Senin, 31 Agustus 2020

Koleksi yang Sunyi dan Pencuri

Agus Dermawan T.

Seputar Indonesia, 16 Des 2007

HILANGNYA sejumlah patung klasik koleksi Museum Radya Pustaka, Solo,ternyata sanggup menciptakan kejutan yang menawarkan eskalasi ketegangan dan daya tarik. Kejutan pertama yakni ditemukannya sejumlah patung replika di museum itu.

Patung-patung tiruan tersebut diduga sebagai kamuflase atas sejumlah patung yang diperkirakan diraibkan.Kejutan kedua, ternyata dugaan itu benar. Sebanyak 11 patung klasik koleksi museum hilang! Kejutan ketiga, ternyata yang disangka dalang pencurian adalah Kepala Museum Radya Pustaka,KRHT Darmodipuro atau Mbah Hadi, yang kini berusia 69 tahun. Kejutan keempat,ternyata patung-patung itu telah dijual lewat seorang makelar.

Kejutan kelima, ternyata sebagian patung yang hilang itu ditemukan di kediaman Hashim Djojohadikusumo! Hashim adalah seorang pengusaha besar, putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, donatur museum itu. Kejutan keenam, menurut penjualnya, Dr. Hugo Kreijger, patung-patung itu diklaim sebagai milik Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono VIII Hangabehi yang dilego,dan ada sertifikat dari Keraton. Kejutan ketujuh, ternyata pihak Keraton merasa tak pernah mengeluarkan sertifikat, sehingga bisa dipatikan sertifikat itu palsu. Maka, lengkaplah peristiwa colong-mencolong ini untuk disebut “tujuh kejutan patung Radya Pustaka”.

Berawal dari Kesunyian

Bagi masyarakat luas, hilangnya koleksi benda-benda seni dari sebuah museum mungkin merupakan “berita besar” yang layak dimuati rasa penyesalan. Karena semua itu masuk dalam kategori kisah kriminal berplot eskalatif, bagai film Hollywood. Namun bagi masyarakat budaya, lebih spesifik masyarakat seni rupa museum Indonesia, raibnya aneka koleksi itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dimaklumi sebagai sesuatu yang akan gampang terjadi.

Kenapa? Karena museum di Indonesia, akibat dari kurangnya political will pemerintah, adalah sebuah institusi yang sejak jauh hari terposisikan sebagai anak tiri. Dengan posisi itu, sebuah museum akan hidup compang-camping dalam segala aspeknya. Dan sebuah institusi miskin, yang berarti tak mampu menyosialisasi diri, memfasilitasi diri, mengemas diri, menjaga diri, membanggakan diri dan mempromosikan diri, akan ditinggalkan banyak orang. Ketika semua meninggalkan, bukankah kesunyian pun datang? Kesepian sebuah museum adalah awal dari malapetaka.

Lantaran benda-benda seni yang berdiri kesepian di situ sungguh menggoda untuk disapa dan diajak jalan-jalan. Pun oleh pengelolanya sendiri yang ternyata juga butuh hiburan. Ada kabar, Museum Radya Pustaka hanya sanggup merengkuh 10–15 pengunjung sehari! Namun, kasus hilangnya koleksi museum milik pemerintah sesungguhnya sudah berbilang kali terjadi. Penyebabnya kira-kira sama saja. Dan ini dongeng lain dari dunia hilang-menghilang itu.

Koleksi Istana Presiden

Syahdan, dalam lelang Christie’s Singapura edisi 6 Oktober 1996 muncul lukisan Raden Saleh dan Basoeki Abdullah, yang ternyata milik Museum Nasional Indonesia. Setelah diselidik, dua lukisan itu hanyalah sebagian dari belasan lukisan koleksi Museum Nasional yang dicuri dan lantas dijual oleh “orang dalam”museum. Kenapa lukisanlukisan itu gampang dicuri?

Karena selama itu lukisan-lukisan tersebut cuma teronggok sepi di gudang. Pemerintah tidak memfasilitasi display agar publik umum bisa secara terbuka memandang-mandang. Kasus ini mengingatkan kita kepada beberapa lukisan Hendra Gunawan yang raib dari Museum Juang, Jakarta, hampir 20 tahun lalu. Dari cerita Museum Nasional dan Museum Juang itu kita segera dibawa ke panggung keriuhan politisi Istana Presiden belum lama ini. Para penasihat Presiden SBY sekonyong-konyong menurunkan ratusan lukisan berharga dari dinding gedung Binagraha, yang sejak 2005 digubah jadi Museum Seni Rupa Istana Presiden.

Konon karena gedung eks Binagraha itu akan dipakai sebagai kantor mereka. Koleksi peninggalan Bung Karno sampai Megawati itu lalu “dilempar” keluar dan disebar di empat Istana Presiden lain di daerah. Ah, begitu nista eksistensi Seni si anak tiri di mata politisi Indonesia. Kisah kediaman pelukis Belgia Le Mayeur de Merpres di Bali adalah contoh lain lagi. Rumah seni ini mulai dikunjungi orang sejak awal tahun 1950-an.Kedatangan para turis ke kediaman Le Mayeur bahkan merupakan berkah bagi Sanur, sehingga Sanur akhirnya menjadi pantai primadona.

Ketika Le Mayeur wafat 1958, Ni Polok, istri Le Mayeur, mengelola studio dan tempat tinggal suaminya resmi sebagai museum, dan jadi obyek wisata. Museum Le Mayeur berkibar harum berkurun tahun dan menjadi maskot wisata Bali. Ni Polok meninggal pada 1985. Pada tahun itu juga, tepatnya tanggal 28 Agustus, Museum Le Mayeur diambil alih pemerintah Republik Indonesia. Banyak orang sudah memprediksi,marabahaya pelan-pelan akan mendatangi museum ini.

Dugaan itu benar. Sejak 10 tahun lalu Museum Le Mayeur cukup sengsara nasibnya. Puluhan lukisan sang maestro yang berharga puluhan juta sampai 3 miliar rupiah itu mulai lapuk. Bangunannya yang tanpa proteksi mulai rusak terancam angin laut. Menurut penjaga museum, pemerintah tak punya duit untuk membiayai perawatan. Lha harga tiketnya cuma Rp. 750. Dan lantaran tak ada promosi, dalam sehari paling banyak 15 orang yang mengunjungi. Penjaga museum pun kesepian. Persis seperti bendabenda seni di museum itu, yang merindukan perhatian dan “sapaan” orang.

Padahal, museum ini pada 50 tahun silam dipromosikan dengan susah payah, di antaranya,menurut catatan William AJ Vroegroep, dengan sebuah film berdurasi lima menit yang menceritakan Ni Polok menari di tepi pantai, dekat kediaman Le Mayeur. Film ini diputar berulang kali di sekujur Eropa, dan menjadi reklame luar biasa bagi Le Mayeur, Ni Polok, Pantai Sanur dan Pulau Dewata. 

Ujung kalam, akankah koleksi Museum Le Mayeur sama nasibnya dengan koleksi Museum Radya Pustaka? Adakah koleksi museum-museum lain sama merananya dengan Museum Le Mayeur? Dan, akankah museum-museum di Indonesia menanti “kedermawanan” Pak Harto, yang meski sudah pikun ternyata tahu belaka nasib jeblok museum di negerinya?

***

*) Agus Dermawan T., Kritikus, penulis buku-buku seni rupa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi