: Orang diluar sastra
melukis Sang Burung Merak
Nurel Javissyarqi **
I
Sebagai awal kata,
marilah baca (mengingat, melafalkan, melantunkan, menghafalkan, bisa melalui
bibir pun dalam hati) Surah al-Fatihah (Ummul Qur’an) teruntuk almarhum W.S.
Rendra... Dan sambil menantikan kiriman buku dari Gugun el Guyanie mengenai Rendra
(Sang Burung Merak) yang ditulis M. Muhibbuddin (Muhib), saya mulai catatan
ini. Yang berarti menunda merampungkan tulisan belum tuntas, juga yang sudah
terbayang-bayang, namun belum ju(g)a terlaksanakan.
Muhib, salah satu
‘pasukan’ Kutub yang masih setia menulis, berkarya lewat tulisan di antara
menghirupi nafas dalam keterbatasan hayatnya. Kutub atau Pondok Pesantren (PP)
Hasyim Asy’ari Yogyakarta, didirikan almarhum K.H. Zainal Arifin Thoha (ZAT).
Santri-santrinya hampir semua sukses di bidang masing-masing, ada yang jadi
pakar Hukum Tata Negara sekaligus dosen UIN SuKa seperti el-Guyanie, Lukman
Santoso Az, dosen IAIN Ponorogo, yang terus khidmat berkarya menerbitkan buku.
Saya sematkan istilah pasukan, lantaran para santri Kutub dari dulu hingga
kini, nama-namanya merajai media massa; koran, online, buku, majalah. Keberangkatan
awalnya ke media demi mengganjal perut pengisi lapar, dan segala pengetahuan
mampu dituliskannya, sampai-sampai mereka jua menulis penyambutan Hari Raya
Natal, Hari Raya Nyepi misalnya, dengan plakat pengamat budaya, politik, dsb.
Dari sini saya menetapkan kepercayaan makolah ini, “Ilmu hanya bisa diraih dengan
keterbatasan dan berpayah-payah.”
Sudah banyak buku-buku ditulis
Muhib, sekadar menyebut beberapa judul; Sejarah dan Kisah Para Pemberontak di
Kerajaan Jawa, Manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani, Konflik dan Taktik Perang
Jawa 1825-1830, Surat-surat Einstein yang Mengubah Dunia, Sejarah Kelam Jawa
Sunda, Kisah-kisah Keajaiban Syekh Abdul Qadir Jaelani, Kitab Cinta Ulama
Klasik Dunia, Membaca Pikiran Setan, Pramoedya Ananta Toer, Adolf Hitler,
Jenghis Khan, Bung Hatta, RMP Sosrokartono, dll. Para pembaca tentu tidak
menyangkan, hasil-hasil karya tersebut terlahir dari kamar sempit 2 x 1.5 meter,
yang dipenuhi kitab-kitab, alas tidur, dan laptop. Ini mengingatkan sosok
sastrawan Iman Budhi Santosa sebelum tahun 2000, dengan mesin ketik manualnya.
Gugun di grup whatsapp Kutub menuturkan; “Penulis
buku Rendra ini orangnya asketis, tinggal di kost kumuh di depan Pesantren
Krapyak. Sekitar setahun lalu, tepatnya malam Jumat Kliwon, dia menghadiri
acara tahlilan untuk almarhum WS Rendra. Sepulang dari tahlilan, Muhib bermimpi
disalami Rendra, sembari menyapa: salamun qoulan min robbirrohim. Dari mimpi
itulah, kawan kita Muhib berijtihad menulis tentang WS Rendra.”
Sepertinya, tanah santren
telah mendarah daging dengannya, atau daya suci Krapyak sudah diserap
sedemikian rupa, dan bisa jadi malah belum pernah diundang di Pesantren Krapyak,
ataukah magnetik getar-getar rindu menggebu itu hadirkan daya-dinaya berkarya
hingga kini. Muhib, pejaka kelahiran Jepara 8 November 1986, yang dalam
biografi buku-bukunya tak sempat mencatat judul-judul buku yang sudah dilayarkannya.
Sosok pemuda yang tersirat dalam laku bisa dibilang tak jelas kesehariannya;
makan di angkringan, bertemu kawan seperjuangan (berdiskusi), balik ke kamar
membaca-menulis, dan putaran itu diulang hingga membentuk jati diri utuh
bermental tangguh yang pantas dimiliki para penulis, pencari ilmu, penggali
pengetahuan, pun tradisi tersebut masih dijalankan kaum santri Kutub hingga
generasi yang sekarang.
Lebih luas, atmosfer Yogyakarta
telah membentuk daya kreativitas kepenulisan sejak lama, jauh sebelum Umbu
Landu Paranggi dengan Persada Studi Klub (PSK) di kawasan Malioboro, kian jauh sastrawan
Rabindranath Tagore tandang ke Taman Siswa, yang didirikan Ki Hadjar Dewantara 3
Juli 1922. Seolah adanya unen-unen, “Tak ada orang terkenal di Ngayogyokarto,
sebab hampir semua yang tinggal di Yk, dengan sendirinya terkenal. Tiada orang
pintar di Jogjakarta, tersebab pada pintar di bidangnya masing-masing,”
terbukti sumber daya manusia yang menggerakkan kota. Jika hendak dipandang
cerdas, terkenal, sakti, hijrahlah... entah ke Jakarta atau kota-kota lain
sambil melihat materi itu nilai pokok kehidupan, dan memandang dunia
tulis-menulis sebagai kegiatan nun gaib atau khusus semata. Dengan pandangan
ganjil, dunia perbukuan di sana seibarat mencetak uang-uang palsu, selangkah
kertas-kertas kosong disulap menjelma buku, dan pastinya di pasaran bertarung
hebat dengan para penulis dunia (karya-karya terjemahan) juga para penulis yang
tengah menguji nyalinya.
Saya kenal Muhib sekitar
tahun 2005 di Pesantren (masih rumah kontrakan) Hasyim Asy’ari Yogya. Bisa jadi
perjumpaan awal di Jombang, ketika serombongan santri dan Kyai ZAT akan mengisi
acara sastra di Aula PP. Tambakberas, sedangkan saya berangkat dari Lamongan
sambil bawa buku-buku stensilan atas undangannya bergabung, lalu ke Santren
Langitan, Matholi’ul Anwar, kemudian PP. Sunan Drajat dalam rangka ulang tahun
PUstaka puJAngga pertama, atau pertemuan dengannya di UNIPDU, ataukah Muhib tidak
kemana-mana, tapi jaga pesantren dikala para santri lain diperjalankan kyainya.
Namun, seperti turut meramaikan kegiatan bedah buku Kajian Budaya Semi karya
saya di IAIN SuKa dengan lantunan sholawat dipimpin Gus ZAT langsung di tahun
yang sama. Muhib, termasuk santri yang mengalami periode mengayuh sepeda ontel
dari Krapyak ke kampusnya IAIN (UIN), sesekali jalan kaki. Perlu pembaca
mengerti, para santri Gus Zainal diwajibkan hidup mandiri, tidak diperkenankan
mendapat kiriman uang dari orang tua, ada yang bekerja loper koran, penjual
kacang, roti donat, jagung bakar, dll, dan kegiatan ngaji, membaca lalu menulis
di koran, tak ketinggalan.
Barisan lain pasukan Kutub
yang pantas diperhitungkan karya-karangannya, MG. Sungatno, Bernando J.
Sujibto, Muhammadun AS, dan entah siapa lagi yang lanjut kibarkan bendera.
Mereka selalu berjuang dalam pergolakan jaman, di masa pancaroba memasuki abad ke
21, selalu menguji daya kritisnya atas temuan di jalanan kembara, menghisap
seluruh kemampuan, mengeluarkan segenap hasratnya melampaui batas-batas yang
dibatasi takdirnya. Ikhtiar itu kelak menjelma penanda keadaban di sekeliling
wewarna percepatan peradaban yang kian berjubel kesilapan. Dalam keberadaan
bangsa dan negara yang dihuni para koruptor dengan leluasa, masih bermekaran kuntum-kuntum
kembang pemikiran, menguri-uri khazanah luhur para leluhur demi tegak keadilan,
tingginya panji-panji kebenaran. Dengan perut letih tak sampai kenyang, eleng lan
waspodo senantiasa dalam genggaman, dan keindahan separas daun-daun kering
menua disambut gravitasi bumi keridhoan-Nya.
***
II
Buku yang terkirim dari
Jogja sudah sampai, namun saya ingin tuntaskan napasan di atas sebelum baca
lelembarannya. Istilah Kutub melekati PP. Hasyim Asy’ari Yk, awalnya nama
sebuah penerbitan buku yang didirikan almarhum Gus Zainal. Waktu berlalu
mengalami perkembangan makna pemekaran gairah; masa selanjutnya terbentuk
kegiatan yang mengkaji ilmu pengetahuan sastra dan agama, yang dibawai Lesehan
Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY), Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY), label
“Kutub” mengingatkan istilah Wali Kutub dalam dunia sufi, barangkali sekadar
lewat serupa angin mengingat angka-angka usia, wewaktu diberikan Sang Pencipta.
Kembali ke Muhib, pengarang buku “W.S. Rendra, Cerita Kehidupan, Kisah Cinta,
dan Jalan Spiritual,” sebelum menyelami kedirian laku Rendra dari pelbagai
sumber, telah menulis tokoh-tokoh dunia, maka tatkala menyentuh kata-kata Sang
Burung Merak, dengan mudah menyusuri, atau dituntun takdirnya menemui tokoh
lain sebelum berkenalan akrab dengan penyair besar penuh cinta. Dan
perjumpaannya sangat ajaib di dalam mimpi seperti dituturkan el-Guyanie,
selayang masa tak sengaja menyentuh tali-temali senar gitar kehidupan penyair,
ketika gelombang batinnya selaras nada juang yang dikembarakan Mas Willi, atau
harum bunga abadi sastrawan telah merasuki jiwannya.
Adanya kekeliruan ketik
di buku ini namun tak sampai fatal, saya berharap cetakan berikutnya dibenahi,
kelemahan manusiawi dari penulis pun layouternya oleh silap tergesa-gesa, namun
seluruhnya elok bagi pengantar mengenal sosok kepribadian serta pergolakan
hidup Rendra, yang dituturkan meluas, lantaran daftar pustakanya memanjakan
pembaca atas buku ketebalan 208 halaman. Sekadar menyebut nama-nama yang jadi rujukan;
Sutirman Eka Ardhana, Robert Adhi KS, Taufik Ikram Jamil, Irwanto Ali, Syu’bah
Asa, Moh. Samsul Arifin, Yus Ariyanto, Rafiqa Qurrata Aryan, C.C. Berg,
Dharmadji ‘SS, Tan eL Hak, Dewa Gilang, Hendaru Tri Hanggoro, A. Murad, Harlina
Indijati, Hendri F. Isnaeni, Umar Kayam, Ignas Kleden, Maslichah, Matdon,
Goenawan Mohamad, Wahyu Dhyatmika, Ali Sachon Mujahid, Emha Ainun Nadjib, Enid
Nemy, Joko Purwadi, Aliyuna Pratisti, B. Rafell, J.J. Ras, W.S. Rendra, Ajib
Rosidi, Bakdi Soemanto, Subagyo Sastrowardoyo, Lukman Diah Sri, Soerjono
Soekanto, Susanto, Mudji Sutrisno, A. Teew, S.L. van der Wal, dll. Buku ini
juga bermanfaat menambah khazanah (sastra) pesantren, karena lakon pergulatan jiwa
Rendra diakhir hayatnya mualaf, sebagai bahan didik pemeluk ajaran Islam sejak
kelahiran, agar tidak sekadar muslim turunan, tetapi mendalami terus menapaki
jejak keyakinan yang kanan-kirinya bersimpan rayuan atas iman disebrang
keterlenaan, atau cobaan dalam memerjuangkan ketika mencari jalan keselamatan.
Kelemahan buku ini kurang
runut serta kerap pengulangan yang seyogyanya bisa dihindari, jika tidak
mempertajam makna kisah, dan data diusung hanya diterima selangkah bijak ‘biarlah
pembaca memetik sesuka hatinya,’ atau upaya penguraian informasi tak sampai
mengerucut, sehingga tidak menuju kemungkinan terdekat. Jadi, yang tampak kilasan
kabar semacam rangkuman berita sastra dan teater dari sepak terjang Rendra,
padahal dari banyaknya pekabaran bisa diolah demi mencapai ketepatan pandangan
dari kejelian atas jenaknya menyuntuki kejadian tiap peristiwa dilalui sang tokoh.
Namun pemerhati sastra patut bersyukur, masih ada penulis diluar bidang
tergerak hatinya memperkaya khazanah susastra atas diri Rendra, tidak sebatas
obrolan lekas sirna tersapu angin utara. Jejak ini patut dilanjutkan, agak dunia
susastra kian semarak, yang kini mulai melupai para pendahulu oleh sibuk perhelatan
festival yang ujungnya biasa manggung tetapi lemah karyanya, lantaran jarang
bertapa menekuri batin sastrawi. Pula ini berarti teguran bagi pelaku sastra
dan teater, bahwa yang terpenting warisan kekal adalah karya yang bisa dinikmati
dari masa ke masa demi digdayanya langgam kesusastraan tanah air dibelantika
sastra dunia, dan ini menebar benih-benih bagi generasi berikutnya.
Sejauh perjalanan buku
ini nanti, kala usia penulisnya bertumbuh, saya harap mengalami perbaikan yang
terpantul dari tambahan berita, penajaman berarti, penguraian bertumpuk makna
yang dapat menyebarkan kemungkinan lebih dari sekian jumlah indra pembaca, ibarat
dilembarnya jala lalu ditarik demi satu keutamaan menampilkan keutuhan
jiwa-raga Rendra hadir menawan. Di sini bukan bermaksud mengecilkan peran
Muhib, bisa jadi kritik terhadap diri saya sendiri yang seperti tak meluangkan
waktu belajar khusyuk keberadaan Sang Burung Merak, dan catatan ini sejenis
mengangsur bayar hutang, kalau sejarah merupakan budi yang patut dipenuhi,
meski tak bisa sepadan. Dan jika menegok jalan-jalan Muhib dalam menyusun
tulisan menjelma buku, dapat disandingkan bentakan keras tamparan sangat
terhadap mereka yang titel kesarjanaannya rangkap, namun untuk mengayunkan
jemari rasanya dihantui keraguan, atau ketakutan itu tidak dilawannya, sehingga
lama bersemayam dalam diri menimbun waktu tak beralasan menjadi tumpul yang
sanggup membutakan pandang. Sebenarnya, mereka memiliki waktu nan luas, tempat
layak, dalam meniti pelajaran meneliti buku-buku di perpustakaan, hanya saja
dibenturkan pilihan mendesak yang ujungnya kefanaan, dan yang sempat dibaca
hanya potonganan kabar yang bisa terjebak pekabaran gossip mudah tergelincir
sekaligus dapat menggelincirkan.
Hadirnya buku ini
menambah dokumentasi meluas, dan kelebihan lain penyegaran atau pembaharuan
riwayat, lalu penyebarannya memberi napas baru bagi kelanjutan tongkat estafet,
mata-mata rantai sejarah yang diungkap, di sisi mempertahankan ingatan dengan
menancapkan batu-batu penanda jaman, dan kedudukan karya-karya Rendra sangat
pantas juga ditulis orang diluar sastra. Muhib sudah menulis Pramoedya Ananta
Toer, maka layaklah dicacat ulang sosok Mohammad Yamin, Mochtar Lubis, dst.
Kalau bisa hindari Chairil Anwar yang sudah banyak menuliskannya tapi
hiperbolis, jika menengok perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia yang
ditumpangi kritikus sastra demi menampilkan penyadur jalang tersebut. Membaca
sejarah secara luas dalam kurun tempo yang diteliti atau mendalami kisaran
sekeliling obyek penelitian dengan mencari sumber ketiga di luarnya juga patut
dilibatkan untuk mencapai puncak obyektivitas pandangan. Sumber data keempat
pun pantas dikemukakan, merujuk buku-buku babon sastra, dunia teater, serta
sejarah tempat-tempat pernah disinggahi sang tokoh, Amerika misalnya disaat
menyuguhkan Rendra. Tentu tak boleh terlewat menggali sumber mata air kedua, orang-orang
pengabarkannya, dan sumber pertama yaitu ungkapan pula pendapat sang tokoh
beserta karyanya. Yang dari sumber pusatlah, bisa pahami dengan mendalami
kekaryaannya, hingga dapat dimengerti darimana daya kreativitasnya diusung sampai
punya napas panjang berkarya. Contoh kala Rendra menghirup udara Yogyakarta,
apa saja yang diselami; membaca tradisi muter (mubeng) Benteng Keraton dengan
jalan kaki mulut terdiam bungkam, filosofi garis lurus Gunung Merapi, Keraton
menuju Pantai Parangtritis, lantas temukan ide Perkemahan Kaum Urakan, atau
bagaimana dirinya menyetubuhi ruang Ngayogyokarto yang sebelumnya senggamai hawa
penciptaan di Surakarta, sehingga sanggup berkarya dengan corak berbeda daripara
sastrawan sebelum-sesudahnya, atau pencapaiannya menjadi puncak tersendiri
dalam kekaryaan teater dan sastra di Indonesia.
Kritik terhadap buku ini,
lantaran penyajiannya kurang runut, jadi data-data dimunculkan malah mencipta
kekosongan jejak, atau sekadar pemanis oleh data kelas kedua (mereka yang
mengungkap keberadaan serta kekaryaan Rendra) maupun data pusat (ungkapan dan
masa-masa kekaryaan Rendra). Di sini seyogyanya jadi pekerjaan rumah, atau PK (Pekerjaan
Kamar) yang patut dituntaskan, dan atau Muhib sepantasnya berani menghakimi,
menentukan pendapatnya dengan tegas. Misalkan, berapa bulan, berapa tahun, berapa
tempo kepastiannya Rendra di Negeri Paman Sam serta bolak-baliknya, lalu
menurut kabar kalau Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis diberitakan media massa
luar negeri, di mana serta bentuknya semacam apa, biar tidak melarut dongengan
semata. Dan jikalau Rendra termasuk seniman kere dalam keterbatasan dana
berkesenian, lantas darimana tanah 3 hektar di atas nama Bengkel Teater Rendra
di Citayam, Cipayung, Depok, apakah berkat warisan orang tuanya, hibah
pemerintah atau lembaga tertentu, ataukah hasil jual rumahnya di Ketanggungan
Wetan, Yogyakarta, ataulah perlu upaya menggiring nalar pembaca memasuki logika
data; di sinilah kerunutan menjadi perihal penting. Barangkali jika dilakukan,
malah tampil sebagai “Sejarah filosofi hidup Si Burung Merak,” juga meneliti
jatuhnya pilihan atau kebijakan Rendra penentukan langkahnya, dan dasar itu
dapat menjelma pondasi mempelajari watak sang tokoh dengan sebenarnya. Di sini
saya yakin, kelak Muhib mampu melakukan perihal di atas, lantaran jalanan juang
hidupnya lebih pahit sedikit nikmat dibandingkan Rendra, karena daya prihatin
adalah satuan belati tajam yang sanggup membelah meneliti sekujur data organ
tubuh informasi, sehingga bisa jawab terang penyakit yang diderita pemerintah
di masanya. Terlepas beberapa kekurangan, saya merasa terhormat mengupas karya
Muhammad Muhibbuddin, yang oleh buku-bukunya telah jauh menyebar minimal 30
biru eksemplar, jika ditengok judul buku terbitannya, sungguh luar biasa dengan
usianya yang relatif muda. Selamat kawan!
***
III
Berikut tambahan yang dioplos
dari Wikipedia: Dr. Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. lahir di
Solo 7 November 1935, meninggal di Depok Jawa Barat 6 Agustus 2009. Sastrawan yang
sejak mudanya bergairah menulis sajak-sajak, naskah drama, cerpen, dan esai di
berbagai media. Anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dengan
Raden Ayu Catharina Ismadillah; ayahnya guru bahasa Indonesia dan Jawa di Sekolah
Katolik -Solo, disamping dramawan tradisional, sedang ibunya penari serimpi di
Keraton Surakarta. Rendra mengawali pendidikan di TK Marsudirini, Yayasan
Kanisius. SD, SMP Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat 1955). “Kaki
Palsu” ialah drama pertamanya yang dipentaskan saat dibangku SMP, “Orang-orang
di Tikungan Jalan,” drama pertamanya mendapat penghargaan dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan DIY kala SMA. Lalu masuk Jurusan Sastra Inggris,
Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada (UGM), dan peroleh
beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964-1967).
Tahun 1967 sepulang dari
Amerika, mendirikan Bengkel Teater yang memberi suasana baru teater di Tanah Air,
namun sejak 1977 Rendra sulit tampil di muka publik mempertunjukkan drama pula
baca puisinya. Antara April sampai Oktober 1978, Rendra ditahan Pemerintah Orde
Baru, sebab pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman Ismail Marzuki
(TIM), Jakarta. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir oleh tekanan politik hingga
tak mampu dipertahankan, Sang Burung Merak hijrah ke Jakarta lalu berpindah ke
Depok. Bulan Oktober 1985, mendirikan Bengkel Teater Rendra, yang masih berdiri
sampai sekarang menjadi basis berkesenian, berada di atas lahan 3 hektar ditumbuhi
pepohonan jati, mahoni, trembesi, eboni, bambu, turi, rambutan, tanjung, dll, di
sana tempat tinggal keluarga Rendra juga sanggar tempat latihan drama dan tari.
Rendra pertamakali mempublikasikan
puisinya di media massa tahun 1952 pada majalah Siasat, latas menyebar ke
majalah-majalah; Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, Siasat Baru, dan berlanjutan
sampai dekade tahun 1960-1970an. Karyanya juga dikenal di luar negeri (diterjemahkan
dalam bahasa asing); Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India. Profesor
Harry Aveling, pakar sastra dari Australia membicarakan dan menerjemahkan
beberapa puisi Rendra dalam tulisannya “A Thematic History of Indonesian
Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga diperbincangkan pakar sastra dari Jerman,
Profesor Rainer Carle dalam disertasinya; Rendras Gedichtsammlungen (1957-1972):
Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag
von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Rendra pun aktif
mengikuti festival di luar negeri; The Rotterdam International Poetry Festival
(1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985),
Berliner Horizonte Festival (1985), The First New York Festival Of the Arts
(1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal
(1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), Tokyo Festival (1995). Penghargaan
yang diterimanya: Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Departemen
Pendidikan-Kebudayaan, Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah
Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan-Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam
Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), Penghargaan Achmad Bakri (2006),
dan gelar Doktor Honoris Causa dari UGM (2008).
Waktu usia 24 tahun,
Rendra menemukan cinta pertama Sunarti Suwandi, dan menikah tanggal 31 Maret
1959, dikaruniahi lima anak; Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana,
Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Percintaannya ini menginspirasi beberapa
puisi yang diterbitkan dalam buku “Empat Kumpulan Sajak.” Tahun 1971, Raden Ayu
Sitoresmi Prabuningrat ditemani kakaknya R.A. Laksmi Prabuningrat, keduanya putri
darah biru Keraton Yogya, bergabung di Bengkel Teater. Tak lama kemudian Rendra
melamar Sitoresmi jadi istri kedua, ini mengundang komentar sinis; mualafnya Rendra
demi poligami. Dari Sitoresmi, dikaruniahi empat anak; Yonas Salya, Sarah
Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Rendra menerbitkan buku drama remaja
bertitel “Seni Drama untuk Remaja” dengan nama Wahyu Sulaiman, kemudian menyederhanakan
namanya jadi Rendra saja sejak 1975, namun nama Wahyu Sulaiman dapat dimaksud pengganti
nama depan lamanya Willibrordus Surendra. Dan sejak 1977, saat menyelesaikan
film garapan Sjumanjaya, “Yang Muda Yang Bercinta” Rendra dicekal pemerintah
Orde Baru. Di senggang waktu Sang Burung Merak kibaskan sayapnya lagi persunting
Ken Zuraida, istri ke 3 yang memberinya dua anak; Isaias Sadewa dan Maryam
Supraba, namun pernikahan ini dibayarnya mahal, sebab tak lama kemudian diceraikan
Sitoresmi (1979), dan Sunarti (1981).
Beberapa karya dramanya; Orang-orang
di Tikungan Jalan (1954), Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata, 1967), SEKDA
(1977), Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastodon dan Burung Kondor (1972). Lalu Hamlet
dan Macbeth (terjemahan dari karya Shakespeare), Lysistrata (terjemahan), dan terjemahan
dari karya-karya Sophokles; Oedipus Sang Raja (Oedipus Rex), Oedipus di Kolonus
(Oedipus Mangkat), pun Antigone. Lantas Kasidah Barzanji, Lingkaran Kapur Putih,
Panembahan Reso (1986), Kisah Perjuangan Suku Naga, Shalawat Barzanji, Sobrat.
Sedang kumpulan sajaknya; Ballada Orang-orang Tercinta (1956), Empat Kumpulan
Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Nyanyian
Orang Urakan (1965), Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan dalam Puisi
(1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), Mencari
Bapak (1997), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Rendra: Ballads and Blues Poem,
State of Emergency, Do’a untuk Anak-Cucu.
***
IV
Terus terang, dalam
seumur hidup saya ketika Pramoedya Ananta Toer dan W.S. Rendra masih hidup, serasa
‘segan’ menemui kedua tokoh sastra tersebut, meski keinginan jumpa sangat
besar, namun tak jua terlaksana. Ini tak lebih berharap tetap dalam keadaan
segar bugar ketika berkarya, atau ada selarik khawatir jika menemui, daya kreativitas
saya terhisap kekagumannya. Bisa saja menghampiri, misalkan jadi pengamen di
depan rumahnya untuk tahu betul sosoknya, atau menjadi cantriknya, tapi daya
kreatif ini tak ingin terserap olehnya, sejenis ada ilmu kanuragan di Tanah
Jawa seperti Ajian Lampah Lumpuh, yang sanggup mengambil alih daya seseorang
tanpa dirasai pemiliknya, hal itu tidak saya harapkan. Contoh lain Yukio
Mishima dalam seumur hidupnya sempat showan kepada Yasunari Kawabata, dan Yukio
merasakan kalah dikjaya, lalu menghabisi nyawanya sendiri lewat harakiki demi
menebus salah hitungannya dengan langkah yang agak sulit disadap menyebar
berita. Kemudian atas habis nyawanya Yukio, Kawabata pun merasa kalah ampuh,
lantas bunuh diri pula demi menjawab panggilan keabadian.
Kekaguman kepada Pram
barangkali kurang kuat alasannya, sebab tak banyak baca karya-karyanya, atau ada
upaya menghindari setiap menyimak karangannya, sambil terus tanamkan curiga,
kalau keluwesannya menulis atas pantulan rajinnya novelis tersebut menerjemah
pula membaca karya-karya luar negeri. Barangkali juga garis keangkuhan tak mau
belajar pada seorang yang muasalnya dekat dengan daerah saya secara geografis
(ini terbantah, karena saya pernah nyantri kepada almarhum Suryanto
Sastroatmodjo). Bloro dan Lamongan sangat cedak, namun belum pernah sekalipun
menginjakkan kaki di situ. Barangkali rasa hormati masih ada energi Pram di
sana, sehingga meski ada komunitas ingin mengundang, belum juga menjawabnya,
entah kapan terwujud. Ada tanah lain saya hindari demi hormati R. Ng. Ronggowarsito,
yang ini bertumpu atas waktu, yakni Bali. Kelak mungkin bercerita atau tidak,
biarlah jadi misteri jika urung terjadi, namun pembaca bisa telisik referensi pujangga
tersebut ke tanah Dewata. Dan minimnya saya terkagum Pram, sebab haluan pemikiran-keimanan
sangat bertolak disaat menengok jalur hidup ini, atau bisa jadi saya hanya
belajar perlawanannya dalam berkarya tanpa kompromi atas jalan pikirannya,
ataulah berharap begitu pula terhadap diri sendiri.
Ada ratusan kali lebih
saya lewati jalur Padangan wilayah Bojonegoro, jikalau hendak masuk Bloro
tinggal selangkah ke arah barat lurus, daripada ambil jalur selatan ke Ngawi
kala hijrah ke Jogja, atau bisa memakai cara ising yang biasa terlakoni, namun
tak juah ingin terkabul. Bisa saja tanah kelahiran Pram lebih bertuah, lebih
purba, banyak kucurkan darah derita dibanding bencah Lamongan. Atau saya kerap memakai
hitungan kurang masuk nalar (akal), demi menuruti debaran kratif tetap
bersemayam, dan jalur itu mewakili contohnya. Lalu kekaguman pada Rendra mungkin
sedikit beralasan, sebab kagum bukunya “Balada Orang-orang Tercinta,” atau bisa
jadi daya pengaruhnya kuat diawal saya berkarya, hingga tiada keinginan
berdekatan menjajal atmosfir fisikal bathinya langsung, sebagaimana saya harus baca
al-Hikam karya Ibnu Atha’illah, setelah atau bersamaan membaca karya-karya
Nietzsche, ini demi merawat keseimbangan jiwa-raga-ruh yang sulit diterjamahkan
oleh batin saya sendiri.
Warna langit permulaan menaungi
Pram (Blora, 6 Februari 1925 – Jakarta, 30 April 2006) pula Rendra (1935-2009)
sangat berbeda, meski pada akhirnya merasai cakrawala serupa pada tahun-tahun sama
dengan suhu derajat sendiri-sendiri. Di lelembaran sejarah tercetak jelas, masa
silam tanah air pertiwi, birunya langit menghitam, hembusan angin cadas, hawa
udara memanas, kehitaman atas panggung meranggas; kisah penjajahan mempercepat
usia kematangan anak manusia, kesadaran jatuh lebih awal dibanding para insan
setelahnya. Kekejaman penindasan, huru-hara menguntit nyawa, wabah penyakit,
musim paceklik, saling sikat berebut air bagi ladang-ladangnya, dan hukum rimba
kuasai batin-batin tersiksa. Maka pantas saja kedewasaan mereka turun lebih
awal terbitnya, dibanding anak-anak sudah memasuki pintu gerbang kemerdekaan,
yang tengah menyaksikan perayaan pembangunan kurang seimbangi didalam menancapi
benih-benih pendidikan atas sejarah besar baru dialami, lantaran sibuk politik
memperbesar partai-partainya. Maka terguling nasib generasi saya, larut buaian hingga
pintu kesadarannya jauh digapai atau kedewasaan datangnya begitu lamban, sebab
termakan rayuan melambung kemakmuran merata, adil makmur di bawah langit
pembodohan bagi bangsa Indonesia.
Atau tantangan serta
ujung-ujung runcing ancaman tidak sama, dan di sini bukan berarti tengah
terbang dengan dua sayap nama tersebut. Ini sekadarlah menyapa Muhib, kalau
Pram, Rendra, begitu di hadapan saya. Tentu tidak alpa menyaksikan derita kesunyian
kelam serta gagasan-gagasan keduanya demi masa depan tanah air dunianya, tentulah
pula menegok tokoh-tokoh negara lain dengan gejolak serupa dalam menyongsong
lahirnya kemerdekaan bangsanya, sehingga kekaguman menempati ruang
masing-masing tidak sampai terkubur patung-patung mereka. Sebagaimana ada
banyak cara dalam memerdekakan diri bersama pikiran waras yang diusahakan terawat
tidak tunduk satuan keadaan, tidak luput suatu keterlenaan, tak gampang bilang
ya, sebelum bertarung habis-habisan di atas ruang-waktu dilakoni, semacam
keimanan sangatlah tinggi nilainya, dan bebuah kaya menampilkan kaca cermin
halus apa berlombang, air telaga bening apa mandek dihuni kuman, lalu bau napasnya
apa diberi oksigen tambahan ataukah murni penggalian di tanah-tanah dipijaknya,
oleh wewarna pengetahuan dibacanya, yang kembali pada fitroh kemanusiaannya bersama
nasib keyakinan dilayaninya dengan tak membawai bayangan lainnya.
***
6 Desember 2019, Pilang,
Tejoasri (pulau terpencil dikelilingi Bengawan Solo yang kini sedang mengering),
Laren, Lamongan.
*) Makalah bedah buku
W.S. Rendra karya Muhammad Muhibbuddin dengan moderator Lutfi S. Mendut di
Sanggar Pasir, Mulyosari, Banyuurip, Ujung Pangkah, Gresik, 13.00 WIB sampai
selesai. Dan malam harinya di Kafe Sastra, Sono, Panceng, Gresik, Jawa Timur,
bersama Rakai Lukman dan Sholihul Huda, pukul 19.00 WIB hingga tuntas.
**) Pengelola website
Sastra-Indonesia.com
http://sastra-indonesia.com/2019/12/membaca-muhibbuddin-yang-baca-w-s-rendra/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar