Jumat, 19 Februari 2021

Estetika Para Perupa Komik

Afnan Malay *
jawapos.com
 
Pada 22-30 Maret lalu, bertempat di Galeri Nasional, Jakarta, Andi’s Gallery menjadi tuan rumah pameran bertajuk The Comical Brothers. Sebanyak 22 perupa -seharusnya 25, tetapi Samuel Indratma, Ahmad Thoriq, dan Decky Leos berhalangan- dikuratori Bambang “Toko” Witjaksono dan Grace Samboh memajang aneka rupa karya komikal. Antusiasme pengunjung, umumnya anak-anak muda, tampak saat pembukaan pameran itu.
 
Antusiasme tersebut seakan-akan mendeklarasikan sebuah fakta yang berlangsung: Ini memang era komik. Komik kita, sejak kehadirannya yang cukup marak terutama pada ’60-an dan ’70-an (vakum pada ’80-an, kala komik-komik Jepang mulai menggejala), sebenarnya merupakan ikon subversif dalam khazanah pedagogis kita.
 
Subversif bukan karena menawarkan hal lain yang substantif. Justru komik jatuh pada stereotip: dangkal. Kedangkalan komik ketika itu dihadapkan dengan bacaan fiksi tidak (minim) bergambar (sastra). Selain itu, visualisasi dinilai menyandera imajinasi, bahkan bersifat reduktif. Padahal, fungsi karya fiksi adalah merangsang imajinasi. Begitulah sikap kita menghadapi budaya baru yang selalu terulang, termasuk menyikapi televisi, PlayStation, dan game lain.
 
Bisa dikatakan, sekalipun tidak ada kesepakatan formal, semua orang tua ekstraketat membatasi anak-anak mereka agar tidak teracuni komik. Ketika itu memang tidak terbantahkan, komik adalah “zat adiktif lain” yang jadi musuh bersama para pendidik dan orang tua.
 
Tetapi, dalam lapangan seni rupa bukan sifat subversif tersebut yang membuat komik bagai berjalan tertatih-tatih. Komik sebagai bahasa visual (yang naratif dan verbal) tidak mudah menaklukkan bahasa seni rupa yang mapan: bahwa bentuk visual memuat hal-hal reflektif. Visualisasi komik atau komik sebagai pokok perupaan menjadi keniscayaan saat ini, setidaknya akibat beberapa faktor yang saling berkaitan.
 
Salah satunya, kita tidak lagi hidup pada masa ketika hal-hal reflektif menjadi bagian penting tolok ukur atas banyak persoalan, termasuk estetika. Bukan berarti yang terjadi negasinya, melainkan semata-mata kita terkesima akan hal-hal yang semuanya instan.
 
Tentu tidak sepenuhnya bisa dibuat simplifikasi demikian. Mungkin lebih netral kalau dikatakan, dalam banyak hal kini pilihan semakin variatif. Selain itu, yang terpenting, mereka yang menetapkan pilihan tidak merasa inferior sedikit pun terhadap label yang disematkan: instan, periferi, bahkan artifisial. Pilihan yang variatif menyiratkan varian-varian yang senantiasa bertarung: untuk hadir mengada atau lenyap seketika.
 
Selain itu, faktor yang tidak bisa diabaikan, komik setidaknya merupakan representasi sebagian penikmat seni rupa saat ini. Misalnya, anak-anak muda yang antusias pada pembukaan pameran tersebut tentu berupaya pula “menemukan diri masing-masing” ketika divisualisasikan The Comical Brothers.
 
Asal tahu saja, kecenderungan yang berlangsung, sebenarnya hal-hal reflektif tidak dengan sendirinya dibatasi secara tegas dengan hal-hal yang semuanya instan. Bukankah belakangan ini kombinasi atas beberapa kemungkinan yang semula kita anggap muskil tidak melulu bersifat imajiner? Kita bisa ketat terhadap sesuatu yang fundamental sekaligus tidak sungkan-sungkan kecanduan sesuatu yang instan pada saat bersamaan.
 
Begitu pula proses adopsi komik yang dulu subversif dan jatuh pada stereotip mengganggu anak didik kita. Saat ini justru banyak buku acuan yang serius agar relatif mudah diinternalisasi (punya daya pikat) dan komik menjadi alat visualisasi yang sangat membantu. Sebaliknya, komik yang kita gambarkan sebagaimana tidak menggubris hal-hal reflektif tidak lagi dapat dibenarkan.
 
Kelompok Taring Padi, misalnya, yang dimotori perupa Yustoni Volunteero, seperti digambarkan dalam buku Heidi Arbuckle (2010) sebagai contoh kontemporer praktik budaya radikal dalam sejarah besar politik kebudayaan di Indonesia. Menurut dia, Taring Padi yang muncul hanya beberapa bulan setelah huru-hara rakyat pada Mei 1998 itu turut menjatuhkan rezim militer Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Komik -sekalipun bukan pilihan utama Taring Padi- menjadi alat agitasi dan propaganda politik (yang masuk ke dalam kategori hal-hal reflektif).
 
Bambang mencatat, fenomena komik mulai tumbuh lagi pada era ’90-an, ditandai dengan munculnya komik indie di Jogja, Bandung juga. Misalnya, Athonk Sapto Rahardjo memelopori pure black comic (1994). Lalu, ada Apotik Komik yang merupakan jelmaan Core Comic (Samuel Indratma, Arie Dyanto, Bambang, dan Popok Triwahyudi). Pada 2000-an, motornya, Eko Nugroho dengan Daging Tumbuh-nya, menjadi acuan kelompok-kelompok komik yang masih bertahan hingga sekarang, seperti Mulya Karya (Yudha Sandy, Daniel Cahya Krisna, dan Panca Nugraha Wirawan).
 
Yang saya definisikan sebagai hal-hal yang semuanya instan itu dirasakan oleh perupa komik Nano Warsono. Pada 2000 dia mengkritisi gejala komikal pada sejumlah perupa. Gejala tersebut berupa kesan ilustratif-naratif, menggunakan ikon komik: teks atau bahasa verbal berupa balon kata. Ketika itu dia mempertanyakan, apakah gejala tersebut merupakan komodifikasi seni komik yang memasuki dunia fine art atau high art. Komik memang lebih dekat pada budaya pop.
 
Namun, demarkasi seperti itu agaknya kehilangan konteks ketika kita menyaksikan pameran The Comical Brothers. Sekalipun, yang berlangsung bukanlah penyangkalan terhadap awal keberangkatan komik. Kita masih mendapatkan konfirmasi dari karya-karya Arie Dyanto, Susilo Budi Purwanto, dan Fransisco Panca Nugraha.
 
Untuk karya yang merefleksikan otoritas kekuasaan, ada Saijah dan Kerbaunya dari Ismail Sukribo. Karya itu merupakan adopsi esai Sindhunata tentang bagaimana SBY sedemikian reaktif terhadap keikutsertaan kerbau dalam sebuah demonstrasi. Begitu pula Bunga Telikung dan The Sentorian Voice karya Popo Tri Wahyudi, Sejarah Pipi Menjadi Leher (Sri Maryanto), Roots Radical (Athonk), serta Super Ndobos (Surya Wirawan). Juga gaya representasi komik ’70-an punya Ugo Untoro. Intinya, The Comical Brothers hadir dengan estetika komik yang cukup variatif.

*) Kurator seni rupa, tinggal di Jogja. http://sastra-indonesia.com/2010/04/estetika-para-perupa-komik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi