(Judul: Tarian Merah, Karya: Ndix Endik)
Taufiq Wr. Hidayat *
Sahdan di tepian sebuah kota itu, malam selalu hidup dengan perjamuan. Seseorang bercerita perihal kenangan. Pada sebuah senja, seseorang merasa cemas. Pemerintah memperlebar jalan raya. Jalan-jalan digali, ditimbuni bebatuan, kemudian diaspal. Ia sedih melihat kenangannya terkubur di aspal jalan itu. Perihal gerimis. Dan gadis manis yang menangis. Tetapi apakah pemerintah mengerti, ada cerita yang telah terkubur di bawah jalan raya itu? Diaspal. Terkunci di sana selama-lamanya. Di bawah panas. Juga hujan yang tertawan. Ia berharap aspal jalan itu jebol, mencekung, kemudian air hujan menggenang di situ. Agar ia dapat melihat kembali kenangannya menyelinap di celah jalan yang jebol itu, berkilau-kilau diterpa cahaya matahari senja hari. Lalu kembali menghijaulah nama-nama di dalam dadanya, seolah berlari bagai sedia kala, dan pertemuan pertama yang tak pernah disengaja. Surat-surat yang wangi. Cinta yang tak bertanya. Sunyi tak jadi.
Kesepian itu memasuki relung terjauh dalam jiwa. Kota-kota menyediakan segalanya. Tetapi tak pernah mengerti kesunyian purba yang membawa derita dari hasrat untuk menguasai. Masih ada prosa musim hujan. Juga malam yang diam. Kenangan. Jalanan tua. Gedung-gedung berlumut milik orang Tionghoa. Dan wajah yang samar. Peristiwa demi peristiwa mengalir. Berganti. Dan tak kembali lagi. Orang berkhayal perihal mesin waktu. Ingin mengulangi yang telah berlalu dengan kepastian ilmu pengetahuan. Tetapi siapa sanggup merangkai tulang-belulang yang sudah hancur lalu menghidupkannya kembali? Tak ada. Selain memajang setiap rangkaian ingatan itu dalam sebuah museum yang gelap, dalam sebuah buku entah tentang apa saja dalam perpustakaan yang dingin dan berdebu. Dan nasib, kata Chairil, adalah kesunyian masing-masing. Manusia menghadapi dan bercakap-cakap dengan darinya sendiri. Diri yang purba, yang kesepian di tengah pencapaian ganjil kota-kota. Sedang hujan berjatuhan dari balik jendela. Sedang ingatan kekal dalam muskil dan samar. Seperti gerimis.
Dan kita pun ungu. Sejarah hanya ditampakkan sebagai rangkaian peristiwa, benda, dan kerangka manusia. Hari ini kita pun tak mengerti, untuk apa semua itu di antara sampah yang mengambang di sungai hitam, di mana kenangan berkilau-kilau di antara kotoran orang.
Syahril Latif mengisahkan perihal yang datang, yang pergi, yang tak kembali, yang hilang, yang dirampas waktu. Dalam ceritanya berjudul “Gank” (Horison, 1990), ia mengisahkan seorang pemuda bernama Hamzah. Mulanya ia bukan penyair. Ia jatuh cinta pada gadis paling cantik di gang itu, bernama Maryam. Tapi cintanya selalu ia tutupi. Ia selalu seolah membenci Maryam. Diam-diam sesungguhnya Maryam tahu, Hamzah memang malu-malu mencintainya. Diam-diam pula, Maryam mencintai Hamzah. Namun kedua orangtua Maryam menjodohkan Maryam dengan laki-laki anak seorang pengusaha besar di kota besar. Sebagai anak orang melarat, Maryam harus patuh, ia musti mengorbankan cintanya kepada pemuda dambaan hati yang bernama Hamzah. Tatkala Hamzah menerima undangan pernikahan dari Maryam dengan laki-laki anak orang kaya itu, Hamzah menampakkan kemurungan senantiasa. Ia berhenti kuliah. Kemudian mengekos di sebuah kota. Hamzah menulis puisi. Ia jadi penyair. Penyair yang selalu sendirian. Puisi-puisi Hamzah selalu melungsurkan kemurungan, kehilangan, muram yang durja, hati yang telah patah dan entah dengan apa harus diutuhkan lagi. Ia membawa kemurungan dan patah hatinya jauh ke sana. Jauh entah di mana.
Kisah sang penyair patah hati dalam cerita Syahril Latif itu, mengingatkan saya pada seorang penyair. Hingga senja usianya, ia tak menikah. Tak ada gadis yang dapat menjatuhkan hatinya lagi setelah jatuh hati yang pertama pada seorang gadis manis yang basah gerimis, seorang gadis yang tak berhasil dimilikinya, dan telah menjadi milik orang lain. Ia kembara ke mana saja. Dari satu kota ke kota lainnya, dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya, dari satu tempat asing ke tempat asing lainnya, mencoba membuang bayangan kekasihnya, berupaya tiada tara melupakan segala kenangan. Tapi ia tak pernah bisa. Justru kenangan telah menjadi daya baginya menuliskan puisi-puisi pedih sepanjang jalan, hingga senja usianya. Hingga putih rambutnya. Dan tubuh yang lelah. Tapi hatinya bahagia dalam derita, membawa kenangan yang tak pernah hilang, membawa ingatan pada wajah kekasih tercinta yang tak dimilikinya. Kenangan itulah yang membuatnya tetap hidup, membawakan puisi-puisi pedih, meneriakkan kehilangan dalam pertemuan-pertemuan dan dalam kesepian, dan menjerit mempertanyakan nasib.
Alangkah agungnya cinta, bisiknya. Tetapi betapa pedihnya. Siapa gerangan dapat memulihkan luka di dalam dada? Dan dengan apa lagi hati dapat terobati? Ia membawa pertanyaan dan kenangan dalam kesendirian yang benam. Ia pahatkan gelisah jiwanya di stasiun-stasiun malam, rambutnya menggerai panjang dan sunyi.
Barangkali Shakespeare pun tak sanggup menjawab; kenapa cinta menjadi luka, dan buat apa pertemuan jika meniscayakan pada perpisahan sebagaimana dalam lagu. Lalu kenapa puisi? Mungkin Goethe benar; hanya seni yang dapat secara sempurna dan meyakinkan membawa orang untuk menghindari kehidupan. Tetapi seni pula yang paling mungkin dan paling meyakinkan membuat orang sanggup menghayati kehidupan. Konon puisi adalah penderitaan. Semakin menderita, semakin dalam segala diksi dan kata. Dengan bahasa yang tak pernah sempurna mewakilkan dirinya pada kata-kata, si hati yang patah menghayati dan melewati dunia sebagai kembara yang sendiri, yang tak pernah mengetahui di mana langkahnya akan berhenti.
Banyuwangi, Desember 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/12/si-hati-yang-patah/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 28 Januari 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Kirno Tanda
A.C. Andre Tanama
A.D. Pirous
A.S. Laksana
Abdillah M Marzuqi
Abdul Ajis
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abu Nisrina
Adhi Pandoyo
Adib Muttaqin Asfar
Adreas Anggit W.
Afnan Malay
Agama Para Bajingan
Agung Kurniawan
Agung WHS
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T
Agus Hernawan
Agus Mulyadi
Agus R. Subagyo
Agus Sigit
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Alim Bakhtiar
Alur Alun Tanjidor
Amang Rahman Jubair
Amien Kamil
Amri Yahya
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
Andong Buku
Andong Buku #3
Andong Buku 3
Andry Deblenk
Anindita S Thayf
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Adrian
Anton Kurnia
Anwar Holid
Ardhabilly
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arti Bumi Intaran
Ary B Prass
Aryo Wisanggeni G
AS Sumbawi
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Ayu Sulistyowati
Bambang Bujono
Bambang Soebendo
Bambang Thelo
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Basoeki Abdullah
Basuki Ratna K
BE Satrio
Beni Setia
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Brunel University London
Buku Kritik Sastra
Bustan Basir Maras
Candrakirana KOSTELA
Catatan
Cover Buku
Dahlan Kong
Daniel Paranamesa
Dari Lisan ke Lisan
Darju Prasetya
Debat Panjang Polemik Sains di Facebook
Dedy Sufriadi
Dedykalee
Denny JA
Desy Susilawati
Di Balik Semak Pitutur Jawa
Dian Sukarno
Dian Yuliastuti
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dipo Handoko
Disbudpar
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwin Gideon
Edo Adityo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Faidil Akbar
Faizalbnu
Fatah Yasin Noor
Festival Teater Religi
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Franz Kafka
Galeri Sonobudoyo
Gatot Widodo
Goenawan Mohamad
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Hans Pols
Hardjito
Haris Saputra
Harjiman
Harryadjie BS
Hendra Sofyan
Hendri Yetus Siswono
Hendro Wiyanto
Heri Kris
Herman Syahara
Heru Emka
Heru Kuntoyo
htanzil
I Wayan Seriyoga Parta
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indigo Art Space
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Intan Ungaling Dian
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Jajang R Kawentar
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jonathan Ziberg
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jual Buku Paket Hemat 23
Jumartono
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Karikatur Hitam-Putih
Karikatur Pensil Warna
Kartika Foundation
Kemah Budaya Pantura (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Koktail
Komik
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Koskow
Koskow (FX. Widyatmoko)
KOSTELA
Kris Monika E
Kyai Sahal Mahfudz
L. Ridwan Muljosudarmo
Laksmi Shitaresmi
Leo Tolstoy
Literasa Donuts
Lords of the Bow
Luhung Sapto
Lukas Luwarso
Lukisan
M Anta Kusuma
M. Ilham S
M. Yoesoef
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoenomo
Mas Dibyo
Mashuri
Massayu
Masuki M Astro
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Moch. Faisol
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moses Misdy
Muhajir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musdalifah Fachri
Ndix Endik
Nelson Alwi
Nietzsche
Noor H. Dee
Novel Pekik
Nung Bonham
Nurel Javissyarqi
Nurul Hadi Koclok
Nuryana Asmaudi SA
Obrolan
Octavio Paz
Oil on Canvas
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Lukisan
Pasar Seni Indonesia
Pasar Seni Lukis Indonesia
PC. Lesbumi NU Babat
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Harjiman
Pelukis Saron
Pelukis Sugeng Ariyadi
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Penerbit PUstaka puJAngga
Penerbit SastraSewu
Pesta Malang Sejuta Buku 2014
Proses kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
R Ridwan Hasan Saputra
Rabdul Rohim
Rahasia Literasi
Rakai Lukman
Rambuana
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rudi Isbandi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumoh Projects
S. Yadi K
Sabrank Suparno
Saham Sugiono
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Sapto Hoedojo
Sastra
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra ke #24
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Rupa
Septi Sutrisna
Seraphina
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sketsa
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Srihadi Soedarsono
Stefanus P. Elu
Suci Ayu Latifah
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sunu Wasono
Susiyo Guntur
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno SZ
Syifa Amori
Tammalele
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
TANETE
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Setiawan Pinang
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Toto Nugroho
Tri Andhi S
Tri Moeljo
Triyono
Tu-ngang Iskandar
Tulus Rahadi
Tulus S
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Vincent van Gogh
Vini Mariyane Rosya
W.S. Rendra
Wachid Duhri Syamroni
Wahyudin
Warung Boenga Ketjil
Wasito
Wawancara
Wayan Sunarta
William Bradley Horton
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yunisa
Zawawi Se
Zulfian Hariyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar