Amang Rahman Jubair lahir di Kampung Ampel. Surabaya, 20 November 1931,
beragama Islam, la anak keempat dari 13 bereaudara. Masa kecilnya dihabiskan di
Sidoarjo, Surabaya dan Madura. Selain dikenal sebagai pelukis, ia juga sebagai
penyair, dramawan dan pemusik. Puisi dan cerpennya terbesar di berbagai media,
di antaranya dimuat dalam Antoiogi Puisi 25 Penyair Surabaya tahun 1975.
la ikut membidani lahirnya Akademi Senirupa Surabaya (AKSERA) tahun 1967, dan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) tahun 1971. Dalam periode 1967 sampai 1994, tidak kurang mengikuti pameran baik di dalam maupun diluar negeri. Dua kali ke tanah suci, pertama melaksanakan ibadah umrah sambil berpameran di Jeddah (1985) dan kedua menunaikan ibadah haji bersama istri.
Pernikahannya dengan Wasi Kasiyati (1961) dikaruniai empat orang anak. Masing-masing Lilik Eliya Jubair, Yunus Jubair, Aisyah Jubair dan llham Anugrah Jubair. Bersama keluarga, ia tinggal di Jl. Kali Kepiting 11A Surabaya.
Kuteteskan keringat, darah dan airmataku ke dalam lukisan. Aku berjalan menembus lorong hitam bagai sumur tanpa dasar, sekaligus lobang langit dan jalan panjang menuju ke tempatnya,” kata Amang Rahman, Sang Maestro. Selebihnya, “Kata kakek saya, sorga itu warnanya biru. Tetapi tidak seperti biru ada hijaunya tapi tidak seperti hijau daun. Itulah obsesi dan yang menjadi ciri lukisanku”.
Dalam lukisannya ia mengangkat simbol-simbol melalui warna. Terutama biru, bentuk dan sosok. la sekaligus memakai pengulangan bentuk dan menata ruangan di atas kanvas dengan cara yang teliti dan terampil. Itu cirinya, untuk menimbulkan suasana tertentu, serta untuk memperkuat simbol-simbol tersebut. Menurutnya, biru merupakan simbol sorga atau dunia rohani, sementara sosok kuda berkepala wanita adalah lambang dari kekuatan dan keindahan.
“Awan dalam lukisanku adalah simbol dari kemungkinan-kemungkinan yang diha- dapi manusia, sekaligus perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Kalau ada orang bilang lukisanku sekarang berubah warna, itu tidak benar. Itu perjalanan alam lukisanku. Dalam melukis aku tak pernah berubah,” katanya.
Barangkali ia seniman besar yang sangat bersahaja. Tidak suka menyombong- kan diri dan tak pernah menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. Tak ada idealisme yang ingin dicapainya. Tak ada prinsip yang ingin dipertahankannya. Setiap orang bebas menterjemahkan karya- karyanya. (AS-5)
Lukisan Amang Rahman yang berjudul “Nenek” (1976) Galeri Nasional
http://jawatimuran.net/2015/03/09/amang-rahman-jubair/
http://galeri-nasional.or.id/collections/167-nenek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar