Apa
yang jadi pangandikan Mbah Kyai Sahal Mahfudz, Allahyarham sepertinya akan
selalu abadi. Selaras dengan ungkapan gajah di pelupuk mata tak nampak semut
diseberang lautan kelihatan.
Orang
sudah lupa ngerogoh jitok e dewe. Mengapa? Mungkin karena faktor pendidikan
modern yang mengajarkan kita untuk selalu mencari motif, ideologi terselubung
dibalik apa yang terlihat. Dalam bahasa lain kita dididik menjadi orang yang
harus selalu curiga terhadap segala sesuatu diluar diri kita. Wal hasil saling
curiga mencurigai pun seolah-olah menjadi hal lumrah. Kambing pun kalau setiap
saat dipanggil anjing maka dia akan menjadi anjing.
Sementara itu pendidikan para leluhur yang selalu
mengajarkan kita untuk bermuhasabah diri lambat laun karam. Maka tak
mengherankan jika saat ini kita terus menerus dipamerkan tindak paranoid dari
dan oleh siapa saja dengan segala bentuk aneka rupa sematan.
Yang
paling hits saat ini jargon Islam Nusantara yang digagas oleh Nahdlatul Ulama.
Banyak pihak menuduh gagasan tersebut sebagai aliran baru, sekte baru yang
tidak pantas dan seterusnya dalam koridor agama. Entah karena mereka tidak tahu
atau karena tidak mau. Dua hal itu berbeda. Jika tidak tahu lantas mencari tahu
saya yakin mereka akan memahami dengan baik apa itu Islam Nusantara. Tetapi
jika urusannya sudah tidak mau, tentu saja urusannya akan jadi rumit. Jangankan
memacari tahu, diberi tahu saja mereka akan menolak. Bahkan tidak sedikit
penolakan-penolakan mereka berujung dengan tuduhan-tuduhan kotor kepada para
ulama-ulama NU yang nota bene adalah para penggagas dan pelaku Islam Nusantara.
Memang
segala sesuatu akan selalu mengandung resiko. Pula dengan gagasan Islam
Nusantara. Meski demikian, NU tidak membalas hal-hal buruk itu dengan
keburukan. Karena para ulama NU sangat menyadari niscayanya sebuah perbedaan
pendapat.
Kopi Hitam. 13 Juli 2018
Kopi Hitam. 13 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar