Jumat, 18 Juni 2021

Konflik Etnis atau Konflik Politik?

Ignas Kleden *
majalah.tempointeraktif.com
 
SEBAGAI konsep ilmu sosial, etnisitas baru berusia 30 tahun, setelah Fredrik Barth menerbitkan bukunya, Ethnic Groups and Boundaries, 1969. Kata ethnic dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata Yunani, ethnos, yang dalam masa Yunani Antik digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok bukan-Yunani, yang dianggap berada di pinggiran, asing, dan sedikit barbar.
 
Orang Yunani sendiri menyebut diri mereka genos Hellenon atau bangsa Hellas, sedangkan orang-orang di Laut Tengah lainnya dinamakan to Medikon ethnos. Terjemahan Latin dari pengertian-pengertian ini adalah populus untuk diri orang Roma sendiri (populus Romanus), sedangkan suku-suku lain dinamakan natio, yang kira-kira sama artinya dengan ethnos dalam pemakaian Yunani Antik.
 
Pengertian Latin dan Yunani ini kemudian menjadi terbalik dalam bahasa Anglo-Saxon, yang memakai kata nation untuk menunjuk dirinya sendiri, sambil menyebut imigran-imigran asing ethnic minorities. Dalam studi-studi budaya, etnisitas mengalami pergeseran arti sejalan dengan pergeseran pengertian kebudayaan. Ini akibat beralihnya pengertian kebudayaan dan etnisitas dalam studi-studi antropologi budaya ke konsepsi tentang kedua pengertian tersebut dalam disiplin ilmu budaya baru yang dinamakan cultural studies (selanjutnya disebut CS).
 
Kebudayaan dalam antropologi budaya dipahami sebagai sistem pengetahuan yang membantu sekelompok orang memahami dunia dan lingkungan hidupnya, dan sistem nilai dan norma-norma yang membimbing mereka dalam tingkah lakunya sehari-hari. Dalam konsepsi ini, kebudayaan dipandang sebagai produk yang sudah jadi, dan diterima sebagai given from the beginning. Dianggap, kebudayaanlah yang membentuk orang-orang yang hidup di dalamnya sehingga kebiasaan serta kepribadian partisipan suatu kebudayaan bergantung pada esensi kebudayaan itu, yang dianggap selesai dan tetap.
 
Selain itu, kebudayaan dipandang dengan cara yang relatif apolitis. CS memberikan pembalikan paradigmatis. Pertama, kebudayaan sama sekali bukan “sudah dari sononya begitu”, melainkan dibuat oleh partisipannya sendiri sehingga bergantung pada agennya. Kebudayaan tidak pernah given, tetapi selalu socially constructed. Maka, bukan saja kebudayaan yang membentuk partisipannya, tetapi orang-orang dalam suatu kelompok secara aktif membentuk kebudayaannya.
 
Kedua, kebudayaan tidak dilihat secara empiris semata-mata, tetapi juga secara historis dengan memperhatikan genealogi, yaitu proses pembentukannya. Proses pembentukan itu diandaikan tidak terlepas dari usaha berbagai kelompok memperebutkan sumber daya, sehingga selalu mengandung persaingan kekuatan. Sementara antropologi budaya melihat kebudayaan secara esensialis dan apolitis, CS melihat kebudayaan secara konstruksionis dan sangat politis. Atas cara yang sama, etnisitas pertama-tama didekati secara primordialis. Istilah primordial menunjukkan hubungan-hubungan yang didasarkan pada faktor-faktor yang menentukan status seseorang, tanpa pilihannya sendiri.
 
Faktor-faktor tersebut adalah hubungan berdasarkan darah, agama, daerah, kebiasaan/adat-istiadat, dan ras. Etnisitas dalam hal ini dilihat secara askriptif, seperti halnya seseorang menjadi Jawa bukan karena pilihannya, atau seseorang yang dilahirkan di Indonesia dalam keluarga Indonesia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia, tanpa kemauan dari yang bersangkutan. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Edward Shils dan Clifford Geertz, khususnya dalam melihat ketegangan antara negara modern yang memerlukan integrasi baru yang didasarkan pada kesadaran nasional dan ikatan-ikatan lama yang bersifat primordial dan “alamiah”.
 
Paham ini dikritik sebagai terlalu statis dan tidak dapat menerangkan bentuk pengelompokan etnis yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Pendekatan lainnya dinamakan situasionalis, yang dipelopori oleh Fredrik Barth, dan mempunyai pengaruh dominan hingga tahun 1980-an. Di sini ditekankan organisasi sosial dari perbedaan-perbedaan etnis sebagai hasil dari interaksi dengan kelompok sosial lainnya, dan mobilisasi politik, yang berkaitan dengan kelompok-kelompok kepentingan tertentu.
 
Dekat dengan pandangan ini adalah paham instrumentalis, yang menekankan kompetisi antarelite dan manipulasi simbol yang mereka lakukan dalam mendapatkan dukungan massa. Di sini etnisitas bukanlah askripsi, melainkan hasil perjuangan politik untuk memakai identitas etnis dalam memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik. Paham ini kemudian dikritik sebagai terlalu materialistis dan mengabaikan aspek-aspek afektif dalam etnisitas.
 
Semenjak tahun 1980-an, perhatian ilmiah beralih dari organisasi sosial ke kesadaran dan imajinasi sebagai faktor konstitutif etnisitas. Buku Benedict Anderson, Imagined Communities, 1983, misalnya, dianggap sebagai salah satu karya penting yang mengawali pendekatan baru ini. Dalam paham ini ditekankan bahwa faktor-faktor yang dianggap menentukan etnisitas, seperti halnya kesamaan turunan, kesamaan sejarah dan masa lampau, atau kesamaan daerah asal, pada akhirnya tidak harus merupakan faktor-faktor yang dibenarkan secara historis, asal saja dipercaya dan diyakini dalam persepsi dan imajinasi sekelompok orang.
 
Pendekatan-pendekatan ini besar sumbangannya kepada pengertian tentang mengapa etnisitas bisa berubah, mengapa ada kelompok etnis yang dapat bertahan ratusan tahun, dan mengapa pula ada yang hilang tanpa meninggalkan bekas. Konsep-konsep tersebut di atas sampai tingkat tertentu dapat membantu kita sebagai arkeologi (dalam artian Michel Foucault) atau latar belakang untuk meninjau apa yang sekarang sering muncul di berbagai tempat di Indonesia dan dikenal sebagai konflik antaretnis.
 
Pertama, politik pada saat ini di Indonesia ditandai oleh kecemasan bahwa bangkitnya komunitas-komunitas etnis menjadi ancaman untuk kesatuan nasional. Ketegangan ini rupanya hanya dapat di-kelola dan tidak bisa diatasi sepenuhnya, kecuali dengan represi politik.
 
Bagaimana mencari imbangan optimal antara wawasan Nusantara dan pluralitas etnis yang menjadi ciri yang kuat dari masyarakat Indonesia? Pada titik inilah terlihat relevansi paham multikulturalisme, yang mempertanyakan mengapa kelompok-kelompok budaya yang selama puluhan atau ratusan tahun memandang dirinya sebagai kesatuan budaya, yang tercakup dalam lingkup teritorial tertentu, harus mengorbankan kebiasaan dan nilai-nilai mereka agar mendapat tempat dalam kesatuan nasional.
 
Berbagai kelompok ini biasa dinamakan minoritas etnis atau suku bangsa, padahal mereka selama waktu yang cukup lama hidup sebagai “bangsa”, walaupun ditulis dengan huruf kecil. Maka, oleh para teoretisi multikulturalisme diusulkan agar nama negara-bangsa atau nation-state lebih realistis kalau diganti dengan multination-state.
 
Ketika bangsa-bangsa ini menyadari kesatuannya dan menuntut hak yang lebih besar dan tempat yang lebih pantas dalam kehidupan bersama, mereka segera dicap sebagai gerakan etnis, yang dipertentangkan dengan kepentingan nasional.
 
Pengertian Bangsa (dengan kapital), yang berasal dari Eropa, dianggap sangat diperkuat oleh Universal Declaration of Human Rights, yang menegaskan kesamaan semua orang padahal dalam kenyataannya setiap orang berbeda sesuai dengan kelompok etnis atau kelompok budayanya.
 
Para pengkritik menganggap bahwa konsepsi manusia seperti itu terlalu buta warna dan mengakibatkan diabaikannya minoritas (dengan hak-haknya), yang dianggap harus menyesuaikan diri dengan kelompok yang lebih besar. Pada titik itu teori multikulturalisme bergandengan dengan filsafat komunitarian dalam menghadapi liberalisme, baik dengan menekankan hak minoritas maupun dengan menempatkan kepentingan komunitas di atas kepentingan individu.
 
Kedua, etnisitas tidak selalu merupakan askripsi, tetapi dapat merupakan pilihan dan hasil keputusan politik. Pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20, misalnya, dibuat perjanjian bilateral antara Jerman dan Polandia yang menetapkan bahwa kelompok etnis Polandia yang tinggal di Jerman akan diberi hak dan diperlakukan sebagai orang Jerman, asal saja kelompok etnis Jerman yang tinggal di Polandia diberi hak yang sama dan diperlakukan sama dengan orang Polandia.
 
Di Kalimantan, orang-orang Dayak yang masuk Kristen tetap merasa diri sebagai orang Dayak, tetapi orang Dayak yang menjadi Islam kemudian menganggap dirinya orang Melayu. Dalam Orde Baru, kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia diharap menanggalkan ciri-ciri kebudayaannya (seperti mengganti nama) dan dilarang melakukan ekspresi budayanya secara publik (seperti tidak boleh memakai bahasa Cina dalam media cetak ataupun elektronik), dan berasimilasi dengan kelompok yang lebih besar yang dianggap asli.
 
Pelajaran yang kita dapat, baik dari studi-studi kebudayaan maupun dari pengalaman politik di Indonesia, adalah bahwa etnisitas sering mempunyai implikasi politik yang kuat, seperti juga perubahan politik selalu mempunyai dampak terhadap posisi etnisitas. Kalau etnisitas adalah social construction, dengan mudah kekerasan di-lakukan terhadap suatu kelompok bukan karena adanya sifat-sifat etnis tertentu pada kelompok tersebut, melainkan supaya terhadap kelompok tersebut dikenakan sifat-sifat etnis yang tak disukai.
 
Pada waktu terjadi kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa di Jakarta pada pertengahan Mei 1998, seorang teman dari kelompok ini (kalau tak salah Ariel Heryanto) menulis bahwa orang-orang itu diperlakukan dengan keras, dikejar-kejar, dan dibunuh bukan karena mereka Cina, melainkan sebaliknya: siapa saja yang diperas, dikejar, dan dibunuh akan dinamakan Cina. Seseorang bukannya dikejar dan dijarah karena dia Cina, tetapi dia justru dijadikan Cina supaya boleh dijarah dan dibunuh.
 
Kalau diperhatikan konflik-konflik yang muncul semenjak 1997 di Pontianak hingga 2001 di Papua dan Poso, akan kelihatan ciri-ciri berikut.
 
Selalu ada dua kelompok terbatas yang terlibat dalam konflik dan kekerasan, sementara konflik tersebut tidak menyebar ke kelompok lain, padahal hubungan-hubungan antaretnis selalu kait-mengait dan lebih cenderung difus daripada terbatas dalam boundaries.
 
Di Pontianak pada 1997 terjadi kekerasan antara Dayak dan Madura, di Sambas pada 1999 antara Melayu dan Madura, di Ambon pada 1999 antara Islam dan Kristen, di Sampit pada 2001 antara Dayak dan Madura, di Papua sekarang antara OPM dan PDP (Presidium Dewan Papua), yang menjadi semakin keras oleh kematian Theys dari PDP dan hilangnya Willem Onde dari OPM, sedangkan di Poso antara penduduk setempat dan para perusuh dari luar.
 
Demikian pun konflik selalu terjadi antara dua golongan yang kira-kira seimbang dalam jumlah dan pengaruhnya, dan bukannya antara minoritas dan mayoritas, atau antara dominant culture dan subkultur.
 
Melihat pola-pola tersebut, dan mengingat etnisitas pada dasarnya sangat politis sifatnya, timbul pertanyaan apakah konflik-konflik tersebut masih dapat disebut konflik antaretnis atau lebih mirip konflik politik yang didorong oleh kepentingan tertentu yang mungkin saja menginginkan destabilisasi politik.
 
Kalau etnisitas adalah konstruksi sosial, berarti apa yang dinamakan konflik etnis besar kemungkinan hanyalah political construction, yang harus ditangani dengan keputusan politik dan tindakan politik dan bukan dengan imbauan-imbauan yang moralistis.
***

*) Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (Center for East-Indonesian Affairs), Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2010/10/konflik-etnis-atau-konflik-politik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi