Selasa, 28 Januari 2020

SI HATI YANG PATAH

(Judul: Tarian Merah, Karya: Ndix Endik)

Taufiq Wr. Hidayat *

Sahdan di tepian sebuah kota itu, malam selalu hidup dengan perjamuan. Seseorang bercerita perihal kenangan. Pada sebuah senja, seseorang merasa cemas. Pemerintah memperlebar jalan raya. Jalan-jalan digali, ditimbuni bebatuan, kemudian diaspal. Ia sedih melihat kenangannya terkubur di aspal jalan itu. Perihal gerimis. Dan gadis manis yang menangis. Tetapi apakah pemerintah mengerti, ada cerita yang telah terkubur di bawah jalan raya itu? Diaspal. Terkunci di sana selama-lamanya. Di bawah panas. Juga hujan yang tertawan. Ia berharap aspal jalan itu jebol, mencekung, kemudian air hujan menggenang di situ. Agar ia dapat melihat kembali kenangannya menyelinap di celah jalan yang jebol itu, berkilau-kilau diterpa cahaya matahari senja hari. Lalu kembali menghijaulah nama-nama di dalam dadanya, seolah berlari bagai sedia kala, dan pertemuan pertama yang tak pernah disengaja. Surat-surat yang wangi. Cinta yang tak bertanya. Sunyi tak jadi.

Kesepian itu memasuki relung terjauh dalam jiwa. Kota-kota menyediakan segalanya. Tetapi tak pernah mengerti kesunyian purba yang membawa derita dari hasrat untuk menguasai. Masih ada prosa musim hujan. Juga malam yang diam. Kenangan. Jalanan tua. Gedung-gedung berlumut milik orang Tionghoa. Dan wajah yang samar. Peristiwa demi peristiwa mengalir. Berganti. Dan tak kembali lagi. Orang berkhayal perihal mesin waktu. Ingin mengulangi yang telah berlalu dengan kepastian ilmu pengetahuan. Tetapi siapa sanggup merangkai tulang-belulang yang sudah hancur lalu menghidupkannya kembali? Tak ada. Selain memajang setiap rangkaian ingatan itu dalam sebuah museum yang gelap, dalam sebuah buku entah tentang apa saja dalam perpustakaan yang dingin dan berdebu. Dan nasib, kata Chairil, adalah kesunyian masing-masing. Manusia menghadapi dan bercakap-cakap dengan darinya sendiri. Diri yang purba, yang kesepian di tengah pencapaian ganjil kota-kota. Sedang hujan berjatuhan dari balik jendela. Sedang ingatan kekal dalam muskil dan samar. Seperti gerimis.

Dan kita pun ungu. Sejarah hanya ditampakkan sebagai rangkaian peristiwa, benda, dan kerangka manusia. Hari ini kita pun tak mengerti, untuk apa semua itu di antara sampah yang mengambang di sungai hitam, di mana kenangan berkilau-kilau di antara kotoran orang.

Syahril Latif mengisahkan perihal yang datang, yang pergi, yang tak kembali, yang hilang, yang dirampas waktu. Dalam ceritanya berjudul “Gank” (Horison, 1990), ia mengisahkan seorang pemuda bernama Hamzah. Mulanya ia bukan penyair. Ia jatuh cinta pada gadis paling cantik di gang itu, bernama Maryam. Tapi cintanya selalu ia tutupi. Ia selalu seolah membenci Maryam. Diam-diam sesungguhnya Maryam tahu, Hamzah memang malu-malu mencintainya. Diam-diam pula, Maryam mencintai Hamzah. Namun kedua orangtua Maryam menjodohkan Maryam dengan laki-laki anak seorang pengusaha besar di kota besar. Sebagai anak orang melarat, Maryam harus patuh, ia musti mengorbankan cintanya kepada pemuda dambaan hati yang bernama Hamzah. Tatkala Hamzah menerima undangan pernikahan dari Maryam dengan laki-laki anak orang kaya itu, Hamzah menampakkan kemurungan senantiasa. Ia berhenti kuliah. Kemudian mengekos di sebuah kota. Hamzah menulis puisi. Ia jadi penyair. Penyair yang selalu sendirian. Puisi-puisi Hamzah selalu melungsurkan kemurungan, kehilangan, muram yang durja, hati yang telah patah dan entah dengan apa harus diutuhkan lagi. Ia membawa kemurungan dan patah hatinya jauh ke sana. Jauh entah di mana.

Kisah sang penyair patah hati dalam cerita Syahril Latif itu, mengingatkan saya pada seorang penyair. Hingga senja usianya, ia tak menikah. Tak ada gadis yang dapat menjatuhkan hatinya lagi setelah jatuh hati yang pertama pada seorang gadis manis yang basah gerimis, seorang gadis yang tak berhasil dimilikinya, dan telah menjadi milik orang lain. Ia kembara ke mana saja. Dari satu kota ke kota lainnya, dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya, dari satu tempat asing ke tempat asing lainnya, mencoba membuang bayangan kekasihnya, berupaya tiada tara melupakan segala kenangan. Tapi ia tak pernah bisa. Justru kenangan telah menjadi daya baginya menuliskan puisi-puisi pedih sepanjang jalan, hingga senja usianya. Hingga putih rambutnya. Dan tubuh yang lelah. Tapi hatinya bahagia dalam derita, membawa kenangan yang tak pernah hilang, membawa ingatan pada wajah kekasih tercinta yang tak dimilikinya. Kenangan itulah yang membuatnya tetap hidup, membawakan puisi-puisi pedih, meneriakkan kehilangan dalam pertemuan-pertemuan dan dalam kesepian, dan menjerit mempertanyakan nasib.

Alangkah agungnya cinta, bisiknya. Tetapi betapa pedihnya. Siapa gerangan dapat memulihkan luka di dalam dada? Dan dengan apa lagi hati dapat terobati? Ia membawa pertanyaan dan kenangan dalam kesendirian yang benam. Ia pahatkan gelisah jiwanya di stasiun-stasiun malam, rambutnya menggerai panjang dan sunyi.

Barangkali Shakespeare pun tak sanggup menjawab; kenapa cinta menjadi luka, dan buat apa pertemuan jika meniscayakan pada perpisahan sebagaimana dalam lagu. Lalu kenapa puisi? Mungkin Goethe benar; hanya seni yang dapat secara sempurna dan meyakinkan membawa orang untuk menghindari kehidupan. Tetapi seni pula yang paling mungkin dan paling meyakinkan membuat orang sanggup menghayati kehidupan. Konon puisi adalah penderitaan. Semakin menderita, semakin dalam segala diksi dan kata. Dengan bahasa yang tak pernah sempurna mewakilkan dirinya pada kata-kata, si hati yang patah menghayati dan melewati dunia sebagai kembara yang sendiri, yang tak pernah mengetahui di mana langkahnya akan berhenti.

Banyuwangi, Desember 2019

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/12/si-hati-yang-patah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi