Tujuh Tahun Lumpuh dan Kini Tidak Bisa Bicara
Bambang Soebendo
sinarharapan.co.id
Siapa yang tidak kenal dengan pelukis “kondang” dari Yogyakarta ini? Rambut
perak, kulit hitam, menyukai kacamata warna gelap, sepatu putih, gelang plus
kalung emas bermedali. Itulah pelukis Sapto Hoedojo, yang bernama lengkap
Doktor Raden Mas Sapto Hoedojo FRSA (Felloe Royal School of Art), kelahiran
Sala (Jawa Tengah) 6 Februari 1925.
Ketika bertemu SH sepuluh tahun lalu, Sapto yang sejak kecil gemar
berolahraga selain berkelahi, masih tampak sehat dan tegap, mengesankan usia
yang relatif muda dibanding usia sebenarnya. “Sejak kecil saya tidak merokok.
Saya gemar renang dan atletik,” akunya ketika membuka rahasia resep awet
mudanya waktu itu.
Di banyak kesempatan resmi, Sapto yang selalu didampingi isteri keduanya,
Yani, tampil “dandy” dan “flamboyan”, mengesankan keberhasilan usahanya dalam
dunia materi. Namun dalam keseharian, ia lebih sering bertelanjang dada dengan
sepotong celana jins buntung.
Sesekali ia memakai kemeja lengan buntung, nyentrik. Dalam “pakaian
seragam” seperti itulah ia bekerja berkeringat di galerinya di Jalan Sala,
Maguwo, Yogyakarta. Ia melukis, memahat, membatik, dan memelihara burung. Bila
jenuh, dengan mobil kesayangannya Mustang-Ford-nya warna putih ia ngebut,
jalan-jalan menuruti nalurinya.
Sapto Sekarang
Bagaimana keadaan Sapto? Rasa-rasanya seperti bumi dengan langit, amat jauh
berbeda. Beberapa hari yang lalu ketika SH datang ke galerinya, Sapto yang
sedang duduk di kursi roda dipapah berjalan-jalan mengelilingi halaman galeri
yang cukup luas untuk menikmati matahari pagi.
“Sudah tujuh tahun papi (menyebut nama Sapto) lumpuh terserang stroke,
sehingga tidak bisa berjalan sendiri. Malahan setahun terakhir ini papi tidak
bisa bicara sama sekali dengan siapa pun. Untuk komunikasi papi hanya
menggunakan bahasa isyarat lewat mulut dan kedipan mata,” kata Sriningsih yang
telah merawat pelukis ini selama hampir tujun tahun.
Siapa pun akan terharu dan terpaku apabila bertemu dengan Sapto Hoedojo
saat ini. Betapa tidak? Pelukis yang kini telah berusia 77 tahun ini,
sehari-harinya hanya tergolek di tempat tidur atau duduk di kursi roda,
ditemani perawatnya yang setia, Sriningsih, mantan perawat Rumah Sakit
Elizabeth, Semarang. Sedang isterinya, Yani, pada hari Sabtu dan Minggu saja
bisa menemaninya, selebihnya berada di Jakarta mengurus bisnisnya.
Badannya kurus, kulitnya legam kecoklat-coklatan, matanya kosong bila
menatap atau bertemu seseorang, karena sejak setahun lalu Sapto sama sekali
tidak bisa bicara. Selama tujuh tahun Sapto pernah terserang stroke tiga kali,
dan sudah sering keluar-masuk rumah sakit baik di Yogyakarta maupun Jakarta.
“Yang lebih menyusahkan saya, papi sekarang selain sulit bicara juga sulit
makan. Tingkahnya seperti anak kecil. Berjalan ke sana-kemari dan memerlukan
waktu yang cukup lama. Tapi tidak apa yang penting papi sehat,” kata
Sriningsih.
Kisah Cinta
Masa muda pelukis flamboyan ini penuh warna. Sapto adalah putera seorang
dokter keraton Surakarta bernama Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hendronoto.
Ibunya masih keturunan keluarga pujangga Ronggowarsito yang terkenal dengan
karyanya Zaman Edan, yang kini dimakamkan di desa Palar, Klaten (Jawa Tengah).
Sebagai putra ketujuh dari 21 bersaudara, ia diberi nama “Sapto”.
Sapto memang dilahirkan di kalangan seniman. Kakeknya, Ki.Padmo Susastro,
merupakan pujangga keraton Surakarta yang menulis tentang adat istiadat Jawa
atau Kejawen, menulis dongeng rakyat yang terkenal Kancil Nyolong Timun (Kancil
mencuri timun). Pamannya, Ki Harjowirogo, adalah seorang penulis yang purwa dan
salah seorang pendiri Balai Pustaka, Jakarta.
Pada mulanya Sapto tidak bercita-cita menjadi seniman, apalagi pelukis,
walaupun sejak kecil ia sudah pandai menggambar. “Saya justru bercita-cita menjadi
atlet nasional yang tangguh”, katanya waktu itu. Selain renang, Sapto juga
gemar bersepeda atletik. Pernah ia memenangkan lomba lari di kota kelahirannya,
Sala. Belakangan ia suka olahraga gulat dan sumo. “Bisa jadi ini sekadar penyaluran
hasrat saya untuk berantem”, katanya sambil tersenyum. Memang waktu muda Sapto
punya hobi berantem atau berkelahi. Karena bersenggolan di jalan atau soal
cewek saja, ia bisa berkelahi.
Sapto yang waktu muda berwajah ganteng, atletis, anak seorang dokter yang
masih “berdarah biru”, dikenal juga sebagai seorang “jagoan cewek”. Banyak
gadis Sala, termasuk gadis kraton, yang menyukai dirinya. Tentang sebutan
“jagoan cewek”, Sapto tak berkeberatan, dan ia punya dalih, “Saya melihat
sebagai sesuatu yang indah dan menarik untuk diamati. Mungkin keindahan wanita
pula yang ikut mendorong minat saya untuk mencintai seni”, katanya.
Tahun 1952, Sapto menikah dengan Kartika, puteri tunggal pelukis almarhum
Affandi, di London, dengan saksi Dr. Soebandrio, Dubes RI untuk Inggris waktu
itu. Ternyata sukses dalam karier sebagai seniman dan juga dalam materi tidak
menjamin keberhasilan Sapto dalam membina rumah tangga.
Tahun 1970, Sapto dan Kartika bercerai dan memutuskan untuk menjalani nasib
masing-masing setelah berumah tangga selama 17 tahun lebih dengan dianugerahi
Tuhan delapan anak dan beberapa orang cucu.
***
Kenapa harus cerai? Dalam buku Sapto Hoedojo Dalam Liputan Media
(YB.Margantoro, Fadmi Sustwi Yusuf, 1993) tidak banyak informasi tentang
masalah ini. Baik Sapto maupun Kartika tidak bersedia menjelaskan. Mereka
memilih diam, seakan-akan mencoba menikmati sendiri kepedihan akibat perceraian
itu.
Diakui Sapto, perceraian dengan Kartika membuat hidupnya kacau dan
kocar-kacir. “Saya seperti kehilangan pegangan,” akunya. Sekalipun telah
bercerai, Sapto tetap menghormati puteri tunggal pelukis Affandi (almarhum)
itu. “Saya tetap menghormati Kartika karena ia adalah ibu dari anak saya. Dia
saya ingat dengan titik kekaguman tersendiri,” kata Sapto dengan tulus.
Tahun 1972, hidup Sapto mulai berbunga-bunga lagi. Setelah dua tahun
menduda, ia kembali bertemu jodoh. Seperti sebuah dongeng 1001 malam, kisah ini
bermula dari sebuah perjalanan tanpa tujuan. Konon, suatu siang, sang duda yang
waktu itu berusia 47 tahun karena merasa gundah dan gelisah, meninggalkan
Yogyakarta menuju utara jurusan Magelang.
Di bawah hujan lebat ia ngebut dengan mobil kesayangannya menuju suatu
tempat yang kurang jelas, sekadar mengikuti naluri saja. Setelah melewati
Muntilan, ia tiba-tiba berbelok menuju Borobudur.
Di sini kisah asmara bermula. Di tengah jalan ia melihat dua orang gadis
sedang berteduh menunggu angkutan umum. Seperti magnet, ada semacam daya tarik
kuat, Sapto tiba-tiba menghentikan mobilnya seraya menawarkan kedua gadis itu
menumpang di mobilnya. Dan, ternyata ajakan duda ganteng itu bersambut.
Cinta mendadak lagi-lagi menyergap hati Sapto. Seperti ketika jumpa Kartika
di tahun 50-an di Singapura, secepat itu pula Sapto kasmaran alias jatuh cinta
dengan salah seorang gadis yang menumpang di mobilnya. Gadis itu bernama
Mulyani alias Yani, umur 17 tahun, siswa kelas III SMA Negeri II Purwokerto,
Jawa Tengah. Wajahnya segar, rambut panjang, berkulit langsat. Sosoknya “semok”
dengan tinggi 165 cm dan bobot/berat 60 kg.
“Seperti ada magnet saya langsung tertarik dan terpikat,” kenang Sapto
tentang gadis yang kini menjadi isterinya. Singkat cerita, beberapa hari
kemudian Sapto melamar Mulyani, yang ternyata anak seorang petani sederhana di
Purwokerto bernama Hadi Prayitno. Sekalipun usia keduanya terpaut 30 tahun,
lamaran Sapto langsung diterima Mulyani. Dengan Sapto, Yani yang kini masih
tampak segar dan mengairahkan ini mempunyai seorang putra bernama Sikka Sekar
Langit.
Pada mulanya, perkawinan Sapto dan Yani menimbulkan banyak pergunjingan.
Bahkan ada yang berani bertaruh mengenai panjang usia perkawinan itu. Toh,
pergunjingan itu reda sendiri, dan perkawinan Sapto dengan Yani masih tetap
langgeng sampai kini.
Yani secara fisik memang sangat berarti bagi Sapto. Hingga kini, Yani
nyaris tak bisa dipisahkan dari produk seni Sapto. Lewat keindahan tubuh sang
istrilah, Sapto memperkenalkan karya-karya batiknya, aksesori dan lain-lain.
Koperasi dan Makam Seniman
Ketika masih sehat, Sapto selalu muncul dengan gagasan-gagasannya yang
segar dan terkadang kotnroversial. Misalnya, tahun 1985 di hadapan para
wartawan dan seniman dalam suatu makan siang di galerinya, Sapto melontarkan
kontrak dan rezeki. “Tapi apa keadaan semacam itu bakal mampu bertahan?”
tanyanya. “Oleh sebab itu, saya sangat setuju kalau dibentuk koperasi. Bahkan
tidak saja para pelukis, bintang film dan para pelawak pun bisa kita ajak dalam
wadah ini,” ujar Sapto yang waktu itu ditunjuk oleh Menteri Koperasi/ Kabulog
Bustanil Arifin sebagai salah seorang Dewan Penasihat KOPSENI (Koperasi Seniman).
KOPSENI tidak dibentuk di Yogyakarta tetapi di Jakarta, tepatnya di Taman
Ismail Marzuki (TIM) tahun 1985. Selain Sapto, duduk sebagai penasihat KOPSENI
adalah Ny. Bustanil Arifin dan Umar Kayam. Sedangkan sebagai Dewan Pengurus
antara lain Leon Agusta, Rendra, Gerson Poyk, Sutardji Calzoum Bachri. Koperasi
para seniman yang pada mulanya berjalan lancar antara lain menangani soal
simpan-pinjam dan pemasaran karya seniman bisa ditebak akhir perjalanannya.
Setelah beberapa bulan, koperasi itu hanya tinggal nama. Para pengurusnya
jarang ke kantor, dan mungkin namanya sudah terlupakan sekarang. Yang unik
ketika dibuka usaha simpan-pinjam, banyak seniman berbondong-bondong meminjam
uang, tetapi sedikit yang menyimpan atau menabung. Dan akhirnya, koperasi
gulung tikar alias bangkrut.
Gagasan Sapto lain yang dianggap cukup kontroversial adalah soal makam
seniman. Pada mulanya gagasan itu dianggap sepi bahkan dilecehkan sesama
seniman Yogyakarta sendiri. Seorang pelukis batik terkenal misalnya menganggap
soal makam seniman adalah soal kesepuluh. Yang lebih perlu dipikirkan adalah
hasil kerja seniman dan nasib keluarganya.
Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta yang waktu itu dijabat Bakdi Soemanto
berpendapat bahwa soal makam seniman di luar negeri bukan barang baru lagi.
Mungkin di tahun 2000 nanti soal makam seniman baru dianggap penting di
Indonesia.
:Ini hanya soal waktu saja dan perlu waktu panjang. Di Inggris misalnya
bisa dijumpai makam penyair besar Shakespeare. Hal itu untuk menjawab munculnya
kerinduan atau nostalgia,” tambahnya.
Menjelaskan tentang gagasannya itu, Sapto menyatakan masalahnya sederhana
saja. “Kalau pahlawan dimakamkan di Taman Pahlawan, mengapa seniman tidak? Apa
jasa seorang seniman yang berprestasi mengangkat dan mengharumkan nama bangsa
seperti Affandi (pelukis), Gesang (musikus), Rendra (penyair), dan Liberty
Manik (musikus) tidak sepantasnya dimakamkan di tempat terhormat seperti Taman
Pahlawan. Seniman kan juga pahlawan. Kalau pahlawan mati, yang biasanya
mengangkat senjata, seniman berjuang dengan pena dan kuas, jasanya juga pantas
diingat terus.”
Gagasan itu pada awalnya dikonsultasikan dengan mantan mertuanya, Affandi.
Ternyata, Affandi menyambug dengan antusias. Ia bahkan tercatat sebagai
pendaftar pertama penghuni Makam Seniman yang terletak di Bukit Gajah, dekat
Makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Sayang sekali, ketika
maestro pelukis Indonesia itu meninggal, ia tak jadi dimakamkan di sana.
Affandi, atas permintaan isterinya Maryati (almarhum) dimakamkan di Museum
Affandi, Jalan Sala, Yogyakarta.
Ada jasa lain yang pantas dicacat dari pelukis yang sudah tujuh tahun
lumpuh dan setahun ini tidak bisa bicara, yaitu mengangkat derajat
seniman/pengrajin gerabah dari Kasongan (Bantul) dan Tegawanuh (Temanggung).
Tahun 1964 Sapto Hoedojo turun tangan meningkatkan derajat pengrajin ini dengan
memberi latihan contoh desain atau motif-motif baru kerajinan gerabah sesuai
dengan selera dan permintaan pasar.
Berkat tangan dinginnya kerjinan gerabah made-in Kasongan dan Tegawanuh
mulai dikenal di pasaran dalam dan luar negeri. Selain derajat, secara tidak
langsung Sapto yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa Kasongan
yang dulu sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Sampai kini Sapto
masih tetap dianggap guru atau sesepuh masyarakat desa Kasongan dan Tegawanuh.
Sayang, nasib Sapto Hoedojo saat ini agaknya kurang beruntung dibanding
dengan Umar Kayam yang pernah tinggal lama di Yogyakarta, pendiri dan pemimpin
pertama pusat studi kebudayaan UGM. Setiap gerak, kegiatan atau kejadian yang
menyangkut Umar Kayam selalu mendapat perhatian luas dunia pers, baik cetak
maupun elektronik. Tetapi Sapto Hudojo yang sudah tujuh tahun tergolek di
tempat tidur atau duduk lemah di kursi roda, dan sudah setahun tidak bisa
bicara, sepi dari perhatian dan simpati. Dunia seakan-akan membisu seperti dunianya
Sapto Hoedojo saat ini?
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 11 Februari 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Kirno Tanda
A.C. Andre Tanama
A.D. Pirous
A.S. Laksana
Abdillah M Marzuqi
Abdul Ajis
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abu Nisrina
Adhi Pandoyo
Adib Muttaqin Asfar
Adreas Anggit W.
Afnan Malay
Agama Para Bajingan
Agung Kurniawan
Agung WHS
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T
Agus Hernawan
Agus Mulyadi
Agus R. Subagyo
Agus Sigit
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Alim Bakhtiar
Alur Alun Tanjidor
Amang Rahman Jubair
Amien Kamil
Amri Yahya
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
Andong Buku
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Andry Deblenk
Anindita S Thayf
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Adrian
Anton Kurnia
Anwar Holid
Ardhabilly
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arti Bumi Intaran
Ary B Prass
Aryo Wisanggeni G
AS Sumbawi
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Ayu Sulistyowati
Bambang Bujono
Bambang Soebendo
Bambang Thelo
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Basoeki Abdullah
Basuki Ratna K
BE Satrio
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Brunel University London
Buku Kritik Sastra
Bustan Basir Maras
Candrakirana KOSTELA
Catatan
Cover Buku
Dahlan Kong
Daniel Paranamesa
Dari Lisan ke Lisan
Darju Prasetya
Debat Panjang Polemik Sains di Facebook
Dedy Sufriadi
Dedykalee
Denny JA
Desy Susilawati
Di Balik Semak Pitutur Jawa
Dian Sukarno
Dian Yuliastuti
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dipo Handoko
Disbudpar
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwin Gideon
Edo Adityo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Faidil Akbar
Faizalbnu
Fatah Yasin Noor
Festival Teater Religi
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Franz Kafka
Galeri Sonobudoyo
Gatot Widodo
Goenawan Mohamad
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Hans Pols
Hardjito
Haris Saputra
Harjiman
Harryadjie BS
Hendra Sofyan
Hendri Yetus Siswono
Hendro Wiyanto
Heri Kris
Herman Syahara
Heru Emka
Heru Kuntoyo
htanzil
I Wayan Seriyoga Parta
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indigo Art Space
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Intan Ungaling Dian
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Jajang R Kawentar
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jonathan Ziberg
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jual Buku Paket Hemat 23
Jumartono
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Karikatur Hitam-Putih
Karikatur Pensil Warna
Kartika Foundation
Kemah Budaya Pantura (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Koktail
Komik
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Koskow
Koskow (FX. Widyatmoko)
KOSTELA
Kris Monika E
Kyai Sahal Mahfudz
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Shitaresmi
Leo Tolstoy
Literasa Donuts
Lords of the Bow
Luhung Sapto
Lukas Luwarso
Lukisan
M Anta Kusuma
M. Ilham S
M. Yoesoef
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoenomo
Mas Dibyo
Mashuri
Massayu
Masuki M Astro
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Moch. Faisol
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moses Misdy
Muhajir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musdalifah Fachri
Ndix Endik
Nelson Alwi
Nietzsche
Noor H. Dee
Novel Pekik
Nung Bonham
Nurel Javissyarqi
Nurul Hadi Koclok
Nuryana Asmaudi SA
Obrolan
Octavio Paz
Oil on Canvas
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Lukisan
Pasar Seni Indonesia
Pasar Seni Lukis Indonesia
PC. Lesbumi NU Babat
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Harjiman
Pelukis Saron
Pelukis Sugeng Ariyadi
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Penerbit PUstaka puJAngga
Penerbit SastraSewu
Pesta Malang Sejuta Buku 2014
Proses kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
R Ridwan Hasan Saputra
Rabdul Rohim
Rahasia Literasi
Rakai Lukman
Rambuana
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rudi Isbandi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumoh Projects
S. Yadi K
Sabrank Suparno
Saham Sugiono
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sapto Hoedojo
Sastra
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra ke #24
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Rupa
Septi Sutrisna
Seraphina
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sketsa
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Srihadi Soedarsono
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sunu Wasono
Susiyo Guntur
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno SZ
Syifa Amori
Tammalele
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
TANETE
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan Pinang
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Toto Nugroho
Tri Andhi S
Tri Moeljo
Triyono
Tu-ngang Iskandar
Tulus Rahadi
Tulus S
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Vincent van Gogh
Vini Mariyane Rosya
W.S. Rendra
Wachid Duhri Syamroni
Wahyudin
Warung Boenga Ketjil
Wasito
Wawancara
Wayan Sunarta
William Bradley Horton
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yunisa
Zawawi Se
Zulfian Hariyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar