Selama
lima hari puluhan seniman Sidoarjo tumplek-blek di Balai Pemuda Surabaya.
Mereka memeriahkan pameran tunggal karya almarhum Harryadjie BS, pelukis senior
Sidoarjo yang meninggal September 2011.
SOSOK
Harryadjie BS seakan-akan hidup kembali bersama 70 karyanya yang dipajang di
Galeri Surabaya. Pelukis yang tinggal di Sidokare Indah A/1 Sidoarjo ini sejak
dulu dikenal sebagai seniman yang antitren, cuek, dan tak ramah pasar.
Harryadjie melukis apa saja sesuai keinginan hatinya. Tak peduli lukisannya laku
atau tidak.
“Almarhum
Harryadjie ini termasuk seniman idealis Jawa Timur yang tak banyak jumlahnya.
Dia tangguh dengan kepercayaan diri dan cuek dengan lingkungan sekitarnya.
Hampir tidak ada pelukis seangkatannya yang setangguh dia,” kata Rudi Isbandi,
pelukis senior yang membuka pameran tunggal kelima Harryadjie BS, itu.
Tak
hanya Rudi Isbandi. Para pelukis baik senior maupun mahasiswa Fakultas Seni
Rupa pun punya penilaian yang sama tentang pria kelahiran 25 September 1947
itu. Tak hanya idealis, Bambang Thelo (sapaan akrabnya) juga dikenal sebagai
seniman serbabisa. Dia tidak hanya melukis di atas kanvas, tapi juga media apa
saja.
Dalam
10 tahun terakhir Harryadjie lebih banyak memanfaatkan ‘sampah’, pelepah
kelapa, buah-buahan untuk menghasilkan karya seni. Dia juga aktif dalam gerakan
green art yang fokus pada isu-isu lingkungan hidup. Ayah satu anak ini, Jarot,
juga kuat dalam sketsa. Ketika mengunjungi sebuah pameran UKM di Surabaya,
Haryadjie memanfaatkan notes pemberian panitia untuk membuat sketsa yang
menarik.
“Mbah
Bambang ini sangat sederhana dan hidup untuk kesenian. Bahkan, beliau
meninggalkan ketika sedang mengurus acara pameran lukisan,” kata Sugeng
Prajitno, pelukis yang dekat dengan almarhum Harryadjie.
Saat
pembukaan di halaman Balai Pemuda, Cak Ugeng, sapaan akrab Sugeng Prajitno,
memainkan aksi teatrikal tentang perjalanan hidup Harryadjie BS. Cak Ugeng
bermain-main dengan api, menyemburkan cat minyak, mengolesi tubuhnya dengan
cat, menggambarkan sosok pelukis yang dulu aktif di Aksera itu. Semburan Cak
Ugeng ini akhirnya menghasilkan gambar tokek raksasa.
“Tokek
itu simbolisasi dari Mbah Harryadjie. Dia bukan saja suka menggambar tokek dan
reptil, tapi juga kehidupannya kayak tokek. Tidak banyak bicara, tapi selalu
berkarya,” kata Cak Ugeng yang kini tinggal di Kahuripan Nirwana Village
Sidoarjo itu.
Menurut
Jarot, putra tunggal almarhum Harryadjie, ayahnya meninggalkan begitu banyak
karya seni baik yang sudah dipamerkan maupun belum. Karya-karya itu ditumpuk
begitu saja karena rumah mereka di Sidokare terbilang kecil. Semasa hidupnya
Harryadjie sudah empat kali menggelar pameran tunggal.
Seniman
yang juga mantan pengurus Dewan Kesenian Sidoarjo ini sudah lama ingin bikin
pameran tunggal karena selama ini hanya pameran bersama pelukis-pelukis lain.
“Tapi baru kesampaian setelah ayah meninggal dunia,” katanya.
http://hurek.blogspot.com/2012/10/pameran-mengenang-almarhum-harryadjie-bs.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar