembaca akan segera
bosan dan tinggal menunggu waktu saja pembaca mencampakkan komik tersebut.
Persoalannya berbeda dengan penciptaan tokoh-tokoh khas yang lalu menjadi
trade mark komikus yang bersangkutan. Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak,
Jaka Sembung, Godam, Bezita, Donald Bebek, Doraemon sampai Shinchan adalah
tokoh-tokoh rekaan yang mulanya tidak dikenal. Ketika tokoh-tokoh itu sudah
mulai dikenal dan makin akrab dengan pembaca, tokoh-tokoh itu kemudian menjadi
ciri khas karya komikus yang bersangkutan. Jika tokoh-tokoh yang sudah dikenal
itu, dihadirkan dalam cerita yang sederhana atau cerita biasanya, pembaca
tinggal menunggu kebosanannya saja. Oleh karena itu, penekanan pada kekuatan
cerita menjadi sangat penting. Di sinilah, komikus harus selalu menampilkan
cerita-cerita yang tak lazim, luar biasa aneh, dan selalu tak terduga jalan ceritanya.
Hanya dengan itu, kehadiran tokoh-tokoh itu akan tetap menarik, dan komik
itupun tidak bakal gampang ditinggalkan pembacanya.
Hal yang juga peting diperhatikan dalam menampilkan tokoh-tokoh komik
adalah selain bentuk fisiknya yang khas, unik, dan nyeleneh, juga
karakterisasinya mesti superlatif. Ia mesti tampil sebagai superhero dengan
kekuatan mendekati dewa. Mengapa begitu? Ada sejumlah alasan yang dapat
dikemukakan di sini.
1. Mengingat komik menggunakan medium gambar, maka gambar harus memberi
ruang yang seluas-luasnya kepada pembaca untuk berimajinasi. Komik-komik
percintaan karya Rizal atau Jan Mintaraga, misalnya, hadir tanpa sesuatu yang
khas. Tokoh-tokohnya tak lebih sebagai gambaran sosok manusia kebanyakaan.
Jadi, tak ada sesuatu yang istimewa. Jika saja gambarnya buruk, ia akan tetap
terpajang rapi lantaran tak ada yang mau membaca. Sebaliknya, jika gambarnya
bagus, ia juga tinggal menunggu saatnya ditinggalkan pembacanya. Oleh karena
itu, jika tokoh-tokoh itu sangat khas, unik, dan nyeleneh, ia akan segera
menarik perhatian. Persoalan berikutnya tinggal bagaimana ceritanya juga khas,
unik, dan nyeleneh dengan serangkaian peristiwa yang dahsyat dan sangat luar
biasa.
2. Penghadiran tokoh-tokoh yang superlatif seperti itu, berkaitan pula
dengan selera pembaca. Perlu diperhatikan, bahwa pembaca komik adalah mereka
yang sebagian besar berusia di bawah dewasa. Jadi, psikologi anak mestinya
menjadi titik perhatian. Penghadiran tokoh-tokoh yang mendekati dewa, penting
artinya untuk merangsang imajinasi pembaca. Dalam hal ini, pembaca akan
mengidealisasikan dirinya ke dalam karakterisasi tokoh-tokoh seperti itu.
Sebaliknya, jika yang tampil adalah tokoh-tokoh yang tidak luar biasa, seperti
Donald Bebek atau Shinchan, misalnya, harus ada tokoh antagonis yang
karakternya luar biasa jahatnya, luar biasa jeleknya, luar biasa sialnya, dan
segala kelakuan yang superlatif. Di samping itu, ceritanya harus menampilkan
segala yang tak terduga, penuh kejutan, dan aneh. Jadi, tokoh apapun yang
hendak dihadirkan, ia mesti sangat khas, unik, dan nyeleneh.
Kedua, pemanfaatan fakta sejarah. Pemanfaatan fakta sejarah untuk
kepentingan komik, tidaklah serta-merta mewajibkan komikusnya menampilkan
tokoh-tokoh sejarah. Fakta sejarah hanya sekadar latar peristiwa. Oleh karena
itu, komikus bisa saja menampilkan tokoh rekaannya sendiri yang boleh saja
lebih hebat dari tokoh sejarah itu sendiri. Perang Diponegoro, Perang Aceh, dan
kisah-kisah peperangan lainnya yang begitu banyak tercecer di berbagai daerah,
sesungguhnya merupakan lahan yang tak bakal habis untuk kepentingan cerita
komik. Jadi, komikus dituntut untuk mempelajari sejarah, jika ia hendak
mengangkat cerita komiknya dengan memanfaatkan fakta sejarah.
Jika komikus menampilkan tokoh-tokoh sejarah itu sendiri, seperti
Diponegoro, Nyut Nya Dien atau para pahlawan nasional, ia tidak hanya
membelenggu dirinya sendiri pada fakta sejarah yang tidak boleh diselewengkan,
tetapi juga terikat pada bentuk klise keharusan menyampaikan nilai-nilai
kejuangan. Sebagai usaha menyampaikan fakta sejarah dalam bentuk komik, tentu
saja cara demikian memberi kontribusinya sendiri. Tetapi, jika komikus secara
sadar hendak menciptakaan tokoh dan ceritanya sendiri dengan memanfaatkan fakta
sejarah, ia mesti menampilkan sesuatu yang lain, meskipun tetap dengan
memanfaatkan fakta sejarah itu sendiri. Jadi, fakta sejarah sekadar latar
cerita. Yang muncul adalah peristiwa dan tokoh lain. Cerita silat SH Mintardja,
Api di Bukit Manoreh atau serial cerita silat karya Arswendo Atmowiloto, Senopati
Pamungkas, misalnya, merupakan contoh, bagaimana latar sejarah dimanfaatkan
untuk kepentingan ceritanya.
Pada pertengahan tahun 1960-an, misalnya, banyak sekali muncul komik-komik
yang mengambil latar perang kemerdekaan. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam
komik-komik itu sama sekali tidak dikenal dalam catatan sejarah. Tetapi, dalam
komik itu, mereka hadir dengan semangat kejuangan yang luar biasa. Si Jampang
karya Ganesh Th, Jaka Sembung karya Djair, termasuk jenis komik yang seperti
itu. Sejauh ini, pemanfaatan fakta sejarah dalam komik Indonesia, belumlah
banyak dilakukan para komikus kita. Di sinilah sesungguh-nya komikus kita punya
lahan garapan yang masih berlimpah. Persoalannya tinggal, bagaima-na mereka mau
memanfaatkannya.
Ketiga, penggalian cerita rakyat. Sama halnya dengan pemanfaatan fakta
sejarah, komikus kita, masih belum maksimal melakukan penggalian terhadap
cerita-cerita rakyat yang tersebar di pelosok Nusantara. Komik Sangkuriang,
Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Timun Emas, dan entah cerita rakyat lain,
merupakan contoh kasus, bagaimana cerita rakyat diangkat ke dalam bentuk komik.
Dari sejumlah komik itu, kesan kuat yang segera muncul adalah kesetiaan komikus
pada cerita aslinya. Dengan demikian, tak ada sesuatu yang baru dalam komik itu,
selain bentuk naratif-bahasa, disajikan ke dalam bentuk gambar.
Sesungguhnya, cerita rakyat yang diangkat dalam bentuk komik, termasuk ke
dalam apa yang disebut transformasi. Komik yang bersangkutan sudah merupakan
penafsiran kedua sebagaimana yang ditangkap komikusnya. Oleh karena itu, sangat
mungkin terjadi perubahan di sana-sini, meski ia tidak menyimpang dari alur
utamanya. Selain itu, ketika cerita rakyat itu ditumpahkan dalam bentuk gambar,
ia sudah mengalami pemaknaan berikutnya. Dengan begitu, ia sudah akan bermakna
lain lagi. Adanya pergeseran pemaknaan yang dilakukan komikus tentu saja
bukanlah hal yang tabu, jangan pula dimaknai sebagai penyimpangan yang tidak
boleh dilakukan. Komikus tentu saja punya hak melakukan itu, bahkan boleh pula
mengumbar kreativitasnya sendiri, sejauh tidak meleset jauh dari alur utamanya.
Berkaitan dengan hak melakukan penyimpangan dan mengumbar kreativitas
tersebut, dalam banyak komik Indonesia, jarang terlihat keberanian komikus
untuk mengolah kembali cerita rakyat secara kreatif. Misalnya, dalam komik
Sangkuriang. Peristiwa kejar-mengejar antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi,
sesungguhnya menyimpan potensi yang memungkin-kan komikus mengumbar
kreativitasnya. Peristiwa itu akan menjadi sangat menegangkan jika komikus
pandai mengulur-ulur jalannya cerita. Sebut saja misalnya, manakala selendang
Dayang Sumbi dikibaskan ke arah Sangkuriang sebagai usaha menghambat laju lari
anaknya itu, Sangkuriang berkelit sedikit. Maka, torelap! Selendang itu pun
meluncur deras bagai jilitan halilintar. Jeleleger! Selendang itu menghantam
dinding bukit. Seketika, runtuhlah dinding bukit itu. Guluduk-guluduk-guluduk!
Ribuan bongkahan bebatuan, menggelinding, menggilas dan menghancurkan apa saja.
Sambil berkelit dan menghantami bebatuan yang menerjang ke arahnya, Sangkuriang
terus berlari, mengejar Dayang Sumbi.
Ilustrasi tadi, hanyalah sekadar contoh, betapa dalam banyak peristiwa yang
terdapat dalam cerita-cerita rakyat, tersimpan begitu banyak potensi yang
membuka peluang bagi komikus untuk mengumbar kreativitasnya. Dalam hal ini,
sekaligus juga sebagai alat untuk mempertontonkan kepiawaian komikus dalam
menyajikan gambar-gambar.
Keempat, transformasi karya sastra. Selain cerita rakyat yang bisa
ditransformasikan ke dalam komik, komikus juga dapat melakukannya pada sejumlah
karya sastra yang sudah dikenal secara baik oleh masyarakat pembacanya.
Katakalah, novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Ada banyak keuntungan
melakukan transformasi karya sastra ke dalam komik, seperti misalnya, selain
ceritanya sudah dikenal pembaca, juga komikus sekaligus ?numpang? popularitas.
Tetapi apakah dengan begitu, dapat dianggap merendahkan martabat komikus
sendiri? Tentu saja hal itu bergantung pada kemampuan komikus sendiri
memanfaatkan berbagai kekosongan yang terdapat dalam novel bersangkutan. Dalam
hal itulah, komikus dapat mengumbar imajinasinya dan kreativitasnya secara
lebih leluasa. Dalam hal tersebut, tentu saja itu merupakan tantangan bagi
komikus untuk menghasilkan karya yang baik. Paling sedikit, penyajian gambarnya
harus betul-betul mempesona.
Banyak sekali novel yang baik yang potensial diangkat dalam bentuk komik.
Sayang sekali lahan garapan ini hampir tak pernah disentuh para komikus kita.
Apakah ada larangan melakukan itu? Tentu saja itu dibolehkan sejauh kita minta
izin kepada pengarangnya sendiri atau kepada ahli warisnya, jika pengarangnya
sudah meninggal dunia. Jika sejumlah novel atau komik banyak yang diangkat ke
dalam film, mengapa novel ke dalam komik, tidak? Jika itu dilakukan oleh para
komikus kita, maka cerita-cerita komik Indonesia akan makin beragam dan kaya.
Persoalannya tinggal bergantung pada sikap komikus itu sendiri.
Kelima, potret sosial zamannya. Selama ini, peranan dan kontribusi komik
dalam kehidupan sosial kita sering kali ditempatkan secara tidak proporsional.
Bahkan, tidak jarang pula dipandang dengan nada yang melecehkan. Padahal, komik
atau karya seni lainnya, mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama. Komik atau
karya seni apapun, mempunyai kotak dan kedudukannya sendiri. Oleh karena itu,
tak relevan membandingkan kontribusi komik dengan karya seni lainnya, karena
masing-masing mempunyai kotaknya sendiri.
Meskipun demikian, ada kesan bahwa komikus sendiri sering menempatkan
dirinya sebagai seniman marjinal, meminggirkan diri dalam kehidupan
kesenimanan. Sikap itu tentu saja akan sangat merugikan posisi komikus sendiri
dan tempat komik dalam deretan karya seni lainnya. Lalu langkah apa yang perlu
dilakukan komikus berkaitan dengan masalah itu?
Sejauh ini, kita melihat bahwa komik-komik Indonesia dijadikan sebagai
konsumsi hiburan semata. Sasaran pembacanya sebagian besar usia di bawah
dewasa. Apakah mungkin ada komik untuk orang dewasa? Apapun tentu saja mungkin.
Salah satu yang menjadikan itu mungkin adalah dengan mencoba mengangkat potret
sosial zamannya. Potret yang seperti itu selama ini seringkali
direpresentasikan oleh karikatur. Tetapi, karikatur sekadar menyajikan
fragmen-fragmen dan tidak membangun sebuah wacana yang lengkap. Oleh karena
itu, kinilah saatnya, para komikus memikirkan, bagaimana komik dapat menjadi
potret semangat zamannya. Untuk sampai ke arah itu, komikus perlu mengangkat
berbagai peristiwa aktual, kontemporer yang menjadi isu nasional. Sebagai
contoh, adakah terpikirkan oleh para komikus kita untuk mengangkat peristiwa
reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto? Peristiwa lain yang tidak kalah
dahsyatnya, sebenarnya bertebaran, seperti kerusuhan Sambas dan Sampit,
peristiwa Semanggi I dan II, penembakan mahasiswa Trisaksi, peristiwa Mei dan
sederetan peristiwa lain yang semuanya sah-sah saja diangkat ke dalam komik.
Keenam, penciptaan cerita-cerita dahsyat. Dalam sejarah komik Indonesia,
memang banyak terdapat usaha komikus untuk menciptakan cerita-cerita dahsyat,
peristiwa-peristiwa yang melampaui batas-batas logika. Sayangnya, ada
kecenderungan dari komikus sendiri untuk tak menampilkan cerita yang terlalu
jauh melampaui batas-batas logika. Justru dalam hal itulah, komik Indonesia
selalu kalah bersaing dengan komik asing. Apa hebatnya Kungfu Boy, Rai Thunder
Jet atau Dragon Ball? Hakikatnya, cerita dalam komik-komik itu tak jauh berbeda
dengan komik lain yang menampilkan peristiwa-peristiwa menakjubkan. Bedanya,
komikus Takeshi Maekawa, Johji Manabe atau komiskus Jepang lainnya sangat berani
dalam menampilkan tokoh-tokoh supernatural dan dunia entah-berantah. Lalu apa
yang menarik?
Ada begitu banyak tokoh bermunculan dalam komik-komik tersebut. Tokoh utama
dengan kekuatan dewa, kadangkala dalam beberapa perkelahian harus kalah dahulu
melawan berbagai makhluk yang fisiknya luar biasa anehnya. Tak terpikirkan
adanya tokoh iblis yang fisiknya menyerupai ular dengan tubuh raksasa, kepada
plontos, mata sebesar bola tenis, dan punggung bersisik duri, dan entah apalagi
keanehan luar biasa yang terdapat dalam anggota tubuhnya. Tetapi, dengan
begitu, ia menjadi sangat khas. Tampilnya makhluk-makhluk aneh itu juga
sekaligus merangsang pembaca untuk terpancing mengumbar imajinasinya.
Dengan cara demikian, komik-komik seperti itu tidak cepat membosankan,
lantaran selalu ada kekhasan dan kejutan-kejutan. Bahwa cerita-cerita seperti
itu sangat disukai anak-anak, karena memang itulah dunianya, dunia yang penuh
dengan hayalan dan imajinasi. Oleh sebab itu, komikus mestilah mempunyai
keberanian untuk menciptakan cerita-cerita yang mahadahsyat,
peristiwa-peristiwa yang melampauai batas-batas logika, dan tokoh-tokoh dengan
fisik tak lazim dan tokoh yang hanya ada dalam komik itu sendiri.
Dalam hal penciptaan cerita-cerita dahsyat, komikus Indonesia agaknya masih
perlu belajar dari para penulis skenario sinetron yang menampilkan
cerita-cerita heroisme anak-anak. Lihat saja sinetron Saras, Gerhana, atau
Panji. Kisah-kisah semacam itulah yang justru mengundang daya pikat bagi
anak-anak. Dengan cara itu, anak-anak juga dirangsang untuk mengumbar
imajinasinya, karena mereka berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dan
sekaligus mengidealisasikan tokoh-tokoh itu sebagai superhero.
***
Demikianlah, gagasan untuk mengeksploitasi cerita-cerita komik ini,
persoalannya terpulang kembali kepada para komikusnya sendiri. Jika mereka tak
mempunyai keberanian untuk nyeleneh, untuk melakukan eksperimentasi, maka
mereka akan tetap terpuruk dan komik Indonesia akan tetap berada di bawah
bayang-bayang komik asing. Jika saja para komikus itu menyadari, betapa
kekayaan cerita Indonesia begitu berlimpah, mestinya komik-komik Indonesia
tidak hanya menjadi primadona di negerinya sendiri, tetapi juga menjadi sumber
ilham bagi para komikus asing. Komik Indonesia tidak mustahil menjadi komoditas
anak-anak warganegara asing. “Nah! Selamat menyeleneh!”
msm/11/8/2003
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia
salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden
Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan
pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan
sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di
Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies,
Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa
hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa
Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon”
(Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX
(1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/10/mengeksploitasi-sumber-cerita-komik/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Kirno Tanda
A.C. Andre Tanama
A.D. Pirous
A.S. Laksana
Abdillah M Marzuqi
Abdul Ajis
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abu Nisrina
Adhi Pandoyo
Adib Muttaqin Asfar
Adreas Anggit W.
Afnan Malay
Agama Para Bajingan
Agung Kurniawan
Agung WHS
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T
Agus Hernawan
Agus Mulyadi
Agus R. Subagyo
Agus Sigit
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Alim Bakhtiar
Alur Alun Tanjidor
Amang Rahman Jubair
Amien Kamil
Amri Yahya
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
Andong Buku
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Andry Deblenk
Anindita S Thayf
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Adrian
Anton Kurnia
Anwar Holid
Ardhabilly
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arti Bumi Intaran
Ary B Prass
Aryo Wisanggeni G
AS Sumbawi
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Ayu Sulistyowati
Bambang Bujono
Bambang Soebendo
Bambang Thelo
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Basoeki Abdullah
Basuki Ratna K
BE Satrio
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Brunel University London
Buku Kritik Sastra
Bustan Basir Maras
Candrakirana KOSTELA
Catatan
Cover Buku
Dahlan Kong
Daniel Paranamesa
Dari Lisan ke Lisan
Darju Prasetya
Debat Panjang Polemik Sains di Facebook
Dedy Sufriadi
Dedykalee
Denny JA
Desy Susilawati
Di Balik Semak Pitutur Jawa
Dian Sukarno
Dian Yuliastuti
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dipo Handoko
Disbudpar
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwin Gideon
Edo Adityo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Faidil Akbar
Faizalbnu
Fatah Yasin Noor
Festival Teater Religi
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Franz Kafka
Galeri Sonobudoyo
Gatot Widodo
Goenawan Mohamad
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Hans Pols
Hardjito
Haris Saputra
Harjiman
Harryadjie BS
Hendra Sofyan
Hendri Yetus Siswono
Hendro Wiyanto
Heri Kris
Herman Syahara
Heru Emka
Heru Kuntoyo
htanzil
I Wayan Seriyoga Parta
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indigo Art Space
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Intan Ungaling Dian
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Jajang R Kawentar
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jonathan Ziberg
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jual Buku Paket Hemat 23
Jumartono
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Karikatur Hitam-Putih
Karikatur Pensil Warna
Kartika Foundation
Kemah Budaya Pantura (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Koktail
Komik
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Koskow
Koskow (FX. Widyatmoko)
KOSTELA
Kris Monika E
Kyai Sahal Mahfudz
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Shitaresmi
Leo Tolstoy
Literasa Donuts
Lords of the Bow
Luhung Sapto
Lukas Luwarso
Lukisan
M Anta Kusuma
M. Ilham S
M. Yoesoef
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoenomo
Mas Dibyo
Mashuri
Massayu
Masuki M Astro
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Moch. Faisol
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moses Misdy
Muhajir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musdalifah Fachri
Ndix Endik
Nelson Alwi
Nietzsche
Noor H. Dee
Novel Pekik
Nung Bonham
Nurel Javissyarqi
Nurul Hadi Koclok
Nuryana Asmaudi SA
Obrolan
Octavio Paz
Oil on Canvas
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Lukisan
Pasar Seni Indonesia
Pasar Seni Lukis Indonesia
PC. Lesbumi NU Babat
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Harjiman
Pelukis Saron
Pelukis Sugeng Ariyadi
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Penerbit PUstaka puJAngga
Penerbit SastraSewu
Pesta Malang Sejuta Buku 2014
Proses kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
R Ridwan Hasan Saputra
Rabdul Rohim
Rahasia Literasi
Rakai Lukman
Rambuana
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rudi Isbandi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumoh Projects
S. Yadi K
Sabrank Suparno
Saham Sugiono
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sapto Hoedojo
Sastra
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra ke #24
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Rupa
Septi Sutrisna
Seraphina
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sketsa
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Srihadi Soedarsono
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sunu Wasono
Susiyo Guntur
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno SZ
Syifa Amori
Tammalele
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
TANETE
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan Pinang
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Toto Nugroho
Tri Andhi S
Tri Moeljo
Triyono
Tu-ngang Iskandar
Tulus Rahadi
Tulus S
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Vincent van Gogh
Vini Mariyane Rosya
W.S. Rendra
Wachid Duhri Syamroni
Wahyudin
Warung Boenga Ketjil
Wasito
Wawancara
Wayan Sunarta
William Bradley Horton
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yunisa
Zawawi Se
Zulfian Hariyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar