Potensi Besar di Tengah Cekaknya Modal
Herman Syahara
akurat.co 11 Mei 2019
Lukisan-lukisan itu terkesan baru saja selesai lalu langsung digantungkan di dinding. Tak ada bingkai atau spanram yang biasanya dipakai perupa untuk “mengemas” sebuah karya lukisan sehingga tampil lebih “catching” dalam sebuah Pameran.
Yang nampak agak “istimewa” --karena posisinya diletakkan di tengah ruang pamer sehingga menyita perhatian, adalah sebuah karya instalasi berjudul Altar For Girl III. Sebuah meja dua tingkat berangka besi dengan alas kaca, menyangga sebuah radio tua, buku yang terbuka, dan taburan bunga kamboja. Di belakang meja terentang lukisan, juga tanpa bingkai, dengan model seseorang dalam posisi menghormat dan motif-motif abstrak lainnya.
Demikianlah, perupa, penyair, dan teaterwan Amien Kamil mempresentasikan 20-an karyanya yang antara lain berjudul Nightmare, Egg, On Between, Dart from USA, dan Stones from Another Space, dalam Pameran bertema He(Art): Reflection of Nightmare, di gedung Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Menteng Jakarta Pusat, yang berlangsung mulai 2 sampai 9 Mei 2019.
Pembukaan yang berlangsung di halaman Balai Budaya itu dilakukan dengan cara yang cukup khas, yaitu dengan iringan tiupan saxophone Sudjiwo Tedjo sebagai pengganti pidato kebudayaan yang semula “didaulatkan” Amien Kamil kepadanya.
“Saya nggak punya ide pidato kebudayaan. Saya main saxophone saja, terus pintu dibuka, saya masuk. Kalian ikut masuk. Saya akan main di dalam sambil nonton lukissan,” usul Sudjiwo seraya mengutip teks lagu lama kesukaannya, Summertime yang populer dibawakan Ella Fitzgerald.
Maka, sambil mengalunkan lagu Barat itu, seniman yang mantan wartawan ini lalu masuk ke ruangan yang pintunya dibukakan oleh perupa Amien Kamil. Diikuti oleh para tamu undangan, Sudjiwo terus meniupkan sax-nya seraya mengelilingi setiap lukisan yang dipamerkan sampai kembali keluar ruangan. Sebuah sajian yang langka dalam sebuah acara Pameran lukisan lukisan.
Kritik sosial
Di mata kurator Pameran, budayawan Rada Panca Dahana, meskipun kemasan Pameran Amien Kamil ini nampak bersahaja, namun di dalam keduapuluh karyanya dia melihat tersimpan potensi gagasan-gagasan besar perupanya.
“Apa yang ditampilkan Amien Kamil ditembok-tembok itu adalah sebuah organisasi kerja pikiran, perasaan, bahkan badan yang tidak sederhana. Yang kurang cuma satu: modal. Saya percaya, kalau punya modal dia mampu melakukan hal itu lebih baik. Yang ada dalam diri amin adalah potensi yang sangat kuat,” kata pria yang sudah 30 tahun bersahabat dengan Amien itu.
Soal cekaknya modal, tanggap Radar, nampak dari ketidakmampuan Amien menggunakan spanram. Spanram adalah benda dari kayu atau bahan lainnya berbentuk segi empat yang digunakan untuk membentangkan material kain atau kanvas sebagai medium lukisan atau karya Seni lainnya.
Kalau diperhatikan dengan saksama, lanjut dia, lukisan-lukisan Amien menyajikan berbagai kritik terhadap kenyataan politik, sosiologis, agamis, dan lainnya, walaupun tema Pameran ini tidak mengindikasikan ka arah itu.
Menurut Radar, dalam Pameran seperti ini yang penting adalah tumbuhnya harapan bahwa senimannya tidak selesai sampai di sini. Tetap bekerja lebih jauh lagi.
“Dan bagaimana pun dia memiliki fungsi tidak hanya secara estetika dan artistik, tapi juga secara sosial, kultural, dan bahkan akademik, politik, dan spiritual,” katanya.
Radar berharap, Amien yang belakangan penjelajahan dan wacananya makin lumayan, akan semakin matang dan melahirkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat.
Diiringi saxophone Sutedjo Jiwo
Acara pembukaan Pameran Amien Kamil berlangsung hangat dan menunjukkan luasnya pergaulan sang pelukis. Di samping sambutan dari kurator Radar Panca Dahana pembukaan oleh Sudjiwo Tedjo, hadir perupa Cak Kandar, Sri Warso Wahono, pengelola Balai Budaya Syahnagra, teaterawan Imam Maarif, Aidil Akbar, dan sejumlah seniman lainnya.
Lahir di Jakarta pada 1963, ini merupakan Pameran tunggal Amien Kamil yang kedua setelah pada 2009 menggelar Pameran lukisan dan instalasi “World Without Word” di Newseum Café. Amien sebenarnya lebih “bercita rasa” sebagai orang teater dan film. Dia pernah kuliah di Jurusan Sinematografi di Institut Kesenian Jakarta pada 1986-1996. Kemudian terlibat dalam berbagai pementasan Bengkel Teater Rendra terlibat di kota-kota besar di Indonesia.
Pengalaman mentasnya di luar negeri sudah cukup panjang, di samping pernah menjadi sutradara pementasan, pemateri workshop teater, dan lighting design. Antara lain pada 1988 ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA. Pada 1990 ikut pentas di Tokyo dan Hiroshima, Jepang. Lalu 1999 ikut Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea.
Amien pernah menjadi Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002 dan ikut pentas keliling kota besar di Indonesia. Kemudian pada 2003-2005 menjalin kolaborasi dengan penyair Jerman Brigitte Oleschinski serta pentas multimedia di Berlin, Koln, Bremen dan Hamburg. Selain itu dia juga memberikan workshop teater di Universitas Hamburg, Leipzig dan Passau.
Sebagai penyair, pada 2007 Amien telah menerbitkan antologi puisi “Tamsil Tubuh Terbelah” dan masuk dalam 10 besar buku puisi terbaik Khatulistiwa Literary Award 2007. pada Maret 2019 lalu meluncurkan antologi puisi berisi CD musik-puisi berjudul Elegi Untuk Pramoedya Ananta Toer - Catastrophe 1965, yang diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, pelataran di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
“Saya melukis setiap hari dan main drama 24 jam. Mungkin ini sudah adicct (kecanduan), atau bagaimana,” kata lelaki berambut gimbal yang selalu selalu berpenampilan cuek tentang proses kreatifnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar