sinarharapan.co.id
Seperti pernah diungkapkan oleh Marcell Boneff dalam sebuah tulisan berjudul Sebuah Cermin Ideologi: Cerita Bergambar Indonesia (1983), di Indonesia komik masih sering dianggap sebagai hasil kebudayaan kelas kambing yang tak bernilai sama sekali bagi para peneliti. Ia hanya dianggap sebagai “sampah khayalan untuk menyibukkan anak-anak, para buta huruf dan tukang mimpi.” Para pendidik dan kaum puritan serta-merta merendahkannya dari sudut pandang moral secara a priori. Lebih parah lagi, kini komik Indonesia kian terpinggirkan oleh serbuan komik impor, terutama komik-komik Jepang terjemahan, seperti serial Crayon Sinchan, Dragon Ball dan Kobo Chan.
Di sisi lain, terdapat pula sekelompok orang yang menganggap komik Indonesia sebagai karya seni yang telah diperlakukan secara tak adil dan lalu berusaha mendudukkannya pada tingkat yang mereka anggap lebih layak sebagai karya kebudayaan yang bermutu; sejajar dengan cabang-cabang seni lainnya. Dalam kelompok terakhir, nama yang cukup menonjol sebagai juru bicara komik Indonesia dewasa ini adalah Seno Gumira Ajidarma. Dalam beberapa tahun terakhir, ia mempublikasikan sejumlah tulisan yang cukup berharga dalam upaya menilai kembali posisi komik Indonesia di berbagai jurnal, majalah dan koran nasional. Ia juga menulis sejumlah cerpen yang diangkat dari komik serial Panji Tengkorak karya Hans Jaladara.
Sekadar urun apresiasi terhadap komik Indonesia yang pernah sangat populer di masa lampau, melalui catatan singkat ini saya mencoba mengulas genre komik superhero Indonesia, sekaligus mengungkap segi-segi positif komik Indonesia dengan meninjau komik Dr. Jaka dan Ki Wilawuk (1975), serial Gundala Putra Petir, karya Hasmi. Terus terang, saya merasa berutang pada komik Indonesia. Melalui komik, minat baca saya terpupuk sejak kecil dan bagi saya itu adalah sebuah investasi budaya yang tak ternilai harganya. Mengutip kata-kata Carlos Fuentes, novelis ternama Meksiko itu, “Dirimu ditentukan oleh apa yang kau makan. Engkau juga cerminan dari komik-komik yang kaugemari semasa kecil.”
Anatomi Komik Superhero Indonesia
Kita tahu, salah satu genre dalam komik Indonesia adalah komik superhero. Marcel Bonneff dalam disertasinya yang baru diterbitkan di sini lebih dua puluh lima tahun kemudian sebagai Komik Indonesia (KPG, 1998), secara sepintas menyebut genre ini sebagai “fiksi ilmiah.” Pada umumnya komik jenis ini relatif bebas dari unsur pornografi, bersifat imajinatif, dan para tokohnya acapkali merupakan adaptasi dari komik Barat. Sebagai rasionalisasi kemampuan super yang dimiliki oleh para superhero itu, sering dikisahkan bahwa mereka merupakan makhluk yang berasal dari planet lain, atau manusia bumi yang mendapat kemampuan adidaya dari makhluk planet lain.
Ada beberapa penulis komik superhero terkemuka (khususnya dari generasi sekitar 1970-an) yang saya catat. Mereka adalah Hasmi dengan serial Gundala Putra Petir (adaptasi dari jagoan Amerika, Flash), Wid NS dengan serial Godam (tampaknya terinspirasi oleh Superman), Kus Br. dengan serial Laba-laba Merah (jelas merupakan versi Indonesia dari Spiderman) dan Djoni Andrean dengan serial Laba-laba Maut (tokohnya dilukiskan mirip Spiderman, tapi dengan topeng wajah separuh terbuka). Pada kurun 1970-an hingga akhir 1980-an, mereka bisa dibilang cukup populer. Gundala bahkan pernah difilmkan.
Selain nama-nama di atas terdapat sejumlah komikus yang tidak terlalu produktif mencipta dalam genre ini. RA Kosasih yang dikenal sebagai empu komik wayang tercatat pernah membuat komik superhero dengan tokohnya Sri Asih dan Siti Gahara. Adapun sederet tokoh superhero imajiner lainnya dengan peran yang lebih kecil bisa disebut antara lain: Aquanus, Maza dan Jin Kartubi, Pangeran Mlaar, Sembrani, Macan Kumbang, Laba-laba Mirah (istri Laba-laba Merah), Tira dan Dewi Bulan (istri Macan Kumbang). Tokoh-tokoh itu biasanya hanya dilibatkan sebagai penyerta dalam suatu kisah. Dalam beberapa episode serial Godam bahkan pernah ditampilkan tokoh Sun Go Kong sebagai bintang tamu. Sun Go Kong adalah tokoh siluman kera pembela kebajikan dalam cerita silat Tiongkok.
Seperti layaknya para superhero lainnya, Gundala Putra Petir merupakan jagoan pembela kebenaran yang hobinya membasmi setiap kejahatan yang ia temui. Alkisah, asal-usul Gundala adalah sebagai berikut: tersebutlah seorang pemuda bernama Sancaka, seorang insinyur yang baru patah hati. Dalam galau ia tersambar petir saat berjalan tak tentu arah di jalan raya. Dalam keadaan koma ia tersasar di planet lain dan diangkat anak oleh raja petir, sekaligus diberkati kemampuan super: mampu berlari secepat kilat dan bisa memancarkan geledek dari telapak tangannya. Sejak itulah, di waktu-waktu tertentu, ia tampil sebagai jagoan penumpas kejahatan berpakaian hitam ketat dengan sepatu dan cawat berwarna merah. Wajahnya tertutup topeng, hanya tampak mata dan mulutnya, di sisi topengnya terdapat hiasan seperti sayap burung. Ia adalah kawan mereka yang lemah dan musuh bagi para pencoleng.
Gundala dan Telur Columbus
Dibanding kisah Gundala lainnya seperti Gundala Sampai Ajal atau Gundala Bangkit dari Kubur, episode Dr. Jaka dan Ki Wilawuk merupakan yang paling menarik buat saya. Dalam kisah sepanjang 6 jilid ini Hasmi meramu dua novel science-fiction Barat (The Thing That Couldn’t Die dan Dr. Jekyll and Mr. Hyde’ perhatikan kemiripan nama Dr. Jekyll dan Dr. Jaka) dengan kisah mistik Jawa. Ia juga memadukan cerita detektif dan dongeng horor dengan bumbu kisah cinta dan humor dalam komik ini.
Kisah ini dibuka dengan adegan syuting film horor yang mengecoh pembaca. Kemudian, dikisahkan terjadi serangkaian pembunuhan misterius di kota (tampaknya) Yogyakarta. Korbannya selalu mati lemas kehabisan darah. Belakangan, terungkap bahwa ternyata mereka dibunuh oleh seorang dokter bedah terkemuka, Dr. Jaka. Darah para korban digunakannya untuk upacara ilmu hitam yang dianutnya sebagai seorang keturunan Ki Wilawuk, seorang penjahat yang konon hidup pada zaman Panembahan Senopati masih berkuasa di Mataram. Ki Wilawuk, yang kepala dan tubuhnya dikuburkan terpisah karena ia memiliki ajian Pancasona (secara ajaib anggota tubuh seseorang yang memiliki ajian ini bisa menyatu kembali apabila terpotong), bisa hidup kembali apabila diupacarai dengan darah manusia dan ayam cemani (ayam aduan yang berbulu hitam legam). Malangnya, setelah berhasil hidup kembali atas upaya Dr. Jaka, Ki Wilawuk justru membunuh Dr. Jaka yang menurutnya tidak cukup patuh padanya. Di ujung cerita, Gundala turun tangan melenyapkan Ki Wilawuk lewat sebuah pertarungan sengit dengan bantuan seorang keturunan Tumenggung Wiralaga, musuh masa lampau Ki Wilawuk. Dan, kejahatan pun akhirnya dikalahkan oleh kebenaran.
Dalam komik ini tampak kepiawaian Hasmi dalam merangkai cerita bergambar. Ia mahir memainkan plot cerita dan panel-panel bergambar. Terkadang ia menggunakan monolog interieur tokoh-tokohnya untuk memperkuat dialog dan penceritaan seperti dalam novel-novel kontemporer. Ia meracik komik ini dengan -meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma- konsep novel bergambar yang filmis. Referensi Hasmi yang cukup luas tampak dari beberapa nama dan ungkapan yang disebut oleh tokoh-tokohnya: Dracula (tokoh setengah legenda yang hobi mengisap darah manusia; sejatinya seorang bangsawan Rumania di zaman lampau), Jack the Ripper (tersangka pembunuh berantai di Inggris beberapa abad silam yang tak pernah tertangkap; Hasmi sedikit terpeleset dengan menulisnya sebagai John the Ripper), cerita seputar agresi militer Belanda 1947-1948 di Yogyakarta, secuplik kisah flashback berseting zaman Mataram, kisah tentang ajian Pancasona milik Ki Wilawuk yang dipetik dari kisah pewayangan, pengakuan Hasmi di halaman terakhir bahwa cerita ini diilhami The Thing That Couldn’t Die dan Dr. Jekyll and Mr. Hyde (novel karya R. L. Stevenson yang berkisah tentang seorang ilmuwan berkepribadian ganda yang bisa malih rupa menjadi sesosok monster), dan ungkapan “telur Columbus” yang diucapkan oleh tokoh Inspektur Polisi Candra.
Sedikit tentang telur Columbus, konon, setelah Christopher Columbus kembali dari benua baru yang ditemukannya (mereka menyebutnya Amerika), banyak orang menyepelekan pencapaiannya dengan mengatakan bahwa mereka pun bisa melakukan hal yang sama. Suatu hari Columbus mengunjungi sebuah bar tempat para pencelanya berkumpul. Ia membawa sebutir telur ayam. Lalu ia menantang mereka, “Siapa yang bisa membuat telur ini berdiri tegak di atas meja?” Beberapa orang mencoba, tapi tentu saja sia-sia. Bagaimana mungkin telur yang berujung lonjong itu bisa berdiri tegak? Columbus kemudian turun tangan. Ia memungut telur itu, memecahkan sedikit ujungnya hingga rata, lalu meletakkannya tegak di atas meja. Orang-orang yang tadi tak memikirkan cara itu serentak memprotes. “Wah, kalau begitu sih aku juga bisa?” Begitulah, setelah seorang pionir membuktikan bahwa sebuah gagasan bisa jadi kenyataan, para pecundang bermulut besar baru akan berkata bahwa mereka pun bisa melakukannya. Padahal, ada beda yang amat besar antara bekerja dengan membual.
Seperti sekilas terbaca dari Dr. Jaka dan Ki Wilawuk, komik kita ternyata bisa cerdas, intelek, imajinatif dan oleh karenanya memperkaya para pembacanya. Ia membuktikan bahwa tuduhan sebagian orang bahwa komik kita cenderung dangkal, abai terhadap riset dan referensi, tidak mendidik dan membodohkan, ternyata tak sepenuhnya benar. Sungguh tak adil memperlakukan komik sebagai benda paria. Ia tak beda dengan buku. Dan seperti kata orang-orang bijak, buku tak beda dengan kawan: yang baik memperkaya, yang buruk merusak angan-angan.
*) Penggemar komik Indonesia, tinggal di Bandung. http://sastra-indonesia.com/2009/12/komik-superhero-indonesia-gundala-dan-telur-columbus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar