lampungpost.com
Bagi beberapa pihak—mengandaikan Roland Berthes: yang menyubordinasikan pengarang agar teks yang ditulisnya dominan—, keotonoman cerpen itu tetap tergantung dari apa ide determinan pra-cipta si pengarang. Sebab, meskipun setiap apresiator mana pun bebas melakukan semua jurus penafsiran, selama teks memungkinkannya, tapi tak boleh melupakan: apa sebenarnya ide penulisan atau ideal konsep si kreator tentang cerpen—terutama yang akan mewadahi apa yang diinginkan hadir dalam cerpen yang ditulisnya.
SAYA pikir gagasan itu berangkat dari fenomena terlalu banyak resepsi dari banyak orang saat proses apresiasi teks, terlalu banyak tafsir bebas yang dilakukan banyak orang, sekaligus terlalu mudah melakukan penafsiran bebas dengan mengandaikan mitos Berthesian, pengarang sudah mati. Padahal bagi beberapa orang, cerpen itu hadir karena si pengarang berusaha secara kreatif untuk menghidupkan sebuah cerpen, karena itu apa pesan, makna, keindahan, atau apa pun aspek yang terkandung di dalam cerpen itu sangat tergantung dari apa anggapan pracipta dari kreatornya.
Kreator cerpen tak boleh mati. Kreator cerpen boleh disisihkan demi ada kebebasan apresiasi sesuatu tuntutan pemaknaan, demi potensi kemungkinan dalam teks bisa tergali dan tertafsirkan sesuai kodratnya yang multitafsir. Memang! Tapi kita tak boleh sengaja melupakan apa konstruksi awal si cerpenis tentang wujud cerpen yang dicita-citakannya. Dengan bahasa yang lebih (resepsi) Jaussian, apa bisa ada ditemukan kehadiran tersurat prediktif dari norma cerpen baru yang individualistik khas pengarang. Sebuah ikon jarak estetik dari cakrawala harapan pembaca cerpen terlatih yang membaca semua teks cerpen di khazanah cerpen Indonesia—karenanya diketahui oleh si pembaca berpengalaman yang mengapresiasi khazanah bacaan yang sama.
Tidak heran kalau pihak yang rajin menginventarisasi termin "cerpen" dan identitas idealisasi "cerpenku" dari banyak pengarang dunia, bahkan dengan sigap sangat mampu menunjukkan tragedi intelektual dari si cerpenis yang menulis tanpa konsep. Edgar Allan Poe yang teks cerpennya lebih dominan dari ide tentang konsep cerpen dan identitas ideal cerpenku menurut analilis Edgar Allan Poe. Sejajar dengan idealisasi tentang bagaimana seharusnya cerpen Indonesia ditulis menurut Suman H.S., Iwan Simatupang, Budi Darma, Putu Wijaya, dan Seno Gumira Ajidarma. Bahkan setelah manifesto Seno Gujira Ajidarma—
tentang "sastra tampil setelah berita lumpuh"—tidak ada lagi cerpen yang ditulis dengan rujukan mengingkari cakrawala harapan pembaca cerpen Indonesia dengan menciptakan jarak estetik pribadi yang teliti tersurat.
***
APA semua teks sastra itu harus bermula dari ide orsinil, alternatif bagi semua teks yang telah jadi kekayaan khazanah sastra Indonesia serta yang diakui oleh banyak pihak? Sebuah terobosan yang dipersiapkan dan bukan sekadar variasi dekoratif dari apa yang telah ada—dan sering telah dirumuskan atau terbukti pada cerpen atau novel sastra dunia? Sebuah harapan agar sastrawan Indonesia mutakhir itu berlaku intelektualistik. Seperti Sutardji Calzoum Bachri yang menulis kredo puisi sebelum menulis puisi mantra yang bersipat alternatif itu. Atau seorang Budi Darma yang menerangkan semua asal-usul dari cerita yang ditulisnya, cq Olenka—yang bahkan dilengkapi dengan catatan kaki yang mengukuhkan ini datang dari mana dan itu merujuk pada apa.
Kondisi yang membuat Jakob Sumarjo, cq Olenka, beranggapan, kalau Budi Darma sedang menulis skripsi dan bukan sekadar novel. Sinisme pada prakondisi penulisan dan pentersuratan rumusan "cerpenku" atau "novelku" lebih dulu sebelum menulis teks—tapi bukan model Andrea Hirata yang dengan tegas ada menerakan "sejarah hidupku" sebelum laju menulis serial novel Laskar Pelangi. Atau Martin Aleida yang punya trauma politik lebih dahulu, yang berbeda dari Pramudya Ananta Toer yang punya asumsi idelogi politik sebelum menulis novel-novelnya. Sebuah tuntutan intelektualistik yang akan merepotkan banyak sastrawan, yang terkadang cuma instinktif menulis karena mendapat ilham sekilas di sekitar atau karena mendapatkan ilham setelah terpukau sebuah teks sastra.
Meskipun kita bisa memahami kerisauan mereka, karena sangat banyak proses apresiasi dengan rujukan resepsi yang si reseptornya tidak mampu membebaskan diri dari asumsi pembacaan tertentu—baik berupa teori sastra atau hanya nilai subjektif tertentu. Sehingga tidak pernah terjadi sebuah apresiasi murni, saat teks tak terlalu dibebani asumsi dasar si kreator bertemu dengan apresiator yang tak menggendong kredo atau memakai kaca mata referensial tertentu bersua. Bersinergi dalam diskursus tanpa prasangka. Amat banyaknya komparasi yang menyebabkan teks sastra ini kurang menggigit dibanding teks sastra itu—yang menjadi patokan si apresiator—, yang menyebabkan teks sastra Indonesia terkini tampak tak intelektual karena sastarawan Indonesia tak mengumumkan konsep identitas idealitik tentang ”eseiku’’, ”puisiku”, dan "cerpenku".
***
SOAL ketiadaannya pernyataan tentang "eseiku", "puisiku" dan "cerpenku" sebelum ada menulis sebuah esei, puisi atau cerpen autentik yang memang orsinil: itu sebenarnya simplikasi yang tergesa. Karena dinyatakan ataupun tidak-dinyatakan lebih dulu—gagasan tentang "eseiku", "puisiku", dan "cerpenku" , yang menunjukkan mampu membuat jarak estetik dari cakrawala harapan dari semua esei, puisi, dan cerpen yang bisa diketemukan dari pembacaan pada khazanah sastra (Indonesia)—, hal itu tak jadi sebuah acuan menulis. Karena ide pracipta (sesungguhnya) merupakan ufuk teks ideal ke mana dorongan untuk menulis mengarahkan kreativitas, bakat, pengetahuan, ilham dan lain-lain, dan jejak dari kesilainan itu bisa ditelusuri dan bahkan harus mampu ditelusuri kritikus—yang tugasnya memang begitu.
Karena (lepas dari) besar atau kecil dari keberadaann ide pracipta dan jejak kreatif itu: penentangan pada teks yang ada, penguatan pada teks yang ada dengan olah variatif subjektif tertentu, atau cuma satu kemurnian lugu yang tidak terkait dengan asumsi dan rujukan teks apa pun pasti ada. Selalu ada! Meskipun hanya bisa diketemukan kalau berani melakukan pembacaan murni dalam metoda fenomonologik tanpa dibebani apa yang seharusnya ada dalam teks sastra itu, seperti yang dimanifestasikan si kreator dalam esei khusus, dan apa yang sebaiknya ada menurut asumsi si apresiator. Sehingga kemurnian hati akan bersisua dan berdialog dengan kemurnian hati lagi. Hal itu yang (mungkin) selama ini diteriakkan kelompok penentang estetika TUK, yang dianggap terlalu dominan dan (malah) dijadikan acauan prestisius sastra Indonesia terkini.
Di titik ini, bagi saya: ide intelektualistik yang jadi rujukan (nilai) tunggal itu yang perlu dirisaukan. Dan menanyakan apa punya ide pracipta dan konsep identitas idealistik sebuah teks sastra menjadi terasa vital. Meskipun itu jadi merepotkan karena apresiator, dan terutama kritikus dan redaktur sastra harus melakukan satu pembacaan kasus per kasus. Sungguh!
***
*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar