Mas
Dibyo merupakan salah seorang pelukis bergaya ekspresionis yang sangat
produktif. Pada awal Tahun 1990-an dia pindah ke Tuban dan sangat produktif
pameran. Masdibyo mengemukakan bahwa seorang seniman harus menguasai pemasaran
sehingga bisa berkarier dan berkarya secara mandiri tanpa tergantung kepada
siapapun, termasuk kurator.
Saat
berbicara pada bedah buku berjudul "Masdibyo Pelukis Perasaan" karya
Henri Nurcahyo di kampus Unesa Surabaya, ia menegaskan bahwa kemampuannya di
bidang pemasaran telah diasahnya sejak masih mahasiswa.
"Jangan
gengsi. Saya ketika masih kuliah, ketika lukisan sudah dinilai oleh dosen, saya
tawarkan kemana-mana dari pintu ke pintu. Bahkan saya cicilkan. Misalnya
harganya Rp50.000 ketika itu, dia (kolektor) nyicil dua kali tiap bulan,"
katanya.
Pelukis
kelahiran Pacitan, Jawa Timur, yang juga alumni Jurusan Seni Rupa IKIP Negeri
Surabaya (kini Unesa) itu mengaku tidak pernah lelah untuk terus berkarya,
meskipun belum tahu apakah lukisannya laku atau tidak. Namun demikian ia
mengaku bahwa tidak ada karya seni yang basi.
"Sekarang
saya punya cara sendiri dalam pemasaran karya saya. Saya biasa mengundang
beberapa kolektor untuk makan di sebuah hotel, kemudian saya beri tahu karya
saya yang dipamerkan tiga bulan ke depan. Mereka ternyata suka dan tidak aneh
ketika pameran sudah banyak lukisan yang diberi tanda karena sudah laku,"
ujarnya.
Ia
mengakui bahwa cara seperti itu memang berbiaya tinggi, namun dia yakin bahwa
yang didapatkan setelahnya akan lebih banyak. Dengan cara itu pula banyak
kolektor yang membela jika ada seseorang yang menjelek-jelekkan karya Masdibyo.
"Makanya
saya berani berjalan sendirian. Kalian jangan remehkan pelukis dari kampung
ini. Ada yang bilang, kolektor bodoh yang membeli lukisan saya. Tapi kolektor
itu malah marah kepada yang menjelek-jelekkan karya saya itu. Dia malah membela
saya," ujarnya.
Menurut
dia, menguasai pemasaran tidak kemudian seorang pelukis menggadaikan
idealismenya. Ia mengaku realistis setelah karyanya selesai, dan idealisme itu
muncul ketika ia berhadapan dengan kanvas.
"Idealisme
itu adalah jika pelukis hidup dari lukisannya. Setelah karya selesai, saya ada
anak dan istri saya, ada lingkungan saya yang menunggu. Itu harus
diperhatikan," kata seniman yang pernah selama 40 hari hanya tidur 30
menit setiap hari karena menyiapkan karya untuk pameran tunggal itu.
Dia
mengaku tidak ada rasa capek jika semua pekerjaan dilakukan dengan landasan
cinta. Karena itu ia berprinsip bahwa semua waktu, baik siang maupun malam
adalah "pagi" yang selalu menumbuhkan semangat baru.
Selain pemasaran, menurut dia, seniman juga harus paham mengenai manajemen, yakni bagaimana mengelola karya, mengelola waktu dan juga komunikasi dengan banyak pihak.
Selain pemasaran, menurut dia, seniman juga harus paham mengenai manajemen, yakni bagaimana mengelola karya, mengelola waktu dan juga komunikasi dengan banyak pihak.
Menyambut Padi by Mas Dibyo, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar