Jumat, 22 September 2017

Mengulas tentang karya A.C. Andre Tanama | Gween Silent

Anton Adrian
seni-lenon.blogspot.co.id

Pada pagi yang cerah di Asrama tempat tinggal saya, yaitu Asrama Lombok yang tercinta, disitu saya biasanya sering bermain-main ke kamar teman-teman untuk melihat kondisi mereka, mulai dari bagian ruangan depan, disana saya coba mengusir kebosanan saya dengan menonton tv, tapi yang namanya tontonan terkadang membuat bosan.

saya berpindah lagi ke bagian atas, disitu terdapat salah seorang teman baik saya, sekaligus seniman yang pada saat ini sedang menjalani kuliahnya di sebuah Universitas, nama orang ini adalah Iqbal atau sering disebut Iqbal Xyz, entah apa kepanjangan dari Xyz tersebut, saya tidak berani untuk menanyakannya pada si Xyz, hehehe.

Iqbal yang mempunyai ciri khas rambut keriting ini memiliki karya yang sangat menarik, apabila kita masuk kamarnya. Waaaahhh, mungkin kata itu akan terucap apabila Anda yang melihat langsung, di dinding-dinding kamarnya terpajang banyak karya, baik seni lukis, seni cukil dll, ada sebuah karya yang membuat saya ingin terus melihatnya, tetapi pada saat ini karya tersebut sudah diambil temannya.

Sekarang ini iqbal sedang akan merancang karya terbarunya sebagai karya skripsi. oiya lupa dengan pembahasannya, waktu itu aku ketemu iqbal di kamarnya sedang bermain game. Terlihat sebuah buku putih dengan gambar yang menurut saya sangat menarik, karena menampilkan wajah seorang anak kecil yang sedang murung dengan wajah menunduk kebawah.

Penasaran dengan buku tersebut, sayapun mengambilnya dan membacanya, sekilas di belakang cover buku tersebut ada sebuah tulisan yang menarik perhatian saya, barisan-barisan kata yang sangat indah. "Sebuah karya seni apapun itu bagi saya adalah sebuah visualisasi atas anugerah Ilahi. Berkarya merupakan suatu proses spiritual. Mengolah rasa menjadi energi positif yang terwujud melalui bahasa visual" itu lah kata-kata dari A.C. Andre Tanama yang sangat memuji apapun bentuk karya.

tertatik dengan bukunya, saya-pun seharian membacanya, dengan membaca buku karya A.C. Andre Tanama membuat saya sadar, seni itu begitu bebas, luas, tanpa batas. entah seandainya ada kata yang bisa melambangkan kata yang lebih untuk mewakili kata kagum akan seni, maka saya akan menggunakannya. hehehe

Andre Tanama lahir dalam keluarga Ciwa (Cina dan Jawa). Ayahnya bernama Tan Kian Bie (Albert Ryanto) dan ibunya bernama Caecilia Ruwini. Ayahnya bekerja wiraswasta di bidang percetakan dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Andre merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. Mereka sekeluarga tinggal di Sidomulyo, Tegalrejo, Yogyakarta.

Fase-fase awal pencarian untuk dunia seninya, Andre sering menggarap tema-tema keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan kisah-kisah penyaliban dan sengsara Yesus. Pada fase ini, Andre sedang mencari ikon atau metafor yang dapat menyalurkan trauma psikologis yang mendalam.

Setelah itu, ia baru menciptakan figur Wayang Monyong. Mulanya, saat semester 4 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Andre disarankan oleh dosen untuk berani menggarap deformasi bentuk, menggambar naif, dan lain-lain. Andre pun mencoba saran tersebut di rumah, tapi saat itu ia tidak bisa menikmatinya. Lalu ia mencoba melakukan deformasi bentuk kepala manusia, dan itu dipengaruhi oleh kondisinya yang banyak problem dan kegelisahan.


Dalam bukunya tersbut, ada empat orang yang memiliki talenta lebih, telah menulis, menyumbangkan pemikiran dan ide terutama tentang Gween Silent. Dengan gaya menulis yang unik dan khas sesuai karakter masing-masing, keempat penulis ini mengantarkan buku ini untuk menyelami kisah Gwen Silent.

1. Adinto Fajar Sudanto seorang sahabat semasa SD (Sekolah Dasar) 2. Vera Wijaya 3. Nia "Hagai" Dianti (istri dari ac Andre Tanama) 4. Sukma Swarga Tiba.

Penyumbang pertama yang memberi pemikiran dan ide tentang Gwen Silent ini memberi judul "Suwung atau Bocah Kecil yang Membisu Sekuat Tenaga" untuk tulisannya pada buku tersebut.

Andre Tanama meminta kepada Adinto Fajar Susanto untuk bercerita apa saja tentang Gwen Silent, Andre Tanama ingin tahu bagaimana orang lain menimang bocah kecil yang telah dia lahirkan."Suwung adalah Ruang Sunyi yang Menjelma Ruang" itulah judul tulisan dari Adinto Fajar Sudanto. di dalam tulisannya tersebut, banyak menceritakan tentang apakah Suwung itu sendiri dan apa makna di dalam kata Suwung tersebut.

"Suwung adalah Ruang Sunyi yang Menjelma Ruang"

Adinto Fajar Sudanto juga mengulas tentang siapakan dalam lukisan Andre Tanama "Gwen Silent". Gwen Silent menyajikan suwung itu secara gamblang. Gwen Silent tak membuka mata, padahal mata menjadi tanda yang pas untuk menerka keadaan hati seseorang, Orang yang marah, matanya membelalak. Orang yang licik, matanya suka menyipit-nyipit dan melirik. Orang yang damai, matanya pun terasa teduh, tak mudah gelisah.

Mata si Buta Terong atau Cakil saja bisa cukup mendefinisikan posisinya jika dibandingkan dengan mata ksatria, seperti Arjuna atau Yudhistira dalam figur pewayangan. Adapun lukisan-lukisan "mata tanpa kelopak" Jeihan, yang menjadikannya bernuansa dalam.

Gwen Silent juga tak membuka mulut, bahkan mulutnya tak ada, entah disembunyikan di mana. Padahal mulut juga menjadi penyuara kata-kata, sehingga kita bisa berkomunikasi dan mengkomunikasikan sesuatu. Bahkan tanpa kata-kata pun, gerak mulut mengekspresikan emosi-emosi manusia.

Ketika Adinto Fajar Susanto menyadari bahwa Gwen Silent tak hendak membuka mata dan tak hendak menunjukkan mulutnya, muncullah pertanyaan. tak selayaknya anak kecil menjadi beku. Sewajarnya anak-anak berlarian, berceloteh, berkata-kata semau dia. Gwen Silent, seperti namanya, selalu diam dalam setiap bingkai karya. setiap dari kita tentu akan bertanya di mana matamu?. Apakah dia tak hendak melepaskan mimpi-mimpinya?. Mungkin saja. Dimana mulutmu? Apakah dia kecewa berat sehingga memutuskan untuk diam saja? Atau anak ini memang menolak (belajar) bicara, karena kata-kata tak pernah sesuai yang dia minta?.

Penampakan Gwen Silent yang terlahir sedemikian sunyi di tangan Andre Tanama merupakan ruang suwung yang dibangun secara sengaja olehnya. Suwung itu mengulurkan tangan untuk mengajak kita menurut lapis demi lapis pertanyaan yang pada akhirnya menjadi solilokui, kita bertanya pada diri kita sendiri. Pada awalnya, kita terkesima pada "obyek" bisu di depan kita, kita terus didera misteri yang berkecamuk, dan perlahan-lahan segenap interpretasi itu menjadi dialog yang nyata yang berbalik menjadi wawancara antara aku dengan diriku sendiri. Persis di situlah "suwung", dalam bahasa Iser, menjadi momen setiap manusia menemukan signifikansi (significances) untuk dirinya.

Dalam Karya New Spirit (2010), tampak ruang yang kosong dan Gwen Silent di sana dengan gaun kuning kembang-kembang tengah menyiram tanah . Dalam ruang itu, Gwen memancing sesuatu dalam diri kita untuk berpikir berulang-ulang, barangkali tentang makna harapan. Dalam aura misteri itu, ia menyiram sesuatu. Sederhana sekali, tapi itulah yang erjadi dalam sebuah ruang yang "suwung". Lubuk itu bukan semata kompetisi untuk membidik interpretasi para kritikus yang merasa menggenggam konsep yang paling benar.

Suwung itu milik semua orang, semua subyek, di mana semua orang boleh menandainya, menjadikan karya itu sebagai teritorinya. Gwen Silent yang terpampang di karya Andre Tanama boleh menjadi milik semua orang, justru karena dia telah tinggal di sebuah ruang "suwung" itu. Gwen Silent menjadi signifikan bagi setiap orang secara berbeda.

Tokoh Gwen Silent yang sunyi total ini, Andre Tanama bermain secara sadar dengan kemungkinan karya seni untuk berdialog dengan setiap orang. Sekaligus, mengajak orang untuk telaten, mencintai diri dan pengalamannya yang personal dengan berkomunikasi dengan kesunyian si bocah kecil ini.

Sunyi dan rumpang itu, yang secara wadag deformatif, adalah sebuah misteri yang melibatkan setiap orang berpartisipasi. Tanpa ada pretensi untuk berpartisipasi. Tanpa ada pretensi bicara (dengan mulut Gwen atau mulut pelukisa) atau beraksi (dengan mulut Gwen atau pelukis), lukisan-lukisan ini telah berbicara dengan sunyi itu.

"Sang Aku Menjadi Kerdil"

Seorang teman Andre pernah berkomentar (sekaligus menasehati) demikian tentang Gwen Silent, "Ndre, apa kamu tidak takut, nanti anakmu ikut-ikutan menjadi muram seperti lukisan-lukisanmu itu?" Teman ini bertanya demikian karena aak semata wayang Andre Tanama juga dinamai Gwen, bahkan sepertinya Gwen Silent benar-benar mewujudkan dalam anak Andre yang ernama Gwen Sae Ilen Tanama.

Andre mengaku itu sebagai koinsiden. Kebetulan saja bahwa Gwen juga menjadi nama anaknya dengan Nia, sang istri, Gwen adalah patron baptis anakku, seorang santa dari daerah Britania Raya yang hidupnya sangat saleh, jawabnya. Dan perempuan kecil Gwen Sae Ilen jelas berbeda dengan Gwen Silent, Ilen enerjik, suka tertawa, dan berceloteh.

Kemudian, Andre Tanama mengaku, "Gwen Silent sesungguhnya justru gambaran diriku sendiri. Metafora diriku ketika berhadapan dengan hal-hal di dunia ini, segala yang ada di luar diriku." Unik memang, bagaimana seorang pelukis seperti Andre Tanama merasa bahwa jauh di lubuk hatinya, dia adalah seorang Gwen Silent, si gadis kecil itu.

Di hadapan dunia yang terus berputar ini, seorang seniman juga terus melakukan pengembaraan dengan jalannya sendiri. Apa yang dicari tak lain adalah jawaban bagi segenap pertanyaan yang terus saja ada. Memang, kita boleh melihat berbagai simpulan permenungan yang mungkin terekam dalam karya-karyanya. Di situlah, barangkali seniman itu berhadapan mengungkapkan dirinya.

Gwen Silent sebagai metafora yang direnungkan oleh Andre Tanama sesungguhnya sebuah pencarian yang sifatnya universal. Ada yang tak terbatas yang membuat kita kerdil, tapi kita tak perlu menampik. Semua manusia harus merasakanya dan mengakuinya. Dalam lukisannya, ada sebuah pengalaman estetis sedemikian itu. Menarik!

Karya-karya Andre Tanama tentang Gwen Silent memang gambaran manusia yang meniadakan kekuatan indera. Andre Tanama sendiri menulis demikian: Boleh jadi kita tak mau memakai mata kita untuk melihat, namun dalam gelapun cahaya-Nya bersinar terang. atau boleh jadi kita menutup mulut kita rapat, namun Dia tetap tahu semua keluh kesah kita...

http://seni-lenon.blogspot.co.id/2016/04/pada-pagi-yang-cerah-di-asrama-tempat_2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Kirno Tanda A.C. Andre Tanama A.D. Pirous A.S. Laksana Abdillah M Marzuqi Abdul Ajis Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abu Nisrina Adhi Pandoyo Adib Muttaqin Asfar Adreas Anggit W. Afnan Malay Agama Para Bajingan Agung Kurniawan Agung WHS Agus B. Harianto Agus Dermawan T Agus Hernawan Agus Mulyadi Agus R. Subagyo Agus Sigit Agus Sulton Agus Sunyoto Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Alim Bakhtiar Alur Alun Tanjidor Amang Rahman Jubair Amien Kamil Amri Yahya Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo Andong Buku Andong Buku #3 Andong Buku 3 Andry Deblenk Anindita S Thayf Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Adrian Anton Kurnia Anwar Holid Ardhabilly Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arti Bumi Intaran Ary B Prass Aryo Wisanggeni G AS Sumbawi Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Ayu Sulistyowati Bambang Bujono Bambang Soebendo Bambang Thelo Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Basoeki Abdullah Basuki Ratna K BE Satrio Beni Setia Bentara Budaya Yogyakarta Berita Brunel University London Buku Kritik Sastra Bustan Basir Maras Candrakirana KOSTELA Catatan Cover Buku Dahlan Kong Daniel Paranamesa Dari Lisan ke Lisan Darju Prasetya Debat Panjang Polemik Sains di Facebook Dedy Sufriadi Dedykalee Denny JA Desy Susilawati Di Balik Semak Pitutur Jawa Dian Sukarno Dian Yuliastuti Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dipo Handoko Disbudpar Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwin Gideon Edo Adityo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Esai Evan Ys F. Budi Hardiman Faidil Akbar Faizalbnu Fatah Yasin Noor Festival Teater Religi Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Franz Kafka Galeri Sonobudoyo Gatot Widodo Goenawan Mohamad Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Hans Pols Hardjito Haris Saputra Harjiman Harryadjie BS Hendra Sofyan Hendri Yetus Siswono Hendro Wiyanto Heri Kris Herman Syahara Heru Emka Heru Kuntoyo htanzil I Wayan Seriyoga Parta Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indigo Art Space Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Intan Ungaling Dian Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Jajang R Kawentar Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jiero Cafe Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jonathan Ziberg Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jual Buku Paket Hemat 23 Jumartono K.H. Ma'ruf Amin Kabar Kadjie MM Kalis Mardiasih Karikatur Hitam-Putih Karikatur Pensil Warna Kartika Foundation Kemah Budaya Pantura (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Koktail Komik Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Koskow Koskow (FX. Widyatmoko) KOSTELA Kris Monika E Kyai Sahal Mahfudz L. Ridwan Muljosudarmo Laksmi Shitaresmi Leo Tolstoy Literasa Donuts Lords of the Bow Luhung Sapto Lukas Luwarso Lukisan M Anta Kusuma M. Ilham S M. Yoesoef Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoenomo Mas Dibyo Mashuri Massayu Masuki M Astro Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Moch. Faisol Moh. Jauhar al-Hakimi Moses Misdy Muhajir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musdalifah Fachri Ndix Endik Nelson Alwi Nietzsche Noor H. Dee Novel Pekik Nung Bonham Nurel Javissyarqi Nurul Hadi Koclok Nuryana Asmaudi SA Obrolan Octavio Paz Oil on Canvas Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Pameran Lukisan Pasar Seni Indonesia Pasar Seni Lukis Indonesia PC. Lesbumi NU Babat Pekan Literasi Lamongan Pelukis Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Saron Pelukis Sugeng Ariyadi Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pesta Malang Sejuta Buku 2014 Proses kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga R Ridwan Hasan Saputra Rabdul Rohim Rahasia Literasi Rakai Lukman Rambuana Raudlotul Immaroh Redland Movie Remy Sylado Rengga AP Resensi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Riki Antoni Robin Al Kautsar Rodli TL Rudi Isbandi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumoh Projects S. Yadi K Sabrank Suparno Saham Sugiono Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sapto Hoedojo Sastra Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra ke #24 Senarai Pemikiran Sutejo Seni Rupa Septi Sutrisna Seraphina Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sketsa Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Srihadi Soedarsono Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sugeng Ariyadi Suharwedy Sunu Wasono Susiyo Guntur Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno SZ Syifa Amori Tammalele Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace TANETE Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Teguh Setiawan Pinang Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Toto Nugroho Tri Andhi S Tri Moeljo Triyono Tu-ngang Iskandar Tulus Rahadi Tulus S Universitas Indonesia Universitas Jember Vincent van Gogh Vini Mariyane Rosya W.S. Rendra Wachid Duhri Syamroni Wahyudin Warung Boenga Ketjil Wasito Wawancara Wayan Sunarta William Bradley Horton Yona Primadesi Yosep Arizal L Yunisa Zawawi Se Zulfian Hariyadi