JawaPos.com
Toto Nugroho, perupa alumnus ISI Jogjakarta kelahiran Wonogiri, 1980, mengusung 14 karya lukisan akrilik bergenre komik -begitu didedahkan dalam catatan kuratorial Wahyudin- yang dipamerkan di Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, 25 Juli-3 Agustus 2010.
Karya-karya komikal Toto setia menggunakan bentuk apropriasi yang menggambarkan sebuah proses dalam penciptaan karya seni rupa dengan cara: meminjam, mengutip, serta merepetisi elemen-elemen visual dari perupa terdahulu.
Hal yang paling menantang dari pola apropriasi -jurnalis yang juga penulis seni rupa Raihul Fadjri menyebut padanannya sebagai pelesetan- adalah bagaimana si perupa yang melakukannya mampu menghadirkan dirinya. Sebab, pada karya apropriasi sejak semula, sebenarnya, kreatornya ”telah lebih dulu menggadaikan dirinya”.
Secara sederhana dapat dikatakan, karya apropriasi memang tidak sedang mempertaruhkan eksistensi kreatornya sebagai perupa. Sebab, betapapun, apropriasi yang merupakan duplikasi kreatif tidak terkena definisi plagiasi.
Pada apropriasi, subjek-objek awal yang ditiru -agaknya- memenuhi konvensi lebih diposisikan sebagai sekadar sumber inspirasi. Notabene, karya apropriasi bisa saja meneguh-lanjutkan kemasyhuran sumber inspirasi tersebut, tetapi dapat pula berubah variatif dalam bentuk-bentuk, misalnya, negasi atau parodi. Marilyn Monroe merupakan subjek-objek yang paling tandas diapropriasi. Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci seakan-akan subjek-objek bersama banyak perupa.
Karena itulah, Toto sangat eksplisit menyebut pameran tunggalnya dengan tajuk ”Exploitation”. Toto memang memadukan sejumlah inspirasi ke dalam kanvas-kanvasnya. Sebutan eksploitasi tentu saja menarik. Sebab, apropriasi memenuhi unsur ”kerja eksploitatif” atas subjek-objek yang pernah ada yang terang benderang pula siapa kreatornya. Sekalipun, yang dimaksudkan dengan eksploitasi dalam konteks pameran lebih tertuju pada hal-ihwal teknis perupaan yang termaktub dalam kuratorial.
Dipaparkan bahwa Toto menemu-ciptakan figur-figur dalam karyanya dengan keterampilan teknis seni grafis yang dihadirkan secara simultan sebagai retorika imaji dengan kecakapan artistik seni lukis. Atas itu semua, karya-karya Toto dikukuhkan berhasil melepaskan diri dari kategori-kategori estetis seni murni yang lazim dan berkehendak merayakan budaya massa atau karnaval simbol-simbol budaya populer yang membentuk citra, cara-perilaku, standar, dan tujuan masyarakat urban.
Pengukuhan tersebut merupakan eksploitasi pertama yang dikerjakan Toto atas seni murni (teknik). Eksploitasi kedua bertemu dengan pokok perupaan atau subjek-objek apropriasi (bentuk) yang diusung Toto. Perupa ini -kalau tidak sebatas menemu dan mengolah sumber apropriasi- tentulah sedemikian terasuk oleh figur-tokoh masyhur dari dunia gambar bercerita, serial kartun, dan arcade game. Figur-tokoh dari dunia fiksi itulah pokok perupaan eksploitasi Toto.
Kita menemukan Tarzan ciptaan Edgar Rice (cerita petualangan yang terbit bersambung di surat kabar pada 1912 dengan ilustrator Hal Foster). Berturut-turut: The Simpsons kreasi Matt Groening (serial kartun televisi yang diputar untuk kali pertama oleh Fox Broadcasting Company pada 1989); Asterix buatan Rene Goscinny dan Albert Uderso (komik petualangan yang terbit kali pertama via majalah Pilote 1959); Mario Bros rancangan Shigeru Miyamoto dan Gunpei Yokoi (arcade game yang diedarkan untuk kali pertama oleh Nintendo pada 1983); dan The Fantastic Four rekaan Stan Lee dan Jack Kirby (komik superhero yang diterbitkan kali pertama oleh Marvel Comics pada 1961).
Bila kita cermati, eksploitasi Toto terasa sunyi. Sumber masalahnya, eksploitasi Toto berhenti hanya sebatas eksploitasi pertama (teknik), eksploitasi kedua (bentuk), tetapi tidak menganggap sesuatu yang krusial pada eksploitasi ketiga (ide). Sangat mungkin, Toto memosisikan ide telah tereksekusi ketika dia melakukan penggabungan (menampilkan secara serempak figur-tokoh yang realitasnya berbeda dalam hal waktu dan lokasi).
Anggaplah memang demikian. Tetapi, eksploitasi ketiga itu tidak tegas tampak dalam karya Toto. Padahal, dalam karya apropriasi Toto yang dituntun banyak sumber inspirasi ini, dia punya peluang menghadirkan eksistensinya: agar subjek-objek pokok perupaannya berkarakter. Peluang eksistensial itu tidak diambil Toto mungkin saja karena subjek-objek apropriasi yang variatif tersebut dikira telah memadai untuk dilepaskan begitu saja. Paling jauh dikawal secara teknis dan bentuk perupaan saja.
Atau, karya-karya Toto yang melankolis ternyata menawarkan ide yang membonceng budaya massa (renyah, fana, dan potensi mengharu-biru). Artinya, Toto serta-merta menumpulkan kesan agresif yang ditawarkan sendiri. Bukankah kata kunci pamerannya kali ini dapat kita raba melalui bungkusnya: yaitu, eksploitasi?
Kesunyian eksploitasi yang dikerjakan Toto, salah satu contoh, mengakibatkan kita tidak melihat Simpsons sebagai sosok rasional (karena itu, terkadang terkesan kurang ajar). Sebagaimana diketahui, film kartun keluarga Simpsons yang pernah diputar di televisi kita pada 90-an sempat meresahkan banyak orang tua dan pendidikan karena dialog-dialognya yang lugas berperspektif kiri (menyoal isu dalam na?rasi besar).
Keresahan yang berbeda muncul dari kartun Jepang Sinchan yang mengeksploitasi keluguan yang menyerempet-nyerempet seksis (isu yang dilihat dari kaca mata kanak-kanak yang degil). Itulah yang dimaksudkan, misalnya, paradigma Simpsons tersebut tidak hadir dalam eksploitasi Toto.
Toto dalam ”Reinterpreted Snag” begitu bebas mengait-temukan Tarzan-Jean, Homer-Bart Simpsons, Asterix, Luigi, dan Mario Bros dalam sepotong kanvas untuk menafsirkan kembali apa arti sobekan dalam gambar bercerita. ”Jelous” menghadirkan Bart Simpsons dan Invisible Woman, ”Formality” mempertemukan Jean dengan Asterix, dan ”The Gendong” menggambarkan adegan kasmaran Tarzan dan Jean di hadapan Asterix.
Toto menyebutnya, ternyata pada sobekan-sobekan itu bisa muncul imajinasi laiknya parit-parit di komik -jukstaposisi ada di sana. Itu menegaskan, eksploitasi Toto tidak terkesima pada persoalan ide. Tetapi, pada kesunyian eksploitasi Toto, kita tetap menemukan kontemplasi yang terus berlangsung dan mengetuk-ngetuk eksistensi problematis-etis kita sebagai manusia pada karyanya ”Dialogue”. Karya itu memaparkan subjek-objek perupaan manusia-gorila: yang dengan mudah menumbuk asosiasi kita kepada kera dalam definisi Charles Darwin.
Mungkin, Toto tidak bermaksud menghadirkan itu. Tetapi, eksploitasi adalah kerja yang menyediakan ruang untuk hal-hal tidak terduga: dalam hal ini bahkan oleh kreatornya sendiri.
Toto Nugroho, perupa alumnus ISI Jogjakarta kelahiran Wonogiri, 1980, mengusung 14 karya lukisan akrilik bergenre komik -begitu didedahkan dalam catatan kuratorial Wahyudin- yang dipamerkan di Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, 25 Juli-3 Agustus 2010.
Karya-karya komikal Toto setia menggunakan bentuk apropriasi yang menggambarkan sebuah proses dalam penciptaan karya seni rupa dengan cara: meminjam, mengutip, serta merepetisi elemen-elemen visual dari perupa terdahulu.
Hal yang paling menantang dari pola apropriasi -jurnalis yang juga penulis seni rupa Raihul Fadjri menyebut padanannya sebagai pelesetan- adalah bagaimana si perupa yang melakukannya mampu menghadirkan dirinya. Sebab, pada karya apropriasi sejak semula, sebenarnya, kreatornya ”telah lebih dulu menggadaikan dirinya”.
Secara sederhana dapat dikatakan, karya apropriasi memang tidak sedang mempertaruhkan eksistensi kreatornya sebagai perupa. Sebab, betapapun, apropriasi yang merupakan duplikasi kreatif tidak terkena definisi plagiasi.
Pada apropriasi, subjek-objek awal yang ditiru -agaknya- memenuhi konvensi lebih diposisikan sebagai sekadar sumber inspirasi. Notabene, karya apropriasi bisa saja meneguh-lanjutkan kemasyhuran sumber inspirasi tersebut, tetapi dapat pula berubah variatif dalam bentuk-bentuk, misalnya, negasi atau parodi. Marilyn Monroe merupakan subjek-objek yang paling tandas diapropriasi. Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci seakan-akan subjek-objek bersama banyak perupa.
Karena itulah, Toto sangat eksplisit menyebut pameran tunggalnya dengan tajuk ”Exploitation”. Toto memang memadukan sejumlah inspirasi ke dalam kanvas-kanvasnya. Sebutan eksploitasi tentu saja menarik. Sebab, apropriasi memenuhi unsur ”kerja eksploitatif” atas subjek-objek yang pernah ada yang terang benderang pula siapa kreatornya. Sekalipun, yang dimaksudkan dengan eksploitasi dalam konteks pameran lebih tertuju pada hal-ihwal teknis perupaan yang termaktub dalam kuratorial.
Dipaparkan bahwa Toto menemu-ciptakan figur-figur dalam karyanya dengan keterampilan teknis seni grafis yang dihadirkan secara simultan sebagai retorika imaji dengan kecakapan artistik seni lukis. Atas itu semua, karya-karya Toto dikukuhkan berhasil melepaskan diri dari kategori-kategori estetis seni murni yang lazim dan berkehendak merayakan budaya massa atau karnaval simbol-simbol budaya populer yang membentuk citra, cara-perilaku, standar, dan tujuan masyarakat urban.
Pengukuhan tersebut merupakan eksploitasi pertama yang dikerjakan Toto atas seni murni (teknik). Eksploitasi kedua bertemu dengan pokok perupaan atau subjek-objek apropriasi (bentuk) yang diusung Toto. Perupa ini -kalau tidak sebatas menemu dan mengolah sumber apropriasi- tentulah sedemikian terasuk oleh figur-tokoh masyhur dari dunia gambar bercerita, serial kartun, dan arcade game. Figur-tokoh dari dunia fiksi itulah pokok perupaan eksploitasi Toto.
Kita menemukan Tarzan ciptaan Edgar Rice (cerita petualangan yang terbit bersambung di surat kabar pada 1912 dengan ilustrator Hal Foster). Berturut-turut: The Simpsons kreasi Matt Groening (serial kartun televisi yang diputar untuk kali pertama oleh Fox Broadcasting Company pada 1989); Asterix buatan Rene Goscinny dan Albert Uderso (komik petualangan yang terbit kali pertama via majalah Pilote 1959); Mario Bros rancangan Shigeru Miyamoto dan Gunpei Yokoi (arcade game yang diedarkan untuk kali pertama oleh Nintendo pada 1983); dan The Fantastic Four rekaan Stan Lee dan Jack Kirby (komik superhero yang diterbitkan kali pertama oleh Marvel Comics pada 1961).
Bila kita cermati, eksploitasi Toto terasa sunyi. Sumber masalahnya, eksploitasi Toto berhenti hanya sebatas eksploitasi pertama (teknik), eksploitasi kedua (bentuk), tetapi tidak menganggap sesuatu yang krusial pada eksploitasi ketiga (ide). Sangat mungkin, Toto memosisikan ide telah tereksekusi ketika dia melakukan penggabungan (menampilkan secara serempak figur-tokoh yang realitasnya berbeda dalam hal waktu dan lokasi).
Anggaplah memang demikian. Tetapi, eksploitasi ketiga itu tidak tegas tampak dalam karya Toto. Padahal, dalam karya apropriasi Toto yang dituntun banyak sumber inspirasi ini, dia punya peluang menghadirkan eksistensinya: agar subjek-objek pokok perupaannya berkarakter. Peluang eksistensial itu tidak diambil Toto mungkin saja karena subjek-objek apropriasi yang variatif tersebut dikira telah memadai untuk dilepaskan begitu saja. Paling jauh dikawal secara teknis dan bentuk perupaan saja.
Atau, karya-karya Toto yang melankolis ternyata menawarkan ide yang membonceng budaya massa (renyah, fana, dan potensi mengharu-biru). Artinya, Toto serta-merta menumpulkan kesan agresif yang ditawarkan sendiri. Bukankah kata kunci pamerannya kali ini dapat kita raba melalui bungkusnya: yaitu, eksploitasi?
Kesunyian eksploitasi yang dikerjakan Toto, salah satu contoh, mengakibatkan kita tidak melihat Simpsons sebagai sosok rasional (karena itu, terkadang terkesan kurang ajar). Sebagaimana diketahui, film kartun keluarga Simpsons yang pernah diputar di televisi kita pada 90-an sempat meresahkan banyak orang tua dan pendidikan karena dialog-dialognya yang lugas berperspektif kiri (menyoal isu dalam na?rasi besar).
Keresahan yang berbeda muncul dari kartun Jepang Sinchan yang mengeksploitasi keluguan yang menyerempet-nyerempet seksis (isu yang dilihat dari kaca mata kanak-kanak yang degil). Itulah yang dimaksudkan, misalnya, paradigma Simpsons tersebut tidak hadir dalam eksploitasi Toto.
Toto dalam ”Reinterpreted Snag” begitu bebas mengait-temukan Tarzan-Jean, Homer-Bart Simpsons, Asterix, Luigi, dan Mario Bros dalam sepotong kanvas untuk menafsirkan kembali apa arti sobekan dalam gambar bercerita. ”Jelous” menghadirkan Bart Simpsons dan Invisible Woman, ”Formality” mempertemukan Jean dengan Asterix, dan ”The Gendong” menggambarkan adegan kasmaran Tarzan dan Jean di hadapan Asterix.
Toto menyebutnya, ternyata pada sobekan-sobekan itu bisa muncul imajinasi laiknya parit-parit di komik -jukstaposisi ada di sana. Itu menegaskan, eksploitasi Toto tidak terkesima pada persoalan ide. Tetapi, pada kesunyian eksploitasi Toto, kita tetap menemukan kontemplasi yang terus berlangsung dan mengetuk-ngetuk eksistensi problematis-etis kita sebagai manusia pada karyanya ”Dialogue”. Karya itu memaparkan subjek-objek perupaan manusia-gorila: yang dengan mudah menumbuk asosiasi kita kepada kera dalam definisi Charles Darwin.
Mungkin, Toto tidak bermaksud menghadirkan itu. Tetapi, eksploitasi adalah kerja yang menyediakan ruang untuk hal-hal tidak terduga: dalam hal ini bahkan oleh kreatornya sendiri.
*) Afnan Malay, kurator. http://sastra-indonesia.com/2010/07/eksploitasi-sunyi-toto-nugroho/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar