AC Andre Tanama
Sebuah buku
acapkali dikaitkan dengan suatu peristiwa. Seperti halnya dalam jagad seni,
peristiwa itu tak luput dari pengalaman yang personal. Kehidupan telah mengajak
manusia untuk melihat, mengamati, merasakan,
dan memahami pengalaman dirinya. Apa yang menjadi singular yang unik ditata
sedemikian rupa menjadi rangkaian kata-kata. Kata-kata diimajinasikan menjadi wajah baru yang mengemban titah menyalut lapis-lapis muatan di
dalamnya. Namun kata-kata bukanlah titah seperti perintah raja yang mesti
dipatuhi oleh sidang pembaca, melainkan perintah halus yang menyadarkan
kata-kata itu sendiri.
Sampai di
sini, saya berpikir mengenai buku lagi. Sebagai bentuk definitif atas
singgahnya kata-kata, buku menjadi salah satu hasil penciptaan oleh manusia
yang mengajak manusia lain untuk merasakan pengalaman lebih mendalam secara
tidak langsung. Contoh pengalaman
seperti itu saya review di sini, peristiwa
atas beberapa buku yang di-gema-kan melalui acara (bernama) Andong
Buku. Perhelatan ini telah terselenggara tiga kali di Yogyakarta.
Andong Buku
#1 diselenggarakan pada hari
Minggu sore, 13 Maret 2016, di N-workshop (ex. Karta Pustaka) Jl.
Suryodiningratan, Yogyakarta. Andong Buku #2 berlangsung
di Bentara Budaya Yogyakarta pada 25 November 2016. Lantas peristiwa itu
mendapatkan sambutan baik dari pihak Bentara Budaya Yogyakarta. Sehingga
berbeda dengan dua penyelenggaraan sebelumnya yang hanya sehari, Andong Buku #3 diadakan selama tiga hari
di Bentara Budaya Yogyakarta (28 sampai 30 Desember 2018). Pameran Seni Rupa
Buku pun menjadi agenda tambahan pada acara Andong
Buku #3.
Membaca
istilah Andong Buku tentu memunculkan interpretasi yang beragam. Menurut
AG. Mualif alias Cak Udin, salah satu
penggagas acara, istilah itu digunakan lantaran andong sebagai alat transportasi
tradisional, kini berada di tengah hiruk-pikuk alat transportasi modern
lainnya. Andong pun menjadi sesuatu yang perlu dilestarikan. Kendati hanya bisa
memuat sedikit penumpang, andong masih
bertahan, tetap ada, dan mampu membawa
kita menjelajah, salah satunya: berwisata-budaya.
Dengan kata lain, Andong Buku yang menampung gagasan menulis (dan
ber-buku) diasumsikan sebagai peristiwa yang melestarikan budaya literasi.
Terlebih di tengah-tengah arus peradaban yang semuanya serba distempeli sebagai
post- (bahasa Latin, yang berarti: pasca) dan
hiruk-pikuk kehidupan yang cukup dinikmati melalui jejaring nirkabel.
Pengalaman bersentuhan langsung dengan buku
menjadi sebuah ajakan dan tawaran untuk lebih mendekatkan pada pengalaman itu
sendiri. Toh setiap pembaca memiliki (sekaligus diberi) keleluasaan untuk menafsirkan, merefleksikan, serta
memberi pemahaman baru dari apa yang ia baca.
Bagi saya, Andong
Buku sebagai peristiwa meluncurkan buku secara bersama-sama, bukan sekadar
peristiwa budaya atau berliterasi semata. Dalam fase kehidupan manusia, hal itu
seperti halnya peristiwa kelahiran. Andong Buku menjadi peristiwa
kelahiran anak-anak jiwa yang jebrol dari pengalaman
personal dan pergulatan pemikiran penulisnya.
Istilah andong
pada peristiwa perbukuan itu membuat
pikiran saya melayang pada sosok kuda dan kereta. Lantas imaji itu terbayang
seperti cerita di sebuah kota Torino yang sering didengar, mengenai Nietzsche dan seekor kuda. Syahdan,
seorang sais mencambuki seekor kuda bertubi-tubi. Mungkin karena si kuda mengambek
tidak mau jalan, karena letih atau sakit?
Tapi kenapa harus disakiti? Tiba-tiba Nietzsche yang menyaksikan
peristiwa itu berlari mendekati kuda, memeluknya, dan menangis tersedu-sedu. Membaca peristiwa itu merekonstruksi perasaan nan syahdu
perihal sosok yang manusiawi.
Di sisi lain, teringat pula dialog singkat saya
ini dengan kusir andong yang tengah memarkirkan andong dan
kudanya di Sewon.
Nembe
napa e, Pak? (Sedang apa, Pak?)
Maca
buku e... (Baca buku nih)
Lha,
maca buku kok ing andong? (Lho,
membaca buku kok di andong?)
Lha,
niki Andong Buku jeee...!
(Lho, ini
kan Andong Buku!)
Andaikata
waktu itu sais di kota Torino tak mencambuki seekor kuda bertubi-tubi dan
justru
sedang asyik membaca buku seperti sais andong buku—barangkali
tak akan ada peristiwa fenomenal Mbah
Nietzsche ngekep jaran (Mbah
Nietzsche mendekap erat kuda).
Tapi, toh, itu hanyalah khayalan saya
saja, karena kisah yang terjadi adalah sais tetap saja mencambuki seekor kuda bertubi-tubi, lalu Nietzsche
tiba-tiba berlari mendekati kuda, memeluknya, dan menangis tersedu-sedu. Tindak
kekerasan terhadap kuda (baca: makhluk hidup) tetap terjadi, bahkan hingga detik ini. Konon, kisah itu berlanjut lantas mengisahkan Nietzsche
menjadi tak waras sampai akhir hayatnya. Kekerasan (yang dilakukan sais
terhadap kudanya) berhadapan dengan kehalusan (jiwa Nietzsche, tangisan
Nietzsche, kasih sayang Nietzsche). Kita dapat melihat ada sisi kemanusiaan dan kelembutan jiwa Nietzsche sang manusia soliter.
Kereta kuda
(di Torino) dan andong (di Sewon, Bantul, dengan pak
kusir yang membaca buku) pada kisah
di atas sama-sama
berhenti sejenak. Andong perlu menghentikan lajunya. Penting pula memberikan
waktu untuk sekadar istirahat bagi sais ataupun kuda (biasanya kuda diberi
makan pada saat-saat rehat seperti ini). Saya pun memaknai peristiwa Andong
Buku bukan laksana andong yang bergerak melaju berderap tiada henti dalam setiap hentakan empat tapal kuda. Andong Buku adalah andong yang sejenak
mau berhenti, selo (luang), dan singgah
untuk bersilaturahmi. Pada
pemaknaan itulah jihad berlangsung. Jihad mengacu bukan pada ihwal kekerasan. Dengan
demikian, Andong Buku (diharapkan) semoga
tidak hanya sekadar gegap gempita sebuah perayaan kelahiran, namun dapat pula
menjadi refleksi bersama atas peristiwa kemanusiaan. Tentunya hal itu dapat
dilahirkan melalui penciptaan karya-karya (buku, sastra, komik, dan sebagainya) yang terus-menerus bergulir. Adanya penciptaan karya-karya dalam buku merupakan salah satu bagian dari
proses berbagi (atau sedekah, dalam istilah versi Iman Budhi Santosa saat
pembukaan Andong Buku #1).
Mengamati
acara Andong Buku yang dilakukan oleh kawan-kawan, hal seperti rasa
gotong-royong dan menjaga kebersihan merupakan poin yang tak kalah penting
dalam sebuah penyelenggaraan acara. Usai acara
sama sekali tidak meninggalkan kotoran. Bekas wadah makanan ringan, gelas bekas
air mineral, dan sampah-sampah lain dibersihkan secara bersama-sama. Selamat
kepada seluruh kawan yang telah berproses dalam Andong Buku #1 dan juga
kepada kawan-kawan yang telah berhasil melahirkan anak-anaknya. Metode yang dipilih, baik
secara partus normal atau caesar bukan jadi
masalah, yang
penting anak yang sudah dilahirkan dapat bermanfaat bagi sesama, alam semesta,
dan tak lupa untuk tetap tak buang
sampah sembarangan.
Seyogyanya melalui prosesi seni dalam peristiwa Andong
Buku kita diajak untuk terpanggil, untuk sejenak berhenti (seperti sais yang membaca buku di dalam andongnya). Sejurus pula
mengamati peristiwa-peristiwa yang ada akhir-akhir ini. Tatkala kekerasan demi
kekerasan masih terjadi di
negeri ini, kita diajak untuk belajar dari sisi kehalusan jiwa seperti kisah
Nietzsche dan Kuda Torino yang
berdimensi rasa. Peristiwa perbukuan
dan segenap apresiasinya sebagai peristiwa budaya, semoga mampu pula
memberikan inspirasi bagi kita untuk bisa (dan mau) singgah bersilaturahmi
dengan yang lain, sembari berkenan mendengar, membaca, serta merasakan sumilir.
***
Keterangan gambar: Kusir Andong Membaca Buku – Foto oleh AC Andre Tanama
http://sastra-indonesia.com/2020/07/andong-buku/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar