(Jawaban untuk A.S. Laksana)
(©wikipedia.com dari merdeka.com)
Goenawan Mohamad *
Saya senang membaca A.S. Laksana menulis sebuah esei untuk saya: sebuah kritik atas pandangan saya tentang sains. Saya juga senang membaca dua kesalahannya di situ — plus satu kekurangan yang penting.
***
Kesalahan pertama: A.S. Laksana (selanjutnya saya sebut lebih akrab: “Sulak”) mengatakan bahwa “Goenawan Mohamad…lebih berkidmat pada Hegel dan Heidegger dan para romantik Jerman”.
Saya yakin Sulak menggunakan kata “berkhidmat” sebagai ucapan hiperbolis. Itu boleh saja, meskipun harus segera saya katakan bahwa Hegel dan Heidegger dua orang filosof, yang dihormati dengan sedikit berbeda dari bintang film: apresiasi saya tak pernah berdasarkan orangnya, melainkan karyanya — bahkan karyanya yang tertentu saja. Jika saya misalnya menyukai pemikiran Heidegger tentang lukisan Paul Klee, Cezanne, atau puisi Holderlin, juga kritiknya atas sains, tak berarti saya akan menyetujui, apalagi berkhidmat, kepada seluruh pandangannya yang sering tak mudah saya pahami.
Yang pasti: saya tak cocok dengan pemikiran Hegel. Entah dari Google mana Sulak menemukan informasi bahwa saya “[lebih] berkhidmat pada Hegel”. Sebab, dalam pelbagai soal, saya seorang “anti-Hegelian”, meskipun tidak galak.
Marxisme, terutama, melalui pemikiran Adorno, membuat saya menolak sepenuhnya idealisme pemikir abad ke-19 yang menulis “Phanomenologie des Geistes” ini. Hegel, misalnya, mengatakan bahwa semua yang aktual, yang ada, “wirklich”, adalah rasional. Saya sepakat dengan Adorno bahwa ini sejenis sudut pandang totaliter yang tak memungkinkan yang beda, yang ganjil, yang tak disangka-sangka.
Lalu bagaimana saya disebut “berkhidmat pada Hegel”, apalagi dalam pembicaraan tentang sains? Saya tahu sedikit pandangan Hegel tentang agama dan seni, tapi sama sekali tak tahu bagaimana ia memandang sains.
***
Kesalahan kedua: Sulak mengira saya orang yang percaya bahwa sains menjanjikan kepastian. Di sini, ia telah sangat salah membaca.
Sebab inilah yang saya tulis dalam Catatan Pinggir (yang juga dikutip Sulak): “Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan”.
Bagi Sulak, kalimat ini “pernyataan sewenang-wenang tentang ilmu pengetahuan”. Padahal yang saya maksudkan adalah sebuah paradoks: di satu pihak ilmu pengetahuan menjanjikan jawab yang meyakinkan (catat: saya tak memakai kata ‘kepastian’), di lain pihak ia tidak akan hidup tanpa pertanyaan dan perdebatan. Dengan kata lain, bagi saya, pertanyaan dan perdebatan adalah sesuatu yang esensial dalam kehidupan sains.
Dalam hal ini, saya rada Popperian. Meskipun prinsip falsifikasi Popper bisa diperdebatkan cocoknya buat semua cabang ilmu, tapi dengan itu tokoh filsafat ilmu ini menuntut sains berkembang dengan “rigour” yang tanpa kompromi: dengan “rasionalisme kritis”, para ilmuwan harus siap membantah theori mereka sendiri. Theori ilmiah bagi Popper selalu berada dalam keadaan “belum dibantah”. Penemuan ilmu selalu bersifat “provisional”. Kepastian bukan tujuannya. Tulisan saya di halaman Facebook saya 17 Mei yang lalu bahkan saya awali dengan kutipan dari Popper: “Tujuan ilmu adalah kebenaran, bukan kepastian”.
Jika Sulak sempat membaca buah pikiran Popper barang sedikit, ia akan menemukan kalimat-kalimat yang sejajar penuh dengan pandangan saya:
“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not an adherent of scientism. For scientism dogmatically asserts the authority of scientific knowledge; whereas I do not believe in any authority and have always resisted dogmatism; and I continue to resist it, especially in science. I am opposed to the thesis that the scientist must believe in his theory…”
***
Pandangan Popper ini diperlukan kini, sebagai “caveat” kepada sains. Ketika sains menjadi panglima — ketika masyarakat menonjolkan (“asserts”) otoritas pengetahuan ilmiah untuk menjelaskan pelbagai hal — sains akan terdorong mengedepankan kepastian, bukan masuk ke dalam proses pencarian kebenaran. Otoritas tanpa kepastian sama dengan hakim garis tanpa garis.
Seperti dalam usaha mengatasi epidemi sekarang: otoritas, bahkan supremasi, epidemologi akan membuat dia tidak diharapkan memaklumkan, seraya mengutip Popper, bahwa sainsnya sebenarnya ” the art of systematic over-simplification”.Dalam posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong “mengistirahatkan” prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-panjang melakukan riset — dan berbantah — untuk misalnya menentukan sifat virus yang jadi biang keladi epidemi.
Tapi tendensi mempromosikan kepastian itu sebenarnya telah lama terjadi di dunia sains, dengan atau tanpa Covid-19. Dewasa ini, dengan beberapa perkecualian, perkembangan ilmu makin diterjemahkan sebagai perkembangan riset dan inovasi, sebagaimana diukur GII (Global Innovation Index). Dalam persaingan modal dan kekuatan politik yang terus menerus, investasi dalam bidang riset & pengembangan —yang dijadikan landasan teknologi baru dan pertumbuhan ekonomi — makin mendorong sains bukan lagi sebuah metode menafsirkan dunia, melainkan sebagai pendukung teknologi. Kepastian, kegunaan, hasil temuan untuk diterapkan —itulah yang kini menggerakkan lembaga-lembaga riset dan pendanaannya. Bukan kebetulan jika kini theori relativitas Einstein, misalnya — yang pada awalnya dikagumi tapi tak jelas “untuk apa” — makin diberi arti dalam kaitannya dengan, misalnya, navigasi GPS.
Sebuah gejala yang perlu disimak: kata “Wissenschaft,” yang pernah lazim dalam theori ilmu pengetahuan di Jerman, yang berakar pada kata “wissen” (mengetahui), kini tergeser pengertian “sains”. Kata “sains” yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, mungkin melalui Malaysia, adalah salinan dari istilah yang dipakai dalam risalah-risalah Anglo-Saxon, “science”. Berasal dari kata Latin “scientia”, (dengan kata dasar “sciens”), yang berarti mempunyai pengetahuan, sains memang berakar dari pengertian yang tak berbeda dengan “Wissenschaft”. Tapi sains makin lama makin hanya diwakili ilmu-ilmu alam, atau ilmu dengan riset yang didukung kuantifikasi.
***
Kini ijinkan saya menunjukkan kekurangan Sulak dalam tulisannya, “Sains dan Hal-Hal Baiknya”.
Pertama-tama, ia keliru jika mengaitkan pandangan saya dengan “ketidaksukaan pribadi” terhadap sains. Dasar pandangan saya kepada sains akan saya jelaskan dalam beberapa paragraf mendatang, dan pasti bukan karena sains pernah menolak cinta saya hingga saya tak tergila-gila kepadanya.
Sekarang kritik saya kepada kritik Sulak: dalam mengedepankan “hal-hal baik” sains, Sulak membandingkannya— bahkan mengkonfrontasikannya — dengan keyakinan agama. Bagi saya, ini mirip menggebuki memedi sawah; kita merasa jadi kuat karena bisa mengalahkan sesuatu yang hanya seram dalam khayalan orang.
Celakanya, Sulak hanya mengulang apa yang sudah sering dipakai sebagai penggebuk. Kita yang pernah dengan asyik membaca novel Umberto Eco, “Il nome de la rosa” (“The Name of the Rose”), sudah tahu bagaimana cerita fiktif yang seru dengan latar Eropa abad ke-12 ini berakhir. Jorge, rahib tua yang mengharamkan humor dan mencurigai pemikiran terbuka, kalah. Kita bertepuk. Kita lebih senang lagi William of Baskerville menang. Tokoh ini personifikasi dari semangat keilmuan, orang yang bekerja dengan pembuktian empiris; ia datang dari Inggris, dari mana empirisme berkumandang lima abad kemudian. Nama “Baskerville” mengingatkan kita akan salah satu cerita Sherlock Holmes, detektif yang memecahkan misteri kejahatan dengan cara seorang virolog menemukan penyebab pilek jenis baru. Dengan kata lain, thema “sains versus dogma” atau “sains versus agama” sudah lama dimamah biak, dan kita umumnya setuju siapa yang harus diberi aplaus.
Sebab itu ketika saya mengemukakan pandangan kritis atas sains, saya sesungguhnya (dan ini yang tak dipahami Sulak) ingin meletakkan perdebatan di dalam kancah pemikiran yang jauh dari “Jorge-isme”. Kesempatan kali ini akan saya pakai dengan mengundang Husserl.
Edmund Husserl (1859-1938), kita tahu, pelopor fenomenologi dengan pengaruh yang luas dan panjang. Saya ikut mencicipi pengaruhnya sedikit ketika saya sebentar kuliah di Fakultas Psikologi UI, di mana, waktu itu, fenomenologi membantu menjelaskan banyak masalah psikologi sebagai ilmu.
Dalam karya besarnya terakhir, “Die Krisis der europaischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie”, Husserl membahas krisis ilmu pengetahuan Eropa dan peran fenomenologi transendental. Ia menunjukkan krisis itu menyangkut fondasi ilmu-ilmu itu sendiri. Ia menyebut Galileo, yang oleh Einstein disebut sebagai “bapak sains modern” sebagai seorang penemu besar dengan dua efek. Galielo, kata Husserl, adalah “ein entdeckender und verdeckender Genius”, (“jenius yang menemukan dan sekaligus menyembunyikan”).
Terobosan Galileo terbesar bukan dalam dunia astronomi, tapi, kata Husserl, dalam merumuskan ide ilmu-ilmu alam sebagai sesuatu yang matematis, suatu pendekatan yang di abad ke-7 sama sekali baru. Orang Italia yang dicurigai Gereja ini memang terkenal dengan kesimpulannya bahwa alam semesta, “ditulis dalam bahasa matematika, dan hurufnya adalah segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometris lain”.
Dengan pandangan itu, menurut Husserl, ilmu-ilmu alam memproduksi “Geschlossenheit”, kerangka abstraksi yang tertutup bagi — dan menjauh dari — apa yang kongkrit dan unik dalam pengalaman. Dengan sains modern yang dasarnya diletakkan Galileo, dunia yang tercerap indra diselimuti “jubah idea”, “Ideenkleid”, dan diberi makna baru. Keberhasilan perspektif ilmiah modern ini dahsyat, dan telah mengubah bukan saja pengetahuan manusia tentang dunia, tapi juga manusia sebagai subyek yang mengetahui. Bahkan mengubah arti rasionalitas itu sendiri.
Husserl memang tak membahas pemikiran Galileo seutuhnya, tapi kritiknya kepada sains adalah alasan dasar yang kuat bagi fenomenologi sebagai pendekatan alternatif. Dengan kritik Husserl kita bisa melihat bagaimana dunia yang diletakkan dalam kerangka matematis merepresentasikan “Lebenswelt”, dunia kehidupan, dengan mereduksinya — atau untuk memakai istilah Husserl, “menyembunyikan”-nya.
Memang dengan demikian sains bisa berkembang pesat, tapi ia lebih berperan sebagai si pengubah dunia, bukan si penafsir — untuk meminjam dikotomi Marx tentang tugas filsafat. Sains, dengan kecanggihan eksperimennya, dengan kapasitas mengkalkulasi dan mengukurnya, makin berkembang menjadi “techne”, atau cara yang efektif dan efisien mencapai hasil yang ditargetkan. Bersama itu, rasionalitas hanya berarti “Zweckrationalität”, pengertian termashur yang diperkenalkan Weber; “akal instrumental” ini mendominasi dunia modern dengan segala dampak negatifnya.
Dalam hubungan itulah Heidegger mengatakan bahwa “sains tidak berfikir”. Ucapan kontroversial ini tak berarti ingin mengatakan bahwa sains adalah dunia kebodohan. Bagi Heidegger — ia mengembangkan serta meradikalisir kritik Husserl — berfikir berarti bukan (semata-mata) berfikir kalkulatif.
Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger menguraikan lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia menjelaskannya dengan merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger, “apa yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka. Jika Husserl menyebut “Geschlossenheit”, Heidegger memperkenalkan istilahnya yang lebih beredar, “Gestell”. Sains “membaca” realitas dalam bentuk sudah dalam pigura, dan dengan itulah ia menangkap dan mengendalikan realitas. Menangkap dan mengendalikan itu penting: dalam tatapan sains, dunia hadir sebagai reservoir, bahan yang dicadangkan untuk sewaktu-waktu dipergunakan — yang menunjukkan, seperti disinggung Heidegger, hubungan asali antara sains dan teknologi.
Dunia, tentu saja, tidak sekedar yang ada dalam ukuran itu. Sayangnya, para ilmuwan sering tak sadar akan itu. Gaston Bachelard, yang bertentangan dengan Heidegger dalam pandangannya tentang sains, mengakui: “Para saintis lebih meyakini realisme pengukurannya ketimbang kenyataan obyeknya.”
Sebab itu para penganjur yang meyakini sains sebagai pemandu kehidupan di dunia yang kongkrit dan sebab itu rumit — para penganut “scientiesm” yang disebut Popper — hanya memperlihatkan pandangan yang sempit, tapi pongah. Setidaknya mereka tak mengenal kritik atas sains yang berkembang dalam dunia pemikiran modern — bukan dalam dunia ustad Felix Siauw.
Saya bisa mengerti jika Sulak punya harapan besar (jangan-jangan berlebihan?) ketika ia terpesona mengikuti prestasi sains selama beberapa masa terakhir. Daya ilmu-ilmu modern yang sejak Galileo didukung keampuhan matematis memang menyilaukan.
Tapi saya ingin mengingatkan, seorang matematikawan besar pernah menyebut hubungan matematika dengan kekecewaan: ilmu ini sungguh muskil, dan kita gegabah untuk begitu saja menggunakannya menerjemahkan semesta.
“We are told that by its aid the stars are weighed and the billions of molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of Hamlet's father, this great science eludes the efforts of our mental weapons to grasp it.” — Alfred North Whitehead, dalam “An ntroduction to Mathematics”.
***
Demikianlah, Bung, jawaban dan penjelasan saya. Jika saya banyak menyebut nama-nama yang keren, itu buat menunjukkan saya bukan sendirian — bukan pula punya alasan pribadi —untuk tak memandang sains dengan mata berbinar-binar.
Jakarta, 31 Mei 2020.
________________
*) Goenawan Soesatyo Mohamad lahir di Batang 29 Juli 1941, sastrawan Indonesia terkemuka, termasuk pendiri Majalah Tempo, yang merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter menjabat ketua IDI. Goenawan Mohamad (GM), intelektual yang memiliki pandangan liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, koleganya, lawan utama GM adalah pemikiran monodimensional.
https://www.facebook.com/goenawan.mohamad.3/posts/2952967594823217
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Kirno Tanda
A.C. Andre Tanama
A.D. Pirous
A.S. Laksana
Abdillah M Marzuqi
Abdul Ajis
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abu Nisrina
Adhi Pandoyo
Adib Muttaqin Asfar
Adreas Anggit W.
Afnan Malay
Agama Para Bajingan
Agung Kurniawan
Agung WHS
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T
Agus Hernawan
Agus Mulyadi
Agus R. Subagyo
Agus Sigit
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Alim Bakhtiar
Alur Alun Tanjidor
Amang Rahman Jubair
Amien Kamil
Amri Yahya
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
Andong Buku
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Andry Deblenk
Anindita S Thayf
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Adrian
Anton Kurnia
Anwar Holid
Ardhabilly
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arti Bumi Intaran
Ary B Prass
Aryo Wisanggeni G
AS Sumbawi
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Ayu Sulistyowati
Bambang Bujono
Bambang Soebendo
Bambang Thelo
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Basoeki Abdullah
Basuki Ratna K
BE Satrio
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Brunel University London
Buku Kritik Sastra
Bustan Basir Maras
Candrakirana KOSTELA
Catatan
Cover Buku
Dahlan Kong
Daniel Paranamesa
Dari Lisan ke Lisan
Darju Prasetya
Debat Panjang Polemik Sains di Facebook
Dedy Sufriadi
Dedykalee
Denny JA
Desy Susilawati
Di Balik Semak Pitutur Jawa
Dian Sukarno
Dian Yuliastuti
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dipo Handoko
Disbudpar
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwin Gideon
Edo Adityo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Faidil Akbar
Faizalbnu
Fatah Yasin Noor
Festival Teater Religi
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Franz Kafka
Galeri Sonobudoyo
Gatot Widodo
Goenawan Mohamad
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Hans Pols
Hardjito
Haris Saputra
Harjiman
Harryadjie BS
Hendra Sofyan
Hendri Yetus Siswono
Hendro Wiyanto
Heri Kris
Herman Syahara
Heru Emka
Heru Kuntoyo
htanzil
I Wayan Seriyoga Parta
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indigo Art Space
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Intan Ungaling Dian
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Jajang R Kawentar
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jonathan Ziberg
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jual Buku Paket Hemat 23
Jumartono
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Karikatur Hitam-Putih
Karikatur Pensil Warna
Kartika Foundation
Kemah Budaya Pantura (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Koktail
Komik
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Koskow
Koskow (FX. Widyatmoko)
KOSTELA
Kris Monika E
Kyai Sahal Mahfudz
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Shitaresmi
Leo Tolstoy
Literasa Donuts
Lords of the Bow
Luhung Sapto
Lukas Luwarso
Lukisan
M Anta Kusuma
M. Ilham S
M. Yoesoef
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoenomo
Mas Dibyo
Mashuri
Massayu
Masuki M Astro
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Moch. Faisol
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moses Misdy
Muhajir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musdalifah Fachri
Ndix Endik
Nelson Alwi
Nietzsche
Noor H. Dee
Novel Pekik
Nung Bonham
Nurel Javissyarqi
Nurul Hadi Koclok
Nuryana Asmaudi SA
Obrolan
Octavio Paz
Oil on Canvas
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Lukisan
Pasar Seni Indonesia
Pasar Seni Lukis Indonesia
PC. Lesbumi NU Babat
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Harjiman
Pelukis Saron
Pelukis Sugeng Ariyadi
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Penerbit PUstaka puJAngga
Penerbit SastraSewu
Pesta Malang Sejuta Buku 2014
Proses kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
R Ridwan Hasan Saputra
Rabdul Rohim
Rahasia Literasi
Rakai Lukman
Rambuana
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rudi Isbandi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumoh Projects
S. Yadi K
Sabrank Suparno
Saham Sugiono
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sapto Hoedojo
Sastra
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra ke #24
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Rupa
Septi Sutrisna
Seraphina
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sketsa
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Srihadi Soedarsono
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sunu Wasono
Susiyo Guntur
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno SZ
Syifa Amori
Tammalele
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
TANETE
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan Pinang
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Toto Nugroho
Tri Andhi S
Tri Moeljo
Triyono
Tu-ngang Iskandar
Tulus Rahadi
Tulus S
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Vincent van Gogh
Vini Mariyane Rosya
W.S. Rendra
Wachid Duhri Syamroni
Wahyudin
Warung Boenga Ketjil
Wasito
Wawancara
Wayan Sunarta
William Bradley Horton
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yunisa
Zawawi Se
Zulfian Hariyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar