Pameran ini dipersiapkan dalam kondisi yang tak mudah bagi Laksmi Shitaresmi. Perupa kelahiran Yogyakarta, 9 Mei 1974 ini mesti pandai-pandai membagi waktu – satu sisi ia harus mengerjakan “sesuatu” yang ada di sebelah kanan, disaat yang sama ia juga harus mengerjakan “sesuatu” yang ada di sebelah kirinya, memikirkan sesuatu yang menggumpal dalam kepalanya, meninggalkan jauh hal-hal di belakang dan terus menatap menjalani apa yang ada di depannya. Sebagai ibu, ia harus merawat beberapa anaknya yang masih kecil; sebagai perupa ia juga harus tetap menggambar, melukis (dan membuat patung) untuk artistik karya seninya, “eksistensi” sekaligus tumpuan hidupnya; dan sebagai single parent ia juga mesti memikirkan masa depan anak-anaknya; sebagai manusia ia tetap harus bisa memanusiakan yang lain.
Pada pameran tunggalnya ini, Laksmi Shitaresmi yang telah memiliki empat anak (semuanya perempuan) hanya ingin memamerkan karya-karya gambar (semacam sketsa) yang dikombinasi drawing menggunakan media tinta cina di atas kertas. Ada sekitar 20 karya gambar-sketsa berukuran A3 yang dikerjakan secara spontan saja (tidak seperti karya-karya drawing lain/sebelumnya penuh arsiran-arsiran mendetail). Lewat gambar-sketsa ini pula, Laksmi seakan sedang ingin membahasakan sepotong pengalaman hidupnya lewat garis.
Maka, kita akan menyaksikan serangkaian “pengalaman tubuh” yang dipaksa mengkonsumsi simbol pada keseluruhan karyanya. Tubuh-tubuh itu mewakili Laksmi sendiri (Laksmi sebagai perempuan, ibu, sekaligus “kepala” keluarga). Karena itu, pada setiap lembar gambarnya selalu hadir idiom kepala berwajah dirinya dengan berbagai pose, sorotan mata yang berbeda-beda dan seterusnya. Selain itu, hadir juga tubuh “yang lain” (seperti stilisasi tubuh binatang: ada gurita, tikus, burung dan lain-lain) sebagai satu kesatuan dari subject-matter karyanya. Di saat yang sama kita juga akan mendapati bagian tubuh tertentu ada yang nampak normal-normal saja, tapi dibagian yang lain kita juga masih dipaksa menyaksikan penampakan tubuh yang cenderung “ganjil”, tidak utuh.
Misalnya, pada titik garis yang menggambarkan tangan kanan maupun kiri hampir semuanya bercabang membentuk seperti sulur-sulur. Pada sulur-sulur itu, sebagian daunnya ada menyerupai kepala manusia, bahkan kita akan menduga ada yang menyerupai makhluk “asing”. Sulur-sulur secara arkaik bisa dimetaforkan sebagai gambaran hidup atau dinamika kehidupan yang kompleks. Atau, pada karya lainnya ada juluran tangan bercabang membentuk rupa kepala manusia dalam keadaan terbalik, menjerit, dan pada bagian telinganya mengeluarkan selongsong kaki. Gambaran ini hendak menegaskan bahwa jalan hidup yang sedang ia lalui ibaratnya harus rela jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas – adalah gambaran hidup manusia yang harus kerja keras tanpa mengenal lelah, tanpa mengenal waktu, tanpa mengenal apapun dan seterusnya.
Tapi, saya berkeyakinan bahwa tubuh-tubuh dan simbol pada keseluruhan karya Laksmi memiliki nama dan nyata, termasuk gambaran-gambaran tubuh yang sulit kita kenali, atau cenderung “asing”. Apalagi, pada keseluruhan gambar-sketsanya kita menjumpai banyak gesture kultural, ada gerak, ada filosofi Jawa, ada sulur-sulur, ada ladang, ada daun, ada cakra, ada panah, ada batang, ada mata tumbak, ada dunia mistik, dongeng, mitologi, ada kenyataan, ada peristiwa kesedihan, ada jiwa dan lain-lain.
Dalam konteks ini, Laksmi bisa tanpa beban menggambarkan dirinya, hidupnya, bebannya, angan-angan, mimpinya, cita-cita – dan, pada saat yang sama sebagian besar tubuh yang merupakan sosoknya sendiri itu hadir tanpa gravitasi, ia melayang menuju ruang yang “entah”, seakan mau mengatakan jiwanya tidak ingin terkurung seperti jiwa-jiwa burung yang pasrah dalam sangkar.
Bukankah hidup manusia adalah “perjalanan” yang dilakukan secara bertahap, bersama kesulitan-kesulitan bercampur dengan penderitaan sekaligus kesenangan dalam pengembaraan di jalan yang panjang menuju ladang jiwa? Saya kira kesadaran ini lah yang sesungguhnya sedang Laksmi alami, ingin ia raih, ingin ia tuju untuk mendapatkan spirit (daya hidup) yang holistik.
Gunungtirto, 28 Desember 2020
LAKSMI SHITARESMI, lahir di Yogyakarta, 9 Mei 1974. Pendidikan: 1999 – S-1 FSRD ISI Yogyakarta. Pameran tunggal: 1999 – Pameran Lukisan Tunggal “Bahasa Lukis sebagai Terapi” Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta / 2002 – Pameran Lukisan tunggal “Daun Pada Dada” Kupu-Kupu Art Gallery, Jakarta / 2004 – Pameran Lukisan Tunggal “Dunia Laksmi” Bentara Budaya, Jakarta / 2006 – Pameran lukisan Tunggal “My Life” di CSIS, Jakarta / 2007 – Pameran Lukisan Karya Tunggal di Gedung Gading Indah, Jakarta. Pameran bersama: 2005 – Pameran Lukisan “ Taboo and Transgression in Contemporary Indonesian Art” Herbert F Johnson in Museum of Art, Cornell University, Ithaca New York USA / 2006 – Pameran Lukisan Biennale Jakarta “ Beyond The Limits and It’s Challenges” Galeri Nasional, Jakarta / 2007 – Pameran Lukisan 5 kota “ Beautiful Death “ Bentara Budaya Jogja, Jakarta, Surabaya, Malang, Bali. Penghargaan: 1988 – Medali Emas sebagai Karya Lukis Terpilih dari Jepang dalam Pameran Lukisan Indonesia – Jepang di Tokyo / 1989 – Medali LIDICKA RUZE sebagai Karya Lukis Terbaik di Cekoslovakia; Medali CSR a SSR UNESCO sebagai Karya Lukis Terbaik dari United Nations Organization / 1990 – Medali Emas sebagai Karya Lukis Terpilih dari Jepang dalam Pameran Lukisan Indonesia-Jepang di Tokyo, Jepang; Penghargaan 10 Besar Lukisan Terbaik Kompetisi Lukisan “Imajinasi Tentang Negaraku” di India / 1997 – Penghargaan seni lukis Nominasi The Philip Morris Art Awards Indonesia / 1999 – Penghargaan seni lukis Finalis Nokia Art Awards Indonesia; Penghargaan seni lukis Nominasi The Philip Morris Art Awards Indonesia, dll. http://sastra-indonesia.com/2021/01/ladang-jiwa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar