Sholihul Huda **
Catatan Kliping Tentang Buku W.S. Rendra
Sekitar tahun 1970, Robinson Simanjuntak dan Fajar Suharno melakukan pendokumentasian kliping koran tulisan tentang W.S. Rendra. Kerja pendokumentasian berlanjut di tahun 80-an, oleh Komunitas Mangap Studio. Di tahun 90-an hingga tahun 2000-an kegiatan ini berlanjut, kali ini Komunitas Bela Studio. Dari seluruh kliping yang terdokumentasikan, menghasilkan 4 buah buku: Menonton Bengkel Teater Rendra, Rendra dan Teater Modern Indonesia, Membaca Kepenyairan Rendra, Ketika Rendra Baca Sajak, yang semuanya dicetak oleh Penerbit Kepel Press.
Perjalanan hidup sebagai penyair, aktivis, dan pemikir politik maupun kebudayaan Rendra yang tidak sebatas teks, namun bersentuhan langsung dengan realitas, ternyata masih menarik untuk diulas dan dibukukan, kerja M. Muhibbuddin (Muhib) salah satunya. Mungkin ada sedikit kesamaan antara diri Muhib dengan Rendra dalam proses perjalanan hidup dan spiritual, sehingga dia begitu hangat menyelami Rendra -menilik dari judul buku- dengan tulisan yang ada dalam buku tersebut. “Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan? Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan?” (W.S. Rendra, Sajak Sebatang Lisong, 1977).
Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah buku tentang Rendra yang ditulis Muhib ini dapat menjadi buku pembeda dari 4 buku mengenai Si Burung Merak yang saya punya, atau buku ini hanya mereproduksi tulisan dari buku-buku lama? Sehingga ketika membacanya, saya tidak mendapatkan hal baru yang tak ada di buku sebelumnya, semoga saja apa yang saya khawatirkan tidak terjadi.
Tapi konon, Rendra pernah merasa malu disebut sebagai penyair pembaharu. Dia tak merasa menempuh jalan estetika yang orisinal, semuanya sudah serba membaur. Rendra hanya percaya cetusan dari kepribadian yang unik, itulah kesejatian meski yang tak harus baru. Dan Muhib, sejauh yang saya kenal memiliki keunikan. Apakah harus saya tulis keunikanmu Muhib?
Ini akan dijawab oleh saudara penulis sebagai bentuk pertanggungjawaban karya. Sebagai penulis, saya yakin Muhib sudah membaca ke empat buku yang saya punya tersebut, dan mencari titik utama yang membedakan karya sebelumnya dengan karya yang dituliskannya. Keyakinan itu didasari oleh sedikit pengetahuan saya atas diri Muhib selama hidup bersama dalam satu atap Yogyakarta, bahwa penulis memiliki penguasaan data berita koran dari tahun baheula lengkap, yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan H.B. Jassin, dan beberapa perpustakaan di Kota Yogyakarta.
***
Catatan Kliping Kehidupan Muhammad Muhibbuddin
Rasanya akan lebih lengkap jika kita juga mengulas perjalanan hidup penulis, dari sana bisa belajar dan berbagi. Menulis puluhan buku itu tidak mudah; ada proses jatuh bangun, terkapar luka, berdarah, dan lapar sebelum menghasilkan sebuah karya berupa buku. Dari pengalaman ini kita dapat belajar hidup, mempelajari, dan mengarungi kehidupan. Sehingga mampu memahami bahwa derita dan keberuntungan itu tak ada bedanya, alias sama saja.
Kerja kebudayaan M. Muhibbuddin di Yogya diawali di sebuah sanggar bernama Kutub, asuhan almarhum Kang Zainal Arifin Thoha (ZAT). Sistem yang dibangun di Sanggar ini kemandirian, atau ketaktergantungan kecuali kepada Tuhan. Bagi mereka yang masuk tidak diperbolehkan mendapat kiriman dari orang tua. Santri harus berusaha sendiri untuk pemenuhan kebutuhan hidup pribadi dan komunal. Mereka ada yang jualan kacang (saya mengalami bersama penulis), roti, loper koran, dan menulis sebagai kewajiban diluar aktivitas di atas.
Selain itu ada aktivitas kesenian (teater, musik, dan sastra). Slogannya, “awali dengan mencipta dari saldo nol Rupiah.” Bagi santri pemula, Bersaldo Nol Rupiah harus menempuh perjalanan kaki 3 jam menuju kampus IAIN SuKa, jika tidak mendapatkan tumpangan di jalan, dan penulis salah satu pelakunya. Proses panjang inilah yang kemudian membentuk mental juang dalam diri Muhib sewaktu “menaklukkan nasib,” memaksa diri bekerja keras. Hingga bisa membeli sepeda onthel dari hasil menulis di media massa.
Rata-rata mereka yang pernah singgah di sanggar ini, sekarang berhasil di bidangnya masing-masing, termasuk Muhib sebagai penulis. Yogyakarta merupakan Kawah Candradimuka yang melahirkan para kesatria, bukan bermaksud melebih-lebihkan, akan tetapi kenyataannya demikian, seperti halnya Kota Surabaya, Jakarta, Semarang, dan kota-kota lain di Indonesia.
Di Kutub, Muhib bersinggungan langsung dengan penulis-penulis besar, baik itu teman seangkatan maupun teman Pengasuh (ZAT), yang diundang untuk bertukar pengalaman dengan para santri. Beberapa tokoh teman pengasuh yang pernah dihadirkan di sanggar tersebut, antaranya; Nurel Javissyarqi, Binhad Nurrohmat, Mardi Luhung, Aguk Irawan MN, Cak Muwafiq (sekarang KH). Juga ada Mas Whani Darmawan (teaterawan), cerpenis Joni Ariadinata, dan banyak tokoh yang tak bisa saya sebutkan satu-persatu. Kehadiran beberapa tokoh di atas sangat berpengaruh terhadap kualitas, dan mentalitas para santri dalam berkarya sekaligus bertahan hidup.
“Teater yang gagah dalam kemiskinan” itulah teknologi berpikir penulis dan kita amalkan pada saat itu. Metafor tingkat tinggi dari Sang Maestro W.S. Rendra. Jika seharian tidak makan, kita cukup keluar menuju ujung lorong masuk Kutub untuk mendekati penjual sate, dan menghirup bau sate madura, ternyata aromanya sudah cukup mengganjal perut yang lapar. Nominal Rp. 5000,- yang dipopulerkan A. Yusrianto Elga dan Ridwan Munawwar, menjadi “kata sandi sehari-hari,” jika kita hendak pinjam uang untuk membeli nasi angkringan di depan Pon.Pes. Krapyak. Dan kehadiran Cak Nurel sangat diharap-harapkan ketika stok tembakau habis. Kondisi di atas tak membuat penulis dan teman-teman layu, justru membuatnya semakin produktif berkarya di bidangnya masing-masing.
Daya cekam (poor theatre, Jerzy Grotowski) semakin mendorong penulis dan teman-teman Kutub produktif, dan daya beringas (theatre of cruelty, Antonin Artaud) membuat penulis dekat dengan spiritualitas, tubuh adalah jiwa bukan materi, itulah alam kita, dunia kita pada saat itu, yang tak mampu mengejar teknologi modern Barat serba canggih dan mahal, yang hanya menjadikan kita sebagai budak-budaknya. Apa perlunya kita mengejar mereka?
Salam Budaya,
Daya cipta,
Daya rasa,
Daya karsa,
Salam Tabik.
Gresik, 1 Desember 2019
*) Pemantik acara di Kafe Sastra, Sono, Panceng, Gresik, 8 Desember 2019, 19.00. WIB
**) Seniman kelahiran Cepu yang kini tinggal di Gresik, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar