Selasa, 28 April 2020

TANETE, Garis-Ruang Tanah Gunung untuk COVID-19

Postingan Pameran Lukisan untuk Menggalang Dana Amal
A. Anzieb *

[Postingan sembilan lukisan Abdul Kirno Tanda di bawah ini sebagai ajang pameran dalam pencarian dana, yang nantinya sebagian dipersembahkan pada Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Yogyakarta, untuk berbagi amal atas musim yang berat melandanya wabah corona].
***

Apakah yang dikatakan karya hanya sebatas ekskusi imaji di atas kanvas? Tidak! Bukankah hal diluar kanvas juga karya, perjalanan menuju kanvas, patung, instalasi, puisi, cerpen atau apapun -- ekskusi ke kanvas dari sketsa atau dari imaji perlu menjaga emosi, ritme, spiritual dan laku hidup. Sebab itu, memelihara ritme, merawat emosi, menjaga jiwa dan seterusnya di luar seorang perupa berhadapan dengan kanvasnya adalah bagian dari sebuah karya.

Pemahaman seperti ini sering saya kemukakan kepada teman-teman perupa, termasuk kepada Abdul Kirno Tanda karena hal yang demikian sekaligus berguna untuk mengasah imajinasi agar motivasi dari garis dan ruang dalam karya-karyanya tidak “liar”, tidak seperti kehilangan ungkapan. Bahwa, setiap proses penciptaan tanpa ingin mengasah imajinasi dan motif (hati, jiwa), dan, lalu tanpa mencari dialektika lewat agama, falsafah dan ilmu-ilmu lainnya akan terasa sulit dalam berkarya – seperti seorang turis kesasar di tengah ladang savana yang harus selalu bertanya tapi tidak tahu bertanya pada siapa.

Setelah melewati jalan proses penciptaan yang berliku, perlahan, sabar dan dalam, Kirno mulai bisa merasakan atmosfir ruang, waktu dan tempat. Emosinya yang selama ini sering meledak-ledak, kadang keras, kadang lembut, kadang menjadi peragu yang paling ulung mulai teredam di antara kata, sikap dan perbuatannya lewat garis-garisnya, ruang, warna, komposisi, teksture dan lain-lain – membuat karya lukisannya seperti memasuki ruang puitis.

Hampir seluruh karya Kirno berupa gambaran alam, gunung, hutan, sungai, dan seterusnya adalah gambaran alam di kampung halamannya yang disematkan lewat garis-garis, ruang serta warna yang relatif abstrak. Gambaran ini seperti mengingatkan Kirno yang rindu tanah kelahirannya, kelapa, sapi, hutan, batang kayu, gunung yang selama ini bersinergi dengan masyarakat sekitarnya. Namun, sebagian orang di kampungnya sudah mulai merasa lelah merawatnya, bahkan penuh rasa gembira menyerahkan tanah-tanahnya ditanami sawit, mengahabiskan air, mengusir angin, menjadi panas dan kering – barangkali karena sering berangan-angan akan kehidupan yang lebih baik, banyak uang, rumah megah dan naik mobil mewah.

Malam itu, ketika langit sedang kuat-kuatnya menahan awan mendung, Kirno mendatangi rumah saya sambil membawa setumpuk lukisan berbagai ukuran. Bukan hal yang aneh, kebiasaan ini sering ia lakukan manakala habis merampungkan beberapa lukisan untuk didiskusikan bersama. Bahkan, tidak seperti kebiasaan yang sudah-sudah, setelah setumpuk lukisan diturunkan dari sepeda motor yang terikat tali ala kadarnya, ada kepercayaan diri yang begitu kuat sambil menjajar satu-persatu lukisannya memenuhi dinding teras yang luasnya tak seberapa dan halaman rumah.

Di sela tarikan nafasnya yang masih terengah-engah, saya mendapati salah satu lukisan yang nampak lain darpada yang lain. Lukisan landscape berwarna biru, seperti birunya langit sehabis turun hujan. Dalam lukisan itu, pada bagian belakang tampak sekelebat garis membentuk dataran tinggi yang sudah gundul, seperti bukit-bukit atau tanah gunung. Di bagian depan, ada beberapa garis tegas yang turun dari arah langit masuk ke dalam perut bumi yang sudah mulai mengosong. Barangkali, beberapa garis yang turun berjajar ada yang tinggi dan rendah jika dilihat memakai mata telanjang serupa batang-batang pohon yang sudah mengering, tapi – alam bawah sadar saya seperti menemukan garis dan ruang yang berbeda, yakni sebuah lafal kalau susunan hurufnya dibaca dari arah kanan ke kiri adalah “ha, lam, lam, alif.” Pantas saja Kirno penuh percaya diri, batin saya.

Setelah cukup lama memandangi lukisan di atas, mata saya mulai beranjak menuju lukisan lain. Diantara lukisan-lukisan yang berjajar, pandangan saya kembali berhenti pada salah satu gambar yang bersandar di bagian paling selatan menghadap arah utara. Seketika saya melempar pertanyaan, “ini apa?”. “Tanete, rumah di kampung ibu saya. Di gunung”, jawab Kirno singkat.

Di dalam lukisan itu, memang nampak guratan-guratan garis berwarna coklat dan hitam menyerupai kukusan adalah bangunan rumah di gunung yang terbuat dari rumput alang-alang, menyatu dengan alam; antara tanah, dinding, atap dan langit-langit. Di bagian depan kelihatan ada lubang sebagai jalan masuk menuju ke ruang bagian dalam – seperti terowongan, celetuk Rajendra (anak saya) dengan sangat polosnya. Objek itu memang mirip dengan gambaran selongsong rahim seorang ibu, “rumah” kita semua bermula sebelum dilahirkan ke tanah/bumi.

“Tanete” sendiri bukan berarti rumah, bukan juga berarti gunung, tapi bagi orang-orang di kampung ibunya Kirno, jika mereka menyebut “to tanete” adalah “orang gunung” atau “dai tanete” sama artinya “naik ke gunung”. Demikian halnya, orang-orang yang tinggal di daratan (desa dan perkotaan di daratan pulau Sulawesi) menyematkan kata “Tanete” untuk menyebut nama perkampungannya hampir dipastikan mereka berasal dari “gunung”.

Lalu, apa sesungguhnya “Tanete” itu sendiri? Bukan rumah, bukan gunung, bukan juga nama kampung ibunya Kirno berasal? Sudahlah! Rasanya akan semakin pelik jika kita sibuk mencari-cari arti harafiahnya. Tapi, “Tanete” dan seluruh lukisan Kirno yang berkelindan lewat garis, ruang, tanah, gunung, dan kampung kelahiran ibunya bisa kita maknai simbolnya sebagai asal-usul, tempat Kirno berasal serta berangkat menuju kehidupan yang membentang di hadapannya. Kehidupan yang lebar dan dalam, kehidupan yang memerlukan pijakan pada kekuatan hati dan nurani.

gunungtirto, 11 februari 2019
*) A. Anzieb/kurator

(Cerita To Tanete,150 x 120, 2019, Rp. 5.000.000,-)

(hou-hou ribulu, 80 x 90, 2019, Rp. 3.000.000,-)

(Burung Berkabar, 60 x 80, 2017, Rp. 3.000.000,-)

(Jurang, 120 x 145, 2019, Rp. 7.000.000,-)

(Paraqdang, 65 x 85, 2019, Rp. 2.000.000,-)

(Hujan, 150 x 120, 2018, Rp. 7.000.000,-)

(To Tanete 145 x 145, 2019, Rp. 7.000.000,-)

(Gunung di Tanah Kaili, 23 x 15, 2019, Rp. 1.000.000,-)

(Loppo, 20 x 15, 2019, 1.000.000,-)

Semua lukisan-lukisan di atas gratis ongkos kirim, dan 7 buku "Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia" pun untuk Lesbumi Yogyakarta:

(1 eksemplar buku: Rp. 100.000,- Gratis Ongkir Pulau Jawa).

No Kontak untuk Lukisan: 085 326 725 968
No Kontak untuk Buku: 081 331 778 191
http://sastra-indonesia.com/2020/04/tanete-garis-ruang-tanah-gunung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi