jawapos.com
Pada 22-30 Maret lalu, bertempat di Galeri Nasional, Jakarta, Andi’s Gallery menjadi tuan rumah pameran bertajuk The Comical Brothers. Sebanyak 22 perupa -seharusnya 25, tetapi Samuel Indratma, Ahmad Thoriq, dan Decky Leos berhalangan- dikuratori Bambang “Toko” Witjaksono dan Grace Samboh memajang aneka rupa karya komikal. Antusiasme pengunjung, umumnya anak-anak muda, tampak saat pembukaan pameran itu.
Antusiasme tersebut seakan-akan mendeklarasikan sebuah fakta yang berlangsung: Ini memang era komik. Komik kita, sejak kehadirannya yang cukup marak terutama pada ’60-an dan ’70-an (vakum pada ’80-an, kala komik-komik Jepang mulai menggejala), sebenarnya merupakan ikon subversif dalam khazanah pedagogis kita.
Subversif bukan karena menawarkan hal lain yang substantif. Justru komik jatuh pada stereotip: dangkal. Kedangkalan komik ketika itu dihadapkan dengan bacaan fiksi tidak (minim) bergambar (sastra). Selain itu, visualisasi dinilai menyandera imajinasi, bahkan bersifat reduktif. Padahal, fungsi karya fiksi adalah merangsang imajinasi. Begitulah sikap kita menghadapi budaya baru yang selalu terulang, termasuk menyikapi televisi, PlayStation, dan game lain.
Bisa dikatakan, sekalipun tidak ada kesepakatan formal, semua orang tua ekstraketat membatasi anak-anak mereka agar tidak teracuni komik. Ketika itu memang tidak terbantahkan, komik adalah “zat adiktif lain” yang jadi musuh bersama para pendidik dan orang tua.
Tetapi, dalam lapangan seni rupa bukan sifat subversif tersebut yang membuat komik bagai berjalan tertatih-tatih. Komik sebagai bahasa visual (yang naratif dan verbal) tidak mudah menaklukkan bahasa seni rupa yang mapan: bahwa bentuk visual memuat hal-hal reflektif. Visualisasi komik atau komik sebagai pokok perupaan menjadi keniscayaan saat ini, setidaknya akibat beberapa faktor yang saling berkaitan.
Salah satunya, kita tidak lagi hidup pada masa ketika hal-hal reflektif menjadi bagian penting tolok ukur atas banyak persoalan, termasuk estetika. Bukan berarti yang terjadi negasinya, melainkan semata-mata kita terkesima akan hal-hal yang semuanya instan.
Tentu tidak sepenuhnya bisa dibuat simplifikasi demikian. Mungkin lebih netral kalau dikatakan, dalam banyak hal kini pilihan semakin variatif. Selain itu, yang terpenting, mereka yang menetapkan pilihan tidak merasa inferior sedikit pun terhadap label yang disematkan: instan, periferi, bahkan artifisial. Pilihan yang variatif menyiratkan varian-varian yang senantiasa bertarung: untuk hadir mengada atau lenyap seketika.
Selain itu, faktor yang tidak bisa diabaikan, komik setidaknya merupakan representasi sebagian penikmat seni rupa saat ini. Misalnya, anak-anak muda yang antusias pada pembukaan pameran tersebut tentu berupaya pula “menemukan diri masing-masing” ketika divisualisasikan The Comical Brothers.
Asal tahu saja, kecenderungan yang berlangsung, sebenarnya hal-hal reflektif tidak dengan sendirinya dibatasi secara tegas dengan hal-hal yang semuanya instan. Bukankah belakangan ini kombinasi atas beberapa kemungkinan yang semula kita anggap muskil tidak melulu bersifat imajiner? Kita bisa ketat terhadap sesuatu yang fundamental sekaligus tidak sungkan-sungkan kecanduan sesuatu yang instan pada saat bersamaan.
Begitu pula proses adopsi komik yang dulu subversif dan jatuh pada stereotip mengganggu anak didik kita. Saat ini justru banyak buku acuan yang serius agar relatif mudah diinternalisasi (punya daya pikat) dan komik menjadi alat visualisasi yang sangat membantu. Sebaliknya, komik yang kita gambarkan sebagaimana tidak menggubris hal-hal reflektif tidak lagi dapat dibenarkan.
Kelompok Taring Padi, misalnya, yang dimotori perupa Yustoni Volunteero, seperti digambarkan dalam buku Heidi Arbuckle (2010) sebagai contoh kontemporer praktik budaya radikal dalam sejarah besar politik kebudayaan di Indonesia. Menurut dia, Taring Padi yang muncul hanya beberapa bulan setelah huru-hara rakyat pada Mei 1998 itu turut menjatuhkan rezim militer Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Komik -sekalipun bukan pilihan utama Taring Padi- menjadi alat agitasi dan propaganda politik (yang masuk ke dalam kategori hal-hal reflektif).
Bambang mencatat, fenomena komik mulai tumbuh lagi pada era ’90-an, ditandai dengan munculnya komik indie di Jogja, Bandung juga. Misalnya, Athonk Sapto Rahardjo memelopori pure black comic (1994). Lalu, ada Apotik Komik yang merupakan jelmaan Core Comic (Samuel Indratma, Arie Dyanto, Bambang, dan Popok Triwahyudi). Pada 2000-an, motornya, Eko Nugroho dengan Daging Tumbuh-nya, menjadi acuan kelompok-kelompok komik yang masih bertahan hingga sekarang, seperti Mulya Karya (Yudha Sandy, Daniel Cahya Krisna, dan Panca Nugraha Wirawan).
Yang saya definisikan sebagai hal-hal yang semuanya instan itu dirasakan oleh perupa komik Nano Warsono. Pada 2000 dia mengkritisi gejala komikal pada sejumlah perupa. Gejala tersebut berupa kesan ilustratif-naratif, menggunakan ikon komik: teks atau bahasa verbal berupa balon kata. Ketika itu dia mempertanyakan, apakah gejala tersebut merupakan komodifikasi seni komik yang memasuki dunia fine art atau high art. Komik memang lebih dekat pada budaya pop.
Namun, demarkasi seperti itu agaknya kehilangan konteks ketika kita menyaksikan pameran The Comical Brothers. Sekalipun, yang berlangsung bukanlah penyangkalan terhadap awal keberangkatan komik. Kita masih mendapatkan konfirmasi dari karya-karya Arie Dyanto, Susilo Budi Purwanto, dan Fransisco Panca Nugraha.
Untuk karya yang merefleksikan otoritas kekuasaan, ada Saijah dan Kerbaunya dari Ismail Sukribo. Karya itu merupakan adopsi esai Sindhunata tentang bagaimana SBY sedemikian reaktif terhadap keikutsertaan kerbau dalam sebuah demonstrasi. Begitu pula Bunga Telikung dan The Sentorian Voice karya Popo Tri Wahyudi, Sejarah Pipi Menjadi Leher (Sri Maryanto), Roots Radical (Athonk), serta Super Ndobos (Surya Wirawan). Juga gaya representasi komik ’70-an punya Ugo Untoro. Intinya, The Comical Brothers hadir dengan estetika komik yang cukup variatif.
*) Kurator seni rupa, tinggal di Jogja. http://sastra-indonesia.com/2010/04/estetika-para-perupa-komik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar