Senin, 09 Agustus 2021

KEGILAAN VINCENT VAN GOGH

Nurel Javissyarqi
https://pustakapujangga.com/2009/09/the-craziness-of-vincent-van-gogh/
 
“Dengan keluguannya, wanita juga bisa indah” (Van Gogh).
 
I. Sejarah Cat
 
(I) Dunia berwarna-warni
malam-siang, senja dan fajar
menoreh menghampar memeluk langit;
kelelawar, burung gagak, menjelma sejarah.
 
(II) Tari-tarian tajamnya cat menghunus
serupa kematangan tubuh-gemulai bidadari;
matahari itu disergap bala tentara mendung
berderap kaki-kaki pada hari-hari kematian.
 
(III) Cat melukai tubuh kanvas, cair kental amarah
itu darah mengucur, dari dalam jasad bergolak keras.
 
(IV) Di sini tempat kesintingan diatur
wewarna dunia, tak lagi memuaskan mata
kata-kata, tak satu pun kenyangkan telinga;
dipotong jaman tiada mengagungkan karya
lantas keindahan tersungkur di kubangan purba.
 
(V) Palet mengingkari cat, khianat merobek kanvas;
hati penuh luka, tanpa asam cuka tiada warna perasaan.
 
(VI) Seperti tuak sanggup memabukkan galaksi;
menjungkir-balikkan planet, susah-payah gila
tak memberi kesegaran.
 
(VII) Kala nenek moyang, belum mengenal warna
pahatan di dinding gua, dalam nan dangkal cahayanya;
mengalir melewati sungai legenda, dan banjir air mata
mencipta keheningan, menambah puncak semedinya.
 
(VIII) Cahaya-warna penghiasi dunia
unsur-unsurnya menemui jagad sunyi.
Segala aliran ke muara; “Mereka saling bercerita,
bertemu luapan laut, padat berkeringat garam.”
 
(IX) Pada ruangan sempit
berseliweran udara mencipta warna
aromanya tak terpaku masa-masa.
 
(X) Pandangan dijauhkan, coraknya tersembunyi
menyetubuhi kebebasan menerka
dengan partikel galaksi cahaya rasa.
 
(XI) Serupa panggilan;
warna kematian diawal musim kerinduan
menapaki tanah lempung, pasir berbencah
alunan lagu menggapai mimpi-mimpi rindu.
 
(XII) Van Gogh; “Musim anak-anak
membentuk lempung mencipta boneka.”
Gundukan pasir menjadikan bangunan
dan dunia tercipta atas orang-orang setia.
 
(XIII) Malam-siang berkumpul
memberi paras lain bagi kembara sejarah;
menguliti kanvas hati, kuas takdir tergerak lincah.
Hanya sang gila, yang sanggup mengaduk perasaan
tubuh berjumpa maya pada alamat bersila
lalu malam purnama menerangi rawa-rawa
teratai bermekaran di kedalaman dada.
 
(XIV) Siapa menghabiskan warna menjadi yang utama
sepadan kata pujangga; “Derita pena pada hitamnya tinta.
Kertas-kertas persembahan, serpihan kabut bersayap
bau-bau dupa ciumlah, sebelum kau kehabisan usia.”
 
(XV) Wewaktu menjelajah sewarna pemberani
serupa debu-debu halus terbang pada kelopak mata;
atau sepyuran air mata, atas kupasan bawang merah.
 
(XVI) Kali memandang karya bergetarlah tanda
sempurna gila pada warna komposisi keblinger
menyesatkan penikmat, yang tak mereka reka.
 
(XVII) Ia dahaga menceburkan diri
bermandian cat menyetubuhi musim kemarau
melukis kesakitan dunia subyek, bergentayangan
momok rindu pujangga, bagi anak-anak jamannya.
 
(XVIII) Sesak berjubel warna menghentikan permainan
berbaring antara karya, terpejam bermimpi cat seluruh;
tubuh-tubuh dicabik palet, kuas dilempar pada kanvas
tersempal menggelantung, mencari selubung tulang.
 
 
II. Pernikahan Van Gogh
 
(I) Keluguanmu mempelanting hingga setuju
tak menjadikan obyek seluruh;
lukisan tak sempurna memberi kematangan
kau keganjilan sungsang, pemotong harapan.
 
(II) Hati berdebar tiada pernah usai menunggu
kau cemas merindu, sewarna langit senja menderu.
 
(III) Petang menyeretku tenggelam pada malam-malam
di keranjang bunga busuk, wanita luka terobati kuluman
bibir mawar hitam; selembut salep borok masa kan datang.
 
(IV) Hari-hari kesakitan juga bahagia;
memandangi karya menikmati dengan mata gelisah
mendung bergerimis lalu, pada ruh-ruh kegilaan biru.
 
(V) Ia campakkan jubah pengganggu, tubuh petapa
menjelma kuas di kanvas menyatu; campur-aduk di
dada, tumpah aroma derita, sedari budi pekerti semu.
 
(VI) Kepada bukit -matahari, menunggu tubuh terbakar
malam-malam merangkum dingin mengambili kembang;
ini lukisan masa-masa sebelum puas melerai
meninggalkan kering waktu penghakiman.
 
(VII) Sendiri jiwa beku, sebatang lilin tak diciumi nyala api;
derita telinga menjelma lukisan, lalu mereka gila perhatikan.
 
(VIII) Hawa panas berenangan di kedalaman
daya sempit angin timur-barat menampar muka;
aku telanjang kekasih, demi hidup memuaskanmu
lantas nafas-nafas nyawa nikmat atas perhatianmu.
 
(IX) Perkawinan menyakitkan, takkan mudah terlepaskan
kekasih lukisan-lukisannya habis, dan penipuan lebih seronok
awan-gemawan bercerita kucuran darah padat masa mendatang.
 
(X) Derita panjang membayar penuh sayang;
ia sedang berkubang, menggedor retakan tanah
demi kecintaan kepada mereka, rindu kegilaan.
 
(XI) Pasir pesisir berserakan di wajah senja
campakkan dirinya pada tepian samudera rasa;
begitu ia membangun dunia, hampir akhir di gubuk reot
dan debu-debu jatuh ke lantai, dari langit semakin rapuh.
 
 
III. Potret Diri Van Gogh
 
(I) Di kanvas sakit
cat sejarah nenek moyang menderapkan kematian
mendekat-lekat masa-masa muda di akhir hayatmu;
ialah laki-laki sekarat, antara bahagia warna gemerlap.
 
(II) Ia terseret dalam alunan pusaran kesadaran
rasa tegak lurus menghidupi beku terpotong nahas;
Siapakah ia yang berani menerima dengan tegas?
 
(III) Melukis terus berharap bayangannya jauh
di belakang kematian, sayap-sayapnya menuju impian;
ia bangun bertahun-tahun, langit tak menentu lapisannya.
Kata Van Gogh; “Kupampang wajah, kugantung berpaku
dengan jendela bulan, dan genting kaca sebagai matahari.”
 
(IV) Siang menguras keringat, sadar gila berkarya
seperti masa keremajaan bodoh dalam jeruji kecewa;
waktu-waktu berbingkai lukisan bagi cakrawala jiwa
dan kelak, para pelajar menjenguk kamar bersejarah.
 
(V) Dengan mantap, aku gambar wajah paling tampan
di antara potret diri; “Akulah Van Gogh menghantuimu.
Mimpi, itulah alamku sesudah kematian, dan tulisan ini
membimbing tuan-tuan mencapai ke kerajaan jiwaku.”
 
(VI) Degup jantung bergetaran; “Lihatlah gambarku
wewarna kugunakan mengikutinya, dan anak-anakkannya
mendukungku dalam setiap jaman. Lukisanku terpampang
pada dinding-dinding kesaksian.”
 
(VII) Aku bergoyangan sakit dalam permainan warna;
“Ketololan, itulah kecerdasanku laksana pedang berkarat
kebahagiaan tiada tara, melingkar-dempul sakit berabad
persekutuan wewarna catku, di kanvas-kanvas mereka.”
 
(VIII) “Oh, pernah kulempar potret diri itu tersenyum
lantas kuambil, kutempel pada dinding langit kamarku.
Setiap tamu datang ke rumah, pulang membawa tawa
pun sama dendam rindu menghunus, pada lukisan itu
yang tetap bergolak, bersama kawan-kawan mudaku.”
 
 
IV. Kematian Van Gogh
 
(I) Gerbang langit terbuka, tanah retak menganga;
tak menghindari masuk keranda
tak dibawa apa yang dicinta
tak ditemani apa yang dibenci.
 
(II) Tidur bersama kidungan serangga, harum kering
kemboja; tangisan sesal tertinggal melubangi tubuh-jiwa.
 
(III) Di atas langit nan resah
jangan-jangan diseret demi menuruni jalan hidup kembali.
 
(IV) Usungan keranda yang lalu, ia tersenyum;
para malaikat mencubit lesung pipit, katanya
bidadari menjemput cium, persoalannya.
 
(V) Kematian tak menentu, sepi dari keramaian spekulan.
 
(VI) Dirasakan tentram, dalam lingkup ‘lemah’ kelahiran
kesegaran dari sesuatu, setelah sakit menuwai purnama.
 
(VII) Beginilah, bidadari mengelilingi perjamuan tak
butuhkan waktu, semua berjalan penuh warna biru;
tidak dihirau malam-siang seluruh tampak murni.
Lukisan abad silam nan mendatang terpampang
dalam istirahku -kata mereka, aku telah terpejam.
 
(VIII) Di sini bayu berwarna, menelusup di dedahan awan
dan warna bunga-bunga tak sama, ini jelas lebih punya nafas.
 
(IX) Van Gogh menandaskan kalimat;
“Kegilaan tak seharusnya penuh, andaipun perasaan meluber
pada warna berbeda. Sedang kepurnaan hayat dalam kematian.
Bersamaan ini,
kutinggalkan sketsa-sketsa kasar yang terpenggal.”
 
5 Oktober 2000,
Teater Eska dekat Gajah Wong Studio, Museum Affandi.

http://sastra-indonesia.com/2008/11/kegilaan-vincent-van-gogh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi