Kamis, 21 Januari 2021

Mencari Jejak Kreativitas

Beni Setia *
lampungpost.com
 
Bagi beberapa pihak—mengandaikan Roland Berthes: yang menyubordinasikan pengarang agar teks yang ditulisnya dominan—, keotonoman cerpen itu tetap tergantung dari apa ide determinan pra-cipta si pengarang. Sebab, meskipun setiap apresiator mana pun bebas melakukan semua jurus penafsiran, selama teks memungkinkannya, tapi tak boleh melupakan: apa sebenarnya ide penulisan atau ideal konsep si kreator tentang cerpen—terutama yang akan mewadahi apa yang diinginkan hadir dalam cerpen yang ditulisnya.
 
SAYA pikir gagasan itu berangkat dari fenomena terlalu banyak resepsi dari banyak orang saat proses apresiasi teks, terlalu banyak tafsir bebas yang dilakukan banyak orang, sekaligus terlalu mudah melakukan penafsiran bebas dengan mengandaikan mitos Berthesian, pengarang sudah mati. Padahal bagi beberapa orang, cerpen itu hadir karena si pengarang berusaha secara kreatif untuk menghidupkan sebuah cerpen, karena itu apa pesan, makna, keindahan, atau apa pun aspek yang terkandung di dalam cerpen itu sangat tergantung dari apa anggapan pracipta dari kreatornya.
 
Kreator cerpen tak boleh mati. Kreator cerpen boleh disisihkan demi ada kebebasan apresiasi sesuatu tuntutan pemaknaan, demi potensi kemungkinan dalam teks bisa tergali dan tertafsirkan sesuai kodratnya yang multitafsir. Memang! Tapi kita tak boleh sengaja melupakan apa konstruksi awal si cerpenis tentang wujud cerpen yang dicita-citakannya. Dengan bahasa yang lebih (resepsi) Jaussian, apa bisa ada ditemukan kehadiran tersurat prediktif dari norma cerpen baru yang individualistik khas pengarang. Sebuah ikon jarak estetik dari cakrawala harapan pembaca cerpen terlatih yang membaca semua teks cerpen di khazanah cerpen Indonesia—karenanya diketahui oleh si pembaca berpengalaman yang mengapresiasi khazanah bacaan yang sama.
 
Tidak heran kalau pihak yang rajin menginventarisasi termin "cerpen" dan identitas idealisasi "cerpenku" dari banyak pengarang dunia, bahkan dengan sigap sangat mampu menunjukkan tragedi intelektual dari si cerpenis yang menulis tanpa konsep. Edgar Allan Poe yang teks cerpennya lebih dominan dari ide tentang konsep cerpen dan identitas ideal cerpenku menurut analilis Edgar Allan Poe. Sejajar dengan idealisasi tentang bagaimana seharusnya cerpen Indonesia ditulis menurut Suman H.S., Iwan Simatupang, Budi Darma, Putu Wijaya, dan Seno Gumira Ajidarma. Bahkan setelah manifesto Seno Gujira Ajidarma—
 
tentang "sastra tampil setelah berita lumpuh"—tidak ada lagi cerpen yang ditulis dengan rujukan mengingkari cakrawala harapan pembaca cerpen Indonesia dengan menciptakan jarak estetik pribadi yang teliti tersurat.
***
 
APA semua teks sastra itu harus bermula dari ide orsinil, alternatif bagi semua teks yang telah jadi kekayaan khazanah sastra Indonesia serta yang diakui oleh banyak pihak? Sebuah terobosan yang dipersiapkan dan bukan sekadar variasi dekoratif dari apa yang telah ada—dan sering telah dirumuskan atau terbukti pada cerpen atau novel sastra dunia? Sebuah harapan agar sastrawan Indonesia mutakhir itu berlaku intelektualistik. Seperti Sutardji Calzoum Bachri yang menulis kredo puisi sebelum menulis puisi mantra yang bersipat alternatif itu. Atau seorang Budi Darma yang menerangkan semua asal-usul dari cerita yang ditulisnya, cq Olenka—yang bahkan dilengkapi dengan catatan kaki yang mengukuhkan ini datang dari mana dan itu merujuk pada apa.
 
Kondisi yang membuat Jakob Sumarjo, cq Olenka, beranggapan, kalau Budi Darma sedang menulis skripsi dan bukan sekadar novel. Sinisme pada prakondisi penulisan dan pentersuratan rumusan "cerpenku" atau "novelku" lebih dulu sebelum menulis teks—tapi bukan model Andrea Hirata yang dengan tegas ada menerakan "sejarah hidupku" sebelum laju menulis serial novel Laskar Pelangi. Atau Martin Aleida yang punya trauma politik lebih dahulu, yang berbeda dari Pramudya Ananta Toer yang punya asumsi idelogi politik sebelum menulis novel-novelnya. Sebuah tuntutan intelektualistik yang akan merepotkan banyak sastrawan, yang terkadang cuma instinktif menulis karena mendapat ilham sekilas di sekitar atau karena mendapatkan ilham setelah terpukau sebuah teks sastra.
 
Meskipun kita bisa memahami kerisauan mereka, karena sangat banyak proses apresiasi dengan rujukan resepsi yang si reseptornya tidak mampu membebaskan diri dari asumsi pembacaan tertentu—baik berupa teori sastra atau hanya nilai subjektif tertentu. Sehingga tidak pernah terjadi sebuah apresiasi murni, saat teks tak terlalu dibebani asumsi dasar si kreator bertemu dengan apresiator yang tak menggendong kredo atau memakai kaca mata referensial tertentu bersua. Bersinergi dalam diskursus tanpa prasangka. Amat banyaknya komparasi yang menyebabkan teks sastra ini kurang menggigit dibanding teks sastra itu—yang menjadi patokan si apresiator—, yang menyebabkan teks sastra Indonesia terkini tampak tak intelektual karena sastarawan Indonesia tak mengumumkan konsep identitas idealitik tentang ”eseiku’’, ”puisiku”, dan "cerpenku".
***
 
SOAL ketiadaannya pernyataan tentang "eseiku", "puisiku" dan "cerpenku" sebelum ada menulis sebuah esei, puisi atau cerpen autentik yang memang orsinil: itu sebenarnya simplikasi yang tergesa. Karena dinyatakan ataupun tidak-dinyatakan lebih dulu—gagasan tentang "eseiku", "puisiku", dan "cerpenku" , yang menunjukkan mampu membuat jarak estetik dari cakrawala harapan dari semua esei, puisi, dan cerpen yang bisa diketemukan dari pembacaan pada khazanah sastra (Indonesia)—, hal itu tak jadi sebuah acuan menulis. Karena ide pracipta (sesungguhnya) merupakan ufuk teks ideal ke mana dorongan untuk menulis mengarahkan kreativitas, bakat, pengetahuan, ilham dan lain-lain, dan jejak dari kesilainan itu bisa ditelusuri dan bahkan harus mampu ditelusuri kritikus—yang tugasnya memang begitu.
 
Karena (lepas dari) besar atau kecil dari keberadaann ide pracipta dan jejak kreatif itu: penentangan pada teks yang ada, penguatan pada teks yang ada dengan olah variatif subjektif tertentu, atau cuma satu kemurnian lugu yang tidak terkait dengan asumsi dan rujukan teks apa pun pasti ada. Selalu ada! Meskipun hanya bisa diketemukan kalau berani melakukan pembacaan murni dalam metoda fenomonologik tanpa dibebani apa yang seharusnya ada dalam teks sastra itu, seperti yang dimanifestasikan si kreator dalam esei khusus, dan apa yang sebaiknya ada menurut asumsi si apresiator. Sehingga kemurnian hati akan bersisua dan berdialog dengan kemurnian hati lagi. Hal itu yang (mungkin) selama ini diteriakkan kelompok penentang estetika TUK, yang dianggap terlalu dominan dan (malah) dijadikan acauan prestisius sastra Indonesia terkini.
 
Di titik ini, bagi saya: ide intelektualistik yang jadi rujukan (nilai) tunggal itu yang perlu dirisaukan. Dan menanyakan apa punya ide pracipta dan konsep identitas idealistik sebuah teks sastra menjadi terasa vital. Meskipun itu jadi merepotkan karena apresiator, dan terutama kritikus dan redaktur sastra harus melakukan satu pembacaan kasus per kasus. Sungguh!
***

*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi