Senin, 26 Juli 2021

Vincent van Gogh

Goenawan Mohamad
majalah.tempointeraktif.com
 
Bagaimana kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Pada suatu hari di bulan November 2004 yang dingin, ia membunuh Theo Van Gogh dengan tenang dan brutal di sebuah jalan di Amsterdam. Ketika seniman film itu bersepeda, Mohammad B. menghadangnya, dan menembakkan pistolnya delapan kali. Terkena lutut, Van Gogh terjerembap. Ia diseret. Dalam keadaan luka itu ia memandang orang yang menembaknya dan mencoba berbicara. Tapi Mohammad B. tak menyahut. Dengan mantap tenggorokan Van Gogh dipotongnya, hampir putus. Setelah itu, satu statemen lima halaman dipasang ke tubuh Van Gogh, direkatkan dengan sebilah pisau yang menghunjam sampai tangkai ke jantung si mati.
 
Kesimpulan sementara: Mohammad B. membunuh karena Van Gogh dianggapnya menghina Islam. Delapan minggu sebelumnya film Submission diputar di TV. Kata orang yang telah melihatnya, salah satu adegan menunjukkan ayat-ayat Quran tertulis di atas tubuh perempuan-perempuan yang mengenakan pakaian menerawang, dengan buah dada tampak. Ayat-ayat itu konon menyebut perkenan Allah bagi laki-laki untuk memukul istrinya. Wajah perempuan-perempuan dalam film bikinan Van Gogh itu tampak bengap, runyam.
 
Di belakang ide film itu adalah Ayaan Hirsi Ali, seorang perempuan kelahiran Somalia, anggota parlemen Belanda. Ayaan Hirsi ingin menggambarkan perlakuan buruk Islam terhadap perempuan. Ia pernah menggambarkan riwayat hidupnya sebagai seorang anak yang meninggalkan Somalia dalam umur 6 tahun, lalu hidup di Arab Saudi, Etiopia, dan Kenya. Menjelang umur 20 tahun, orang tuanya menyuruhnya menikah dengan laki-laki yang tak dipilihnya sendiri. Ia harus menyusul calon suaminya di Kanada, tapi di tengah perjalanan ia berhenti di Jerman, lalu naik kereta api ke Belanda. Di sinilah ia belajar, berhasil, masuk ke kehidupan politik, dan bergabung dengan Partai Liberal.
 
Setelah Van Gogh terbunuh, Ayaan Hirsi tak tampak lagi di depan umum, dan Belanda tercekam dengan apa yang selalu terjadi setelah kekerasan: benci yang menular. Sekolah muslim dan masjid dicoba dibakar, dan satu juta orang Islam di antara 16 juta penduduk Belanda harus berhadapan dengan soal mendasar tentang hidup di sebuah dunia yang mereka pilih, yang juga sebuah dunia tempat seorang Van Gogh punya kemerdekaan untuk berbicara dengan cara menghina apa yang amat berharga, bahkan suci, di hati mereka.
 
Bagaimana kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Dia mewakili perilaku Islam, kata sebagian orang. Bukankah pembunuhan sudah terjadi sejak zaman Nabi, bila ada orang yang dianggap berbahaya bagi agama? Bukankah hal yang sama berlanjut terus sampai abad ke-20? Satu daftar dapat dibuat: pada 1947, seorang pengacara Iran, Ahamd Kasravi, harus mati karena tuduhan seperti itu. Empat tahun kemudian, kelompok radikal yang sama membunuh Perdana Menteri Haji Ali Razmara. Di Mesir, Farag Foda, penulis Al-hakika al-gha’iba (The Missing Truth), yang menganjurkan sekularisme, dibunuh dalam umur 47 tahun. Pada 1993, Tahar Djaout, seorang novelis Aljazair, diserang dan tewas. Pada 1994 novelis Naguib Mahfouz, pemenang Hadiah Nobel, ditikam. Dan kita ingat Salman Rushdie yang “dijatuhi hukuman mati” (tentu tanpa pengadilan) oleh Ayatullah Khomeini, dan Rushdie harus bersembunyi bertahun-tahun, sampai akhirnya penguasa Iran mencabut fatwa itu.
 
Tidak, kata yang membantah, Mohammad B. tak mewakili Islam. Memang untuk berbuat kejam (“keras”), orang selalu dapat mengutip Quran dan hadis. Itu yang dilakukan oleh mereka yang membunuh Kaswavi dan mencoba menghabisi Salman Rushdie. Tapi kenyataan tetap: sebagian besar muslim tak pernah membunuh atas nama agama mereka. Bahkan dari seluruh penduduk muslim Belanda, kata sebuah sumber di Dinas Rahasia, hanya 150 orang yang dapat dikategorikan “radikal” dan mendekati “teroris”.
 
Kenapa kita tak melihat Mohammad B. sebagai seseorang dengan keputusannya sendiri yang sunyi? Kenapa perkaranya tak hanya dibatasi sebagai perkara kriminal, dan bukan perkara “kultural”? Kenapa sumbernya ditarik jauh ke ajaran Islam? Bukankah ajaran Islam selalu bersifat tafsir orang, dan dari sana dapat lahir pembantaian tapi juga perdamaian? Bukankah hal yang sama berlaku untuk agama Yahudi dan Kristen juga dalam sejarah Eropa— yang menyebabkan orang bisa mengeluh: alangkah membingungkannya Sabda Tuhan?
 
Tak kalah membingungkan adalah kata-kata manusia. Persoalan sebuah negeri yang dihuni oleh beragam orang dengan beragam iman ialah ketika “multikulturalisme” jadi kebijakan publik. Kebijakan ini akan bergantung pada bagaimana “kultur” dipetakan dan bagaimana “identitas” diresmikan. Orang cenderung lupa bahwa “identitas” tak pernah ada dalam hidup orang seorang. Label “Islam” tak sepenuhnya mencakup (dan menguasai) kita. Kita tak akan pernah bisa tahu benarkah Mohammad B. seorang “Islam”, meskipun ia menyebut diri demikian, sebab kita sebenarnya tak ada jaminan seluruh dirinya mencerminkan “Islam”—sebab tak ada “Islam” yang membentuk para pemeluknya bagaikan sebuah cetakan yang sudah siap.
 
Bagaimana kita bicara tentang Mohammad B.? Kita belum tahu apa sebenarnya yang dicarinya. Adakah pembunuhan pada hari itu cara dia menunjukkan sebuah jalan buntu, ketika dialog macet—ia tak akan dapat mengubah Van Gogh dari sikapnya yang menghina itu? Bahwa argumentasi pada akhirnya ditentukan oleh mana yang kuat, dan sebab itu Van Gogh dapat menyiarkan filmnya dan Ayaan Hirsi dapat mempunyai forum untuk menyampaikan kecamannya?
 
Mungkin akhirnya Muhammad B. berkesimpulan, yang kuat adalah yang dapat membisukan yang lain—dan satu juta muslim itu pada akhirnya toh tak berdaya. Tapi mungkin ia tak tahu atau tak peduli: jika kekuatan berarti pembunuhan, tak akan ada negeri yang dapat menjadi negeri, dan yang ada hanya jutaan bangkai.

06 Desember 2004 http://sastra-indonesia.com/2011/11/van-gogh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi