Iman Budhi Santosa
Salam budaya,
Dalam rangka membuka pameran ilustrasi cerita anak ‘Sriti Wani, Kisah Anak-anak Langit’ karya Alim Bakhtiar yang sebentar lagi akan kita saksikan bersama, perkenankan saya juga sejenak bercerita. Karena setelah membaca cerita anak yang ditulis dan diilustrasi oleh Alim Bakhtiar yang demikian indah dan unik, saya jadi membayangkan demikian. Bersamaan dibukanya pameran ilustrasi ini, lahir pula tokoh bocah perempuan yang diberi nama sangat puitis oleh orang tuanya, Sriti Wani itu. Anak tadi lahir dari buah perkawinan Ki Manggar dan Nyi Blimbing Singsing, kaum pidak pedarakan yang tinggal di Desa Sinom, lereng gunung Sanggeni, di sebuah negeri antah berantah.
Menurut perhitungan Masehi, hari ini adalah Sabtu Pon, 26 Oktober 2013. Tetapi menurut kalender Jawa (Hijriah), pukul 19.30 WIB ini sudah masuk hari Ahad Wage.
Menurut primbon Jawa, anak yang lahir pada hari Ahad Wage memiliki neptu 9. Wuku: Kuningan, pengarasan: Lakuning Angin, pancasuda: Satria Wibawa, dina: dina Urang, lintang 12: Lintang Kus (kukus), pranatamanga: kalima, bintang: Scorpio. Sedangkan gambaran kepribadian anak yang lahir hari Ahad Wage, dia mempunyai sifat yang sangat menonjol dalam mengambil hati/merayu orang lain. Sifat-sifat lain yang juga menonjol: 1) Tekun, rajin, giat, banyak bekerja (tidak suka berdiam diri / menganggur / berpangku tangan), seorang pekerja keras; 2) Penyendiri (suka sendirian), suka sepi / kesunyian, tidak suka berkumpul dengan banyak orang; 3) Berwibawa / punya kepribadian yang berpengaruh, banyak orang yang segan / hormat; 4) Ulet, gigih; 5) Pantang mundur / tidak kenal menyerah / putus asa, keras hati; 6) Baik hati, mulia, kesucian. Sedangkan sifat yang agak kurang baik: kalau marah berbahaya, suka merusak ataupun susah redanya (mudah kalap).
Saya sempat tertegun, karena karakter Sriti Wani yang digambarkan Alim seakan ceples benar dengan ramalam primbon di atas; kecuali sifat buruk yang kalau marah berbahaya itu. Padahal, dalam cerita tadi Alim samasekali tidak mengisahkan waktu dan hari Sriti Wani dilahirkan. Bagi saya pribadi, kejadian ini benar-benar mirip sebuah peristiwa kebetulan yang menakjubkan. Sebab, Alim diam-diam mampu menggubah sebuah cerita fiksi yang memiliki korelasi akurat dengan fakta realitas yang tertera dalam ramalan legendaris di Jawa.
Contoh keunikan yang lain, dalam cerita tadi dikisahkan bagaimana perjuangan Sriti Wani menempuh hutan belantara dan mengatasi berbagai kesulitan hingga ke langit untuk mewujudkan cita-citanya. Yaitu, membaca pesan muatan yang tersembunyi di balik smbol-simbol yang tertera di sayap seekor kupu-kupu yang bernama ‘Kupu-kupu Aksara’.
Salah satu momen yang luar biasa indahnya adalah ketika Alim memaparkan dengan fasih pertemuan Sriti Wani di tengah hutan dengan enthung (kepompong) yang menjadi sang penunjuk arah. Di masa lalu, dalam tembang dolanan anak-anak di Jawa, kepompong memang suka ditanya: endi elor, endi kidul (mana Utara mana Selatan). Tidak pernah muncul pertanyaan mana Timur mana Barat.
Gara-gara membaca segmen inilah saya jadi seperti diingatkan kembali adanya tradisi mengapa dulu anak-anak bertanya mengenai arah yang akan ditempuh kepada kepompong. Dengan sangat cantik Alim menarasikan bagaimana Sriti Wani ketika kebingungan di hutan, kemudian si kepompong memberikan pencerahan filosofi khas Jawa yang sekarang banyak dilupakan. Silahkan simak narasi dan dialog yang ditulis Alim Bakhtiar ini:
“Selagi bulan masih cerah, ikutilah jalan ini. Cahayanya akan menuntunmu menemukan apa yang kau cari.” Ia menjatuhkan daun kering yang telah dipilih Sriti Wani ke tanah. Tiba-tiba di sana terlihat sebuah jalan dengan gambar yang aneh. Nampak perpohonan di kiri kanan yang membentuk lorong panjang.
“Percayalah pada hatimu Sriti… percayalah, itu yang akan menyelamatkanmu!” Kata kepompong Lor-Kidul melepas genggamannya. Sriti Wani mengangguk, ia segera berjalan mengambil jalan tersebut. Dengan demikian, si kepompong menyatakan ke mana pun arah yang akan ditempuh sesungguhnya sama. Sedangkan berhasil tidaknya apa yang diinginkan bukan ditentukan oleh arah jalan, melainkan oleh ketabahan hati yang bersangkutan.
Apa yang disampaikan oleh kepompong itu, mirip sekali dengan pesan yang ditulis Kirdjomuljo (almarhum) dalam puisinya ‘Di Tanganmu’: Kepada siapa akhirnya berjuta hati menatap/kepada mereka yang bersedia membagi hati kepadanya//Kepada siapa akhirnya berjuta suara mengucap/kepada mereka yang bersedia membagi suara kepadanya//Aku tidak tahu kau memilih jalan ke mana/segala jalan melintas di telapak tanganmu//Tetapi dapatkah kau mengingkari adanya yang kekal/dapatkah kau mengingkari adanya jalan ke dalam dirimu?//Aku hanya ingin memperingatkan/Jiwa di tanahairmu: jiwa yang sedia berbagi.
Membaca fiksi anak Sriti Wani saya juga seperti teringat kembali akan kisah Sun Go Kong yang disadur dalam bahasa Jawa oleh Sar BS di Majalah Panyebar Semangat (PS) dekade 50-an. Judulnya pun diubah ke dalam bahasa Jawa menjadi: ‘Ngupaya Serat Pangruwating Papa Cintraka.’ Dikisahkan bagaimana pendeta (Sang Prajaka) disertai anak muridnya: Sun Go Kong (wresiswa), si wajah babi (demalung), si kulit hitam (jlitheng), dan kuda jelmaan dewa naga (nagawahana), menempuh perjalanan bertahun-tahun dari Timur ke pegunungan Barat untuk nggadhuh (minta) kitab suci dari Dewi Kwan Im yang berguna untuk memperbaiki moral akhlak dan kehidupan umat manusia. Ternyata, setelah ketemu Dewi Kwan Im, beliau justru mengatakan bahwa kitab tersebut telah dimiliki oleh mereka. Artinya, dengan menempuh (proses) perjalanan itu sama halnya mereka telah melakukan pembelajaran terhadap berbagai nilai dan pengalaman hidup beraneka ragam yang dapat dipakai untuk meruwat (memperbaiki) kehidupan nyata di dunia.
Meskipun tidak persis sama, perjalanan Sriti Wani dari kampung halamannya hingga ke langit untuk mewujudkan cita-cita, mempelajari rahasia ilmu pengetahuan yang disimbolkan sebagai teks yang tertera pada saya Kupu-kupu Aksara, telah mengindikasikan: bahwa sepasang sayap kupu-kupu yang bertuliskan aksara (buku) hanyalah simbol belaka. Agaknya, sebagai orang Jawa, Alim menggunakan terminologi ilmu pengetahuan yang dibukukan sebagaimana pandangan Barat, melainkan ngelmu yang merupakan ajaran rahasia untuk pegangan hidup sesuai ungkapan peribahasa Jawa: ngelmu iku kalakone kanthi laku.
Puncak dari keunikan cerita anak yang ditulis Alim adalah ketika Sriti Wani berhasil mewujudkan cita-citanya, dia tidak lupa diri. Anak itu tidak ingin menjadi kaum urban meskipun telah ‘mumpuni’ berbekal pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Tetapi, tetap saja ia kembali ke kampung halaman, ke habitat semula, ke kaki gunung Sanggeni. Suatu kasunyatan yang jarang terjadi saat ini, khususnya bagi generasi muda. Banyak mereka yang sedikit saja mengenyam sukses justru menjelma kacang yang lupa kulitnya. Lebih memilih menjadi ‘buntut ular besar, dibanding menjadi kepala ular kecil’.
Gambaran selintas ini, bagi saya mengindikasikan cerita anak Sriti Wani dalam konteks sosial telah dijadikan semacam ‘kaca spion’ oleh penulisnya. Dan, celakanya, bagi saya terasa pas. Benar dan tepat. Maka, ketika ilustrasi dirumuskan sebagai: gambar (foto, lukisan) untuk memperjelas, menerangkan isi buku, karangan, atau gambar, desain, atau diagram untuk penghias buku, melalui even pameran ilustrasi cerita anak ini, Alim Bakhtiar sekan berbisik kepada kita. Dan semoga benar. Makna ilustrasi bukan hanya seperti dipaparkan dalam kamus saja. Menjadi semacam hiasan, yang memperjelas, menerangkan, atau mempercantik semata. Sebab, ilustrasi ternyata dapat juga dijadikan ‘spion’ agar kita mampu melihat ke belakang lagi (berpaling) sebagaimana introspeksi yang digembar-gemborkan di mana-mana, namun jutaan orang tak pernah legawa melaksanakannya.
***
26/10/2013 http://sastra-indonesia.com/2020/12/spion-dalam-ilustrasi-cerita-anak-alim-bakhtiar/
Salam budaya,
Dalam rangka membuka pameran ilustrasi cerita anak ‘Sriti Wani, Kisah Anak-anak Langit’ karya Alim Bakhtiar yang sebentar lagi akan kita saksikan bersama, perkenankan saya juga sejenak bercerita. Karena setelah membaca cerita anak yang ditulis dan diilustrasi oleh Alim Bakhtiar yang demikian indah dan unik, saya jadi membayangkan demikian. Bersamaan dibukanya pameran ilustrasi ini, lahir pula tokoh bocah perempuan yang diberi nama sangat puitis oleh orang tuanya, Sriti Wani itu. Anak tadi lahir dari buah perkawinan Ki Manggar dan Nyi Blimbing Singsing, kaum pidak pedarakan yang tinggal di Desa Sinom, lereng gunung Sanggeni, di sebuah negeri antah berantah.
Menurut perhitungan Masehi, hari ini adalah Sabtu Pon, 26 Oktober 2013. Tetapi menurut kalender Jawa (Hijriah), pukul 19.30 WIB ini sudah masuk hari Ahad Wage.
Menurut primbon Jawa, anak yang lahir pada hari Ahad Wage memiliki neptu 9. Wuku: Kuningan, pengarasan: Lakuning Angin, pancasuda: Satria Wibawa, dina: dina Urang, lintang 12: Lintang Kus (kukus), pranatamanga: kalima, bintang: Scorpio. Sedangkan gambaran kepribadian anak yang lahir hari Ahad Wage, dia mempunyai sifat yang sangat menonjol dalam mengambil hati/merayu orang lain. Sifat-sifat lain yang juga menonjol: 1) Tekun, rajin, giat, banyak bekerja (tidak suka berdiam diri / menganggur / berpangku tangan), seorang pekerja keras; 2) Penyendiri (suka sendirian), suka sepi / kesunyian, tidak suka berkumpul dengan banyak orang; 3) Berwibawa / punya kepribadian yang berpengaruh, banyak orang yang segan / hormat; 4) Ulet, gigih; 5) Pantang mundur / tidak kenal menyerah / putus asa, keras hati; 6) Baik hati, mulia, kesucian. Sedangkan sifat yang agak kurang baik: kalau marah berbahaya, suka merusak ataupun susah redanya (mudah kalap).
Saya sempat tertegun, karena karakter Sriti Wani yang digambarkan Alim seakan ceples benar dengan ramalam primbon di atas; kecuali sifat buruk yang kalau marah berbahaya itu. Padahal, dalam cerita tadi Alim samasekali tidak mengisahkan waktu dan hari Sriti Wani dilahirkan. Bagi saya pribadi, kejadian ini benar-benar mirip sebuah peristiwa kebetulan yang menakjubkan. Sebab, Alim diam-diam mampu menggubah sebuah cerita fiksi yang memiliki korelasi akurat dengan fakta realitas yang tertera dalam ramalan legendaris di Jawa.
Contoh keunikan yang lain, dalam cerita tadi dikisahkan bagaimana perjuangan Sriti Wani menempuh hutan belantara dan mengatasi berbagai kesulitan hingga ke langit untuk mewujudkan cita-citanya. Yaitu, membaca pesan muatan yang tersembunyi di balik smbol-simbol yang tertera di sayap seekor kupu-kupu yang bernama ‘Kupu-kupu Aksara’.
Salah satu momen yang luar biasa indahnya adalah ketika Alim memaparkan dengan fasih pertemuan Sriti Wani di tengah hutan dengan enthung (kepompong) yang menjadi sang penunjuk arah. Di masa lalu, dalam tembang dolanan anak-anak di Jawa, kepompong memang suka ditanya: endi elor, endi kidul (mana Utara mana Selatan). Tidak pernah muncul pertanyaan mana Timur mana Barat.
Gara-gara membaca segmen inilah saya jadi seperti diingatkan kembali adanya tradisi mengapa dulu anak-anak bertanya mengenai arah yang akan ditempuh kepada kepompong. Dengan sangat cantik Alim menarasikan bagaimana Sriti Wani ketika kebingungan di hutan, kemudian si kepompong memberikan pencerahan filosofi khas Jawa yang sekarang banyak dilupakan. Silahkan simak narasi dan dialog yang ditulis Alim Bakhtiar ini:
“Selagi bulan masih cerah, ikutilah jalan ini. Cahayanya akan menuntunmu menemukan apa yang kau cari.” Ia menjatuhkan daun kering yang telah dipilih Sriti Wani ke tanah. Tiba-tiba di sana terlihat sebuah jalan dengan gambar yang aneh. Nampak perpohonan di kiri kanan yang membentuk lorong panjang.
“Percayalah pada hatimu Sriti… percayalah, itu yang akan menyelamatkanmu!” Kata kepompong Lor-Kidul melepas genggamannya. Sriti Wani mengangguk, ia segera berjalan mengambil jalan tersebut. Dengan demikian, si kepompong menyatakan ke mana pun arah yang akan ditempuh sesungguhnya sama. Sedangkan berhasil tidaknya apa yang diinginkan bukan ditentukan oleh arah jalan, melainkan oleh ketabahan hati yang bersangkutan.
Apa yang disampaikan oleh kepompong itu, mirip sekali dengan pesan yang ditulis Kirdjomuljo (almarhum) dalam puisinya ‘Di Tanganmu’: Kepada siapa akhirnya berjuta hati menatap/kepada mereka yang bersedia membagi hati kepadanya//Kepada siapa akhirnya berjuta suara mengucap/kepada mereka yang bersedia membagi suara kepadanya//Aku tidak tahu kau memilih jalan ke mana/segala jalan melintas di telapak tanganmu//Tetapi dapatkah kau mengingkari adanya yang kekal/dapatkah kau mengingkari adanya jalan ke dalam dirimu?//Aku hanya ingin memperingatkan/Jiwa di tanahairmu: jiwa yang sedia berbagi.
Membaca fiksi anak Sriti Wani saya juga seperti teringat kembali akan kisah Sun Go Kong yang disadur dalam bahasa Jawa oleh Sar BS di Majalah Panyebar Semangat (PS) dekade 50-an. Judulnya pun diubah ke dalam bahasa Jawa menjadi: ‘Ngupaya Serat Pangruwating Papa Cintraka.’ Dikisahkan bagaimana pendeta (Sang Prajaka) disertai anak muridnya: Sun Go Kong (wresiswa), si wajah babi (demalung), si kulit hitam (jlitheng), dan kuda jelmaan dewa naga (nagawahana), menempuh perjalanan bertahun-tahun dari Timur ke pegunungan Barat untuk nggadhuh (minta) kitab suci dari Dewi Kwan Im yang berguna untuk memperbaiki moral akhlak dan kehidupan umat manusia. Ternyata, setelah ketemu Dewi Kwan Im, beliau justru mengatakan bahwa kitab tersebut telah dimiliki oleh mereka. Artinya, dengan menempuh (proses) perjalanan itu sama halnya mereka telah melakukan pembelajaran terhadap berbagai nilai dan pengalaman hidup beraneka ragam yang dapat dipakai untuk meruwat (memperbaiki) kehidupan nyata di dunia.
Meskipun tidak persis sama, perjalanan Sriti Wani dari kampung halamannya hingga ke langit untuk mewujudkan cita-cita, mempelajari rahasia ilmu pengetahuan yang disimbolkan sebagai teks yang tertera pada saya Kupu-kupu Aksara, telah mengindikasikan: bahwa sepasang sayap kupu-kupu yang bertuliskan aksara (buku) hanyalah simbol belaka. Agaknya, sebagai orang Jawa, Alim menggunakan terminologi ilmu pengetahuan yang dibukukan sebagaimana pandangan Barat, melainkan ngelmu yang merupakan ajaran rahasia untuk pegangan hidup sesuai ungkapan peribahasa Jawa: ngelmu iku kalakone kanthi laku.
Puncak dari keunikan cerita anak yang ditulis Alim adalah ketika Sriti Wani berhasil mewujudkan cita-citanya, dia tidak lupa diri. Anak itu tidak ingin menjadi kaum urban meskipun telah ‘mumpuni’ berbekal pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Tetapi, tetap saja ia kembali ke kampung halaman, ke habitat semula, ke kaki gunung Sanggeni. Suatu kasunyatan yang jarang terjadi saat ini, khususnya bagi generasi muda. Banyak mereka yang sedikit saja mengenyam sukses justru menjelma kacang yang lupa kulitnya. Lebih memilih menjadi ‘buntut ular besar, dibanding menjadi kepala ular kecil’.
Gambaran selintas ini, bagi saya mengindikasikan cerita anak Sriti Wani dalam konteks sosial telah dijadikan semacam ‘kaca spion’ oleh penulisnya. Dan, celakanya, bagi saya terasa pas. Benar dan tepat. Maka, ketika ilustrasi dirumuskan sebagai: gambar (foto, lukisan) untuk memperjelas, menerangkan isi buku, karangan, atau gambar, desain, atau diagram untuk penghias buku, melalui even pameran ilustrasi cerita anak ini, Alim Bakhtiar sekan berbisik kepada kita. Dan semoga benar. Makna ilustrasi bukan hanya seperti dipaparkan dalam kamus saja. Menjadi semacam hiasan, yang memperjelas, menerangkan, atau mempercantik semata. Sebab, ilustrasi ternyata dapat juga dijadikan ‘spion’ agar kita mampu melihat ke belakang lagi (berpaling) sebagaimana introspeksi yang digembar-gemborkan di mana-mana, namun jutaan orang tak pernah legawa melaksanakannya.
***
26/10/2013 http://sastra-indonesia.com/2020/12/spion-dalam-ilustrasi-cerita-anak-alim-bakhtiar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar